SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Tidak ada yang kaget kala Anies Baswedan dideklarasikan sebagai calon presiden. Mengemuka pertanyaan: seberapa ekstrem polarisasi akibat penggunaan sentimen identitas secara berlebihan akan terulang?

Di Soehanna Hall, Energy Building, SCBD, Jakarta, 20 Juni 2014, Anies berdiri mengenakan setelan celana hitam dan kemeja putih lengan panjang yang digulung. Di depannya ratusan orang muda.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Banyak di antara mereka mengenakan baju bermotif kotak-kotak merah. Dengan retorika khas, Anies meyakinkan mereka agar memilih orang yang menawarkan kebaruan.

“Saya kenal, saya lihat itu sendiri saat kenal pertama kali. This guy is very interesting. Dia merupakan satu antitesis atas apa yang terjadi selama ini. Dia menawarkan kebaruan,” kata dia yang diiringi gemuruh tepuk tangan.

Orang yang dia maksud adalah Joko Widodo (Jokowi), Gubernur DKI Jakarta saat itu, yang sedang bertarung melawan Prabowo Subianto di pemilihan presiden pada 2014.

Setelah konvensi calon presiden di Partai Demokrat pada Agustus 2013, Anies memiliki modal. Dia gagal di konvensi itu. Partai Demokrat waktu itu memilih Dahlan Iskan. Anies tetap punya basis pendukung.

Partai Demokrat tak bisa mengusung calon presiden sendiri karena minimnya raihan suara di Pemilu 2024. Akhirnya mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Simpatisan Anies saat itu identik dengan orang muda, multikultural, dan berpendidikan tinggi. Kelompok rasional dan cenderung berpandangan liberal dalam politik. Kehadiran Anies memperkuat citra kubu Jokowi sebagai antitesis kubu Prabowo yang didukung kelompok-kelompok sayap kanan.

Pada 2016, menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta edisi berikutnya, Anies berubah haluan. Bersama Sandiaga Uno, dia diusung koalisi yang dimotori Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dia melawan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), orang dekat Jokowi.

Anies juga mengganti cara berkampanye. Melawan koalisi pendukung pemerintah yang mengusung Ahok, kubu pengusung Anies menggunakan segala cara, termasuk mengapitalisasi sentimen berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Tak ada lagi multikulturalisme dalam kampanye Anies. Mereka merangkul Front Pembela Islam (FPI) dan sejenisnya. Pendukungnya jauh berbeda daripada orang-orang muda pada 20 Juni 2014 itu. Anies membiarkannya. Dia menang.

Kemenangan itu dibayar mahal. Sentimen berbasis SARA melekat setidaknya sampai Pemilu 2019. Itu juga yang membuat Jokowi berubah haluan. Visiting research fellow di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatna, menilai setelah 2017, Jokowi tak lagi mengandalkan kekuatan sukarelawan dan kelompok sipil.

Dia mulai membuat konsesi dan mengganti menteri. Mendekati partai politik, menjadi lebih mendekat ke tentara, terutama mendekati polisi. Inilah yang melahirkan oligarki yang berkonsolidasi pada 2019. Partai politik dikuasai orang-orang berpengaruh secara politik dan ekonomi.

Nyaris tak ada penyeimbang di luar koalisi. Demokrasi mengalami regresi. Kini, sentimen berbasis identitas masih terpelihara, hanya berbeda pelaku dan haluan. Dulu politik identitas didominasi penggunaan sentimen agama.

Belakangan identitas “nasionalis” menjadi yang dominan. Para pendengung mudah memberikan cap “kadrun”, “takfiri”, dan sejenisnya bagi mereka yang mengkritik pemerintah.

Jika kelak yang menjadi lawan Anies di pemilihan presiden pada 2024 adalah Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo atau keduanya, pembelahan publik berpotensi terjadi lagi. Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari, menganalisis jika yang bertarung adalah Ganjar, Anies, dan Prabowo, label “agamis” dan “nonagamis” akan tetap bermunculan.

Partisipasi

Bisa jadi label itu akan dilawan dengan label “nasionalis” dan “non-nasionalis” atau sejenisnya. Jika itu benar-benar terjadi, polarisasi ekstrem kembali melanda. Bagi mereka yang memainkannya, polarisasi adalah keuntungan.

Peneliti Charta Politika Indonesia, Mawardin, dalam sebuah artikel yang diunggah di situs Charta Politika pada 4 November 2021 menyebut polarisasi dimanfaatkan untuk mendorong partisipasi politik.

Dia mencontohkan beberapa riset yang menunjukkan polarisasi meningkatkan partisipasi politik. Salah satunya riset Elizabeth N. Simasa dan Adam L. Ozerb (2021) yang meneliti data siklus pemilu 2010-2018 di Amerika Serikat (AS).

Gairah para pemilih didorong motivasi kuat menjegal kandidat tertentu. Manuver kubu pendukung Donald Trump dalam pemilu Amerika Serikat pada 2018 dan 2020, yang terkasar sepanjang sejarah negara itu, mengonfirmasi tesis tersebut.

Ketika polarisasi ekstrem tercipta, yang memenuhi perbincangan di ruang publik hanyalah kebencian dan keinginan menjegal lawan. Tak banyak perbincangan tentang penawaran program, apalagi kebaruan seperti ucapan Anies pada 2014.

Dalam situasi itu, para calon presiden dan partai politik pendukung mereka tak merasa perlu membuat pembaruan karena sudah memiliki pemilih militan. Absennya tawaran baru dari calon presiden dan partai politik adalah kerugian besar bagi masyarakat.

Tak ada kemajuan atau kemakmuran yang dijanjikan. Tak ada janji politik yang harus direalisasikan. Semua itu harus dicegah. Jika partai politik dan para calon presiden tak bisa menghindari, publik yang harus menolak.

Publik harus semakin kritis terhadap politik identitas dan melawan aktor-aktor yang menggerakkan politik identitas untuk kepentingan kekuasaan semata. Perlawanan bisa dilakukan jauh hari sebelum pemungutan suara.



Masyarakat bisa memenuhi ruang diskusi, termasuk di media sosial, dengan diskursus tentang pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan hidup, dan segala hal yang terkait hajat hidup manusia. Jangan biarkan ruang-ruang itu dipenuhi sentimen dan narasi kebencian.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 Oktober 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya