SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pelaku UMKM belum melindungi produknya dengan sejumlah izin maupun sertifikat yang bisa dipakai untuk menunjukkan jaminan kualitas.

 

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ilustrasi MEA 2015 (JIBI/Bisnis.com/Colourbox-com)

Ilustrasi MEA 2015 (JIBI/Bisnis.com/Colourbox-com)

Ekspedisi Mudik 2024

Harianjogja.com, KULONPROGO-Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Kulonprogo mengaku khawatir dengan persaingan bisnis di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Namun, mereka tidak lantas melindungi produknya dengan sejumlah izin maupun sertifikat yang bisa dipakai untuk menunjukkan jaminan kualitas.

Salah satunya adalah Dwiyani, pengrajin serat alam di Dusun Karang Wetan, Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kulonprogo. Dia mengaku belum memiliki izin hak merek meski sudah sekitar 15 tahun mengembangkan usaha. “Kami cuma punya izin usaha biasa. Mereknya belum karena katanya bakal lama,” kata Dwiyani kepada Harian Jogja, Minggu (13/12/2015).

Dwiyani mengungkapkan, merek produk sekaligus nama usahanya tidak pernah tertera di setiap kerajinan serat alam berupa tas, karpet, topi, dompet, dan lainnya. Padahal, produknya sudah dikirim hingga Semarang, Jakarta, hingga Bali. “Kami memang jual kosongan [tanpa merek] atau setengah jadi. Nanti mereka yang melakukan finishing, misalnya pemasangan aksesoris pelengkap hingga logo merek masing-masing,” ujar perempuan berusia 46 tahun itu.

Dwiyani menyadari jika persaingan di era MEA bakal semakin ketat. Tidak hanya dengan produk lokal maupun dalam negeri, tetapi juga produk asing. Meski demikian, di sisi lain dia juga takut dengan konsekuensi ketika mereknya telah dipatenkan. Dia justru khawatir jika hal itu membuat pesanan melonjak tajam. “Inginnya juga bisa punya merek sendiri. Tapi nanti kalau pesanannya banyak juga susah karena jumlah perajin semakin sedikit. Jadi yang penting sudah ada izin usaha saja,” ucap Dwiyani.

Pelaku UMKM lainnya, Suwardi berusaha meyakinkan konsumennya dengan mengurus sertifikat izin pangan industri rumah tangga (PIRT) sejak awal merintis usaha produksi bakpia empat tahun lalu. Dia datang sendiri ke Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Kulonprogo untuk menanyakan persyaratannya. Petugas verifikator kemudian mendatang melihat produksi di rumahnya, Dusun Banyunganti Lor, Desa Kaliagung, Sentolo. “Sempat dapat pelatihan dulu. Kami dikenalkan tentang bahan pangan yang boleh dipakai dan tidak,” ungkap Suwardi.

Menurut Suwardi, kepemilikan sertifikat PIRT adalah bentuk tanggung jawab kepada konsumen terhadap kualitas bakpia buatannya. Dia juga merasa lebih tenang karena bisa memberikan jaminan kelayakan konsumsi. Meski demikian, Suwardi mengaku belum mengurus sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Sertifikat halal itu kan hanya untuk memantapkan saja. Ada PIRT sebenarnya sudah cukup menjelaskan kalau makanan itu layak,” tutur Suwardi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya