SOLOPOS.COM - Widya Ristanti (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Setelah membaca pemberitaan tentang guru honorer yang terjerat utang puluhan juta rupiah hingga ratusan juta rupiah di aplikasi pinjaman online, ingatan saya melayang pada puisi lawas karya Hartoyo Andangjaya.

 

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Apakah yang kupunya, anak-anakku

selain buku-buku dan sedikit ilmu

sumber pengabdian kepadamu.

 

Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahku

aku takut, anak-anakku

kursi-kursi tua yang di sana

dan meja tulis sederhana

dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya

semua padamu akan bercerita

tentang hidup di rumah tangga

 

Sejak dulu guru adalah profesi yang mulia. Masyarakat menempatkan guru sebagai ahli ilmu, bijaksana, dan suri teladan. Kemuliaan tersebut merujuk pada peranan guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Menjadi pelita di tengah gelapnya malam.

Kini makin banyak ironi yang mengiris hati. Merujuk kasus yang disebutkan di atas, latar belakang guru berpikir dan bertindak instan dengan meminjam uang di pinjaman online bermotif ekonomi.

Hal yang membuat miris ialah salah seorang guru tersebut terjerat pinjaman online guna menyelesaikan studi lanjutnya. Ia sedang berproses mendapatkan ilmu untuk mencerdaskan anak didiknya. Ironis memang.

Itulah potret nyata sebagian guru di Indonesia. Kita tidak menggeneralisasi bahwa seluruh guru di Indonesia tidak sejahtera. Tidak! Diksi “sebagian” tersebut digunakan karena hanya sebagian itulah yang bisa dikatakan belum sejahtera.

Mengapa ada guru yang sejahtera dan sebagian lainnya belum mencapai kesejahteraan? Mari kita telisik dengan melihat data yang dimiliki Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.

Berdasarkan Data Pokok Pendidikan 2022, guru di Indonesia berjumlah 3.329.787 orang. Sebanyak 52% dari jumlah tersebut merupakan guru berstatus aparatur sipil negara atau ASN. Sisanya, sebanyak 48%, merupakan guru honorer.

Kekurangan pemenuhan kebutuhan guru dan kemampuan pemerintah untuk mengangkat guru berstatus ASN sangatlah besar. Proses pendidikan harus terus berjalan. Untuk menyiasati kebutuhan tersebut, mau tidak mau sekolah mengangkat guru honorer.

Hal itu merupakan sebuah paradoks di negeri ini karena guru honorer memiliki peran yang sama dalam mendidik, tetapi termarginalkan dalam kesejahteraan. Sebutan guru honorer merujuk pada sistem penggajian.

Perlu digarisbawahi bahwa jumlah jam mengajar seorang guru honorer tidak dihitung  per tatap muka. Gaji mereka dihitung berdasarkan jumlah tatap muka selama satu pekan. Dengan demikian, apabila seorang guru mengajar selama 24 jam pelajaran dan pemerintah memberi honor Rp40.000, guru tersebut menerima honor mengajar Rp960.000 per bulan.

Nilai honor dan jumlah jam mengajar tersebut umumnya bisa terpenuhi di sekolah menengah. Bagaimana dengan guru honorer di sekolah dasar? Dengan sedikitnya jumlah kelas dan mata pelajaran, secara otomatis guru honorer di sekolah dasar memiliki jam mengajar yang sedikit.



Hal tersebut berkorelasi pula dengan sedikitnya gaji yang diterima setiap bulan.  Pada umumnya, gaji tersebut jauh lebih kecil daripada upah minimum kabupaten/kota atau UMK yang diterima karyawan perusahaan.

Timbul pertanyaan mendasar, apakah gaji berkorelasi dengan kesejahteraan hidup? Jika merujuk kata ”sejahtera”, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan ”sejahtera” sebagai keadaan aman sentosa dan makmur.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 mendefinisikan kesejahteraan sebagai  kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Berkaitan dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa definisi sejahtera identik dengan keadaan tercukupinya kebutuhan hidup. Walaupun kata sejahtera itu sendiri mengandung bias informasi, dalam arti definisi sejahtera mengandung subjektivitas dan tidak bisa digeneralisasi, tidak ada salahnya kita cek parameter sejahtera menurut lembaga terkait.

Di Bawah UMK

Indikator sejahtera menurut Badan Pusat Statistik atau BPS terdiri atas enam hal, yaitu konsumsi atau pengeluaran rumah tangga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, akses  pelayanan kesehatan, akses pendidikan, dan akses  transportasi.

Menghitung kesejahteraan guru honorer dengan menggunakan indikator pertama tersebut bagaikan membagi angka yang tidak dapat dinalar. Dengan gaji yang jauh berada di bawah UMK, bisakah indikator berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia untuk hidup terpenuhi?

Kebutuhan tersebut menjadi kebutuhan primer yang dapat memengaruhi kondisi psikologis. Penelitian Tamannaifar & Golmohammadi (2016) mendapatkan hasil bahwa variabel stres karena situasi kerja dan variabel kesejahteraan psikologis memiliki hubungan yang linier.

Guru merupakan pekerjaan yang memiliki tingkat stres kerja yang cukup tinggi karena gaji yang cukup rendah, istirahat yang kurang, dan beban kerja berat dari perilaku-perilaku siswa  (Liu & Onwuegbuzie, 2012).

Berkaca dari hasil Survei Biaya Hidup 2018 yang dilaksanakan oleh BPS, daerah dengan biaya hidup paling murah ialah Banyuwangi dengan nilai Rp3.029.367. Sungguh miris menghitung gaji guru honorer yang berkisar di bawah Rp1 juta tersebut yang jauh dari layak untuk menghidupi diri sendiri dan anggota keluarganya.

Filsuf Romawi, Cicero, mengungkapkan  adagium salus populi suprema lex esto yang bermakna keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Adagium tersebut secara implisit termaktub pada alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, yakni “membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”.

Kata “melindungi” pada kutipan tersebut dapat dimaknai sebagai pelindungan negara terhadap keselamatan dan kemakmuran rakyat Indonesia, termasuk guru honorer. Kita berharap pemerintah berperan besar pada peningkatan kesejahteraan guru honorer.

Kebijakan seperti pengangkatan guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), pertimbangan masa kerja guru honorer dalam seleksi PPPK, dan pencantuman standar gaji yang jelas dalam Rancangan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional kiranya dapat direalisasikan dengan niat mulia menghargai jasa guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Harapan tersebut bukan hal yang musykil untuk terwujud.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 Desember 2022. Penulis adalah guru Bahasa Indonesia di SMAN 5 Kota Solo dan mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya