SOLOPOS.COM - Sukma Larastiti/Istimewa

Solopos.com, SOLO — Beberapa hari lalu dunia diramaikan gerakan demonstrasi sejagat #GlobalClimateStrike, #FridayforFuture, dan di Indonesia ada #JedauntukIklim. Media independent.co.uk mencatat setidaknya ada 4.600 demonstrasi di 150 negara.

Jumlah ini meningkat drastis dibandingkan yang kali pertama diadakan pada Mei 2019, dengan 2.300 demonstrasi di 130 negara. Ada dua aktor penting di balik membesarnya dan semakin kuatnya pengaruh aksi massal ini: Greta Thunberg dan media.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Greta kali pertama melakukan demonstrasi School Strike for Climate di depan gedung parlemen Swedia, sendirian saat berusia 15 tahun. Awalnya, banyak kawan seusianya yang tidak mau ikut saat diajak berdemonstrasi. Ia hanya merekam dan menyebar aksinya lewat Instagram.

Aksi Greta teramplifikasi dan menyebar lebih luas sejak media meliput aksi dia. Orang-orang sedunia, tak hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa, tergugah, bergabung, dan melakukan aksi yang serupa. Dari sini lahirlah gerakan #FridayforFuture dan #GlobalClimateStrike.

Media, harus diakui, berperan besar dalam aksi untuk iklim. Media tak hanya membesarkan Greta dan aksi-aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi saat ini di seluruh dunia, melainkan juga menjadi kanal-kanal penyebaran pengetahuan tentang krisis iklim.

Greta dipengaruhi oleh film tentang plastik di lautan dan beruang kutub yang kelaparan, yang kemudian mengantarkan dia melakukan aksi demonstrasi.

Pengarusutamaan Iklim

Saat ini, tidak sedikit media global mengarusutamakan iklim sebagai bagian dari kebijakan redaksi. The Guardian, misalnya, pada Mei 2019 menerbitkan satu laporan yang membahas penggantian istilah ”perubahan iklim” yang umum digunakan menjadi ”krisis iklim, darurat iklim, atau kerusakan iklim”.

Perubahan istilah ini dilakukan agar media itu mampu memberikan istilah yang memiliki ketepatan ilmiah, sekaligus mengomunikasikan tingkat kepentingan isu itu kepada pembaca. Istilah ”perubahan iklim” dianggap pasif dan lembut, padahal yang hendak dikemukakan adalah malapetaka untuk umat manusia.

Selain The Guardian, upaya pengarusutamaan iklim juga dilakukan oleh inisiatif Covering Climate Now dari The Nation dan Columbia Journalism Review. Inisiatif ini dilakukan untuk memperluas cakupan peliputan isu-isu krisis iklim yang dilakukan media karena selama ini peliputan dan pelaporan isu ini di media sangat kurang.

Laman Covering Climate Now mencatat ada lebih dari 300 lembaga di dunia, dari media, institusi pendidikan dan riset, serta perorangan yang terlibat dalam inisiatif ini, khususnya untuk meliput isu krisis iklim sejak 15 September hingga 23 September, menjelang Pertemuan Iklim Persatuan Bangsa-bangsa (United Nations Climate Summit).

Sayang sekali, tak ada satu pun media asal Indonesia di sana. Apa yang dilakukan The Guardian dan Covering Climate Now adalah upaya pembingkaian isu dan pengarusutamaan isu krisis iklim untuk memengaruhi pikiran publik dan agenda publik.

Pembingkaian ini semakin penting pada hari-hari ini karena kita butuh perubahan segera. Di Indonesia, saya menyadari peliputan ini sangat kurang di media kita, baik nasional maupun lokal. Kasus pembakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi sekarang, misalnya, lebih menitikberatkan pada masalah asap yang menjadi polusi bagi warga dan luar negeri serta masalah penanganan kebakaran.

Isu ini juga memiliki hubungan erat dengan krisis iklim yang tengah kita hadapi. Pembakaran hutan dan lahan gambut mengakibatkan karbon yang berada di dalam tanah terlepas ke atmosfer. Efeknya membuat bumi semakin panas.

Data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan pembakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia pada 2015 membuat emisi di Indonesia melejit dari 1.452 Mton pada 2012 menjadi 2.452 Mton.

Emisi Karbon

Usaha pemadaman kebakaran dengan pembuatan hujan buatan dengan pesawat juga berkontribusi pada produksi emisi dari transportasi udara. Hingga kini, transportasi udara menyumbang emisi yang besar di sektor transportasi. Partnership on Sustainable Low Carbon Transport (SLoCaT) mencatat emisi dari penerbangan global mencapai 11% dari seluruh moda transportasi pada 2015.

Kasus ini membuat emisi di Indonesia naik kembali dan membuat Indonesia semakin sulit memenuhi target kontribusi penurunan emisi nasional (National Determined Contribution [NDC]). Masalah yang lain, karbon yang sudah terlepas ke atmosfer tidak bisa begitu saja kembali ke dalam bumi.

Hingga kini, belum ada satu pun teknologi canggih yang terbukti secara praksis mampu melakukan misi besar ini. Riset-riset terbaru yang terbit tahun ini justru menunjukkan ada akselerasi memburuknya krisis iklim.

Salah satu analisis disajikan Washington Post (11 September 2019) yang menunjukkan wilayah utara bumi telah mengalami pemanasan lebih dari 1,5 derajat Celsius selama lima tahun terakhir, bahkan 10% wilayah bumi menembus dua derajat Celsius.

Wilayah kutub utara mengalami peningkatan suhu yang lebih tinggi. Peningkatan suhu ini telah melebihi ketentuan yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris. Sebagai negara kelautan, Indonesia sedikit beruntung karena pemanasan di wilayah kelautan lebih lambat dibandingkan daratan.

Walau begitu, kita tidak bisa merasa sedikit senang. Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change [IPCC]) memberikan peringatan khusus bagi kawasan tropis dalam dokumen Climate Change and Land yang terbit bulan lalu.

Peringatan ini tidak menyenangkan karena IPCC tak mampu memproyeksikan bencana apa yang akan terjadi. IPCC hanya memberikan catatan kaki kondisi keikliman yang belum pernah terjadi sebelumnya dari pertengahan hingga akhir abad ke-21 yang memiliki karakteristik suhu tinggi dengan sifat kemusiman kuat dan pergeseran hujan. Apakah kita sudah merasakannya?

Parameter Emisi



Seluruh uraian tentang krisis iklim yang saya jabarkan di atas adalah masalah yang tidak mudah digali oleh masyarakat awam karena berhubungan dengan informasi teknis, bahasa ilmiah, dan bahasa asing.

Informasi masalah ini di tingkat internasional juga lebih mudah didapatkan ketimbang di tingkat lokal maupun nasional. Alhasil, informasi seperti ini cenderung memiliki sirkulasi terbatas, yakni di kalangan yang memang mendalaminya.

Di tengah kondisi kita yang seperti ini, sudah sepatutnya media nasional maupun lokal terlibat dalam produksi dan distribusi pengetahuan tentang krisis iklim, termasuk juga memperketat pengawasan kebijakan pemerintah terkait pembangunan.

Apakah kebijakan yang dikeluarkan dan upaya-upaya pembangunan yang dilakukan selama ini berkontribusi positif terhadap penurunan emisi? Apakah calon kepala daerah memiliki rencana penanganan krisis iklim?

Sudah waktunya kita menambahkan parameter emisi sebagai salah satu indikator pembangunan. Sudah waktunya pula media menjalankan fungsi informasi, edukasi, dan kontrol sosial untuk isu ini. Krisis iklim adalah bencana pemusnahan massal kehidupan di muka bumi.

Saya menyadari usul ini tidak mudah. Pertama, media membutuhkan wartawan yang memiliki pengetahuan yang memadai terkait perkembangan isu krisis iklim. Masalah krisis iklim menyangkut pembacaan data yang memiliki rentang spasio-temporal yang panjang.

Kedua, minimnya dan tidak mudahnya akses data di Indonesia. Media butuh sokongan pusat penelitian dan pengembangan yang kuat. Pada hari Kamis, 19 September 2019, saya membaca halaman muka Harian Solopos yang bertuliskan “Solo untuk Indonesia” dan dihiasi ilustrasi didominasi warna hijau.

Saya sedikit berharap isu krisis iklim menjadi salah satu isu yang mendapatkan peningkatan porsi peliputan. Kita butuh tahu lebih banyak tentang apa yang tengah kita hadapi dan apa yang harus kita lakukan. Dengan demikian, Solopos tidak hanya berkontribusi untuk Indonesia, melainkan juga untuk kehidupan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya