SOLOPOS.COM - Danang Nur Ihsan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Dunia sedang tidak baik-baik saja. Kala pandemi Covid-19 mulai mereda, pecah perang di Eropa Timur. Resesi ekonomi membayangi banyak negara dan krisis pangan begitu nyata di depan mata.

Setiap hari 19.600 orang di dunia meninggal akibat krisis pangan. Perang Rusia-Ukriana yang berkecamuk setengah tahun terakhir belum ada tanda-tanda bakal berakhir. Sebenarnya perang Rusia-Ukraina bukan satu-satunya pemicu krisis pangan akhir-akhir ini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sebelum perang Rusia-Ukraina pecah, ancaman krisis pangan lahir dari perubahan iklim. Lembaga riset asal Swiss pada 2021 menyebut perubahan iklim dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi perekonomian dunia.

Perubahan iklim dapat memunculkan tekanan Inflasi akibat gangguan rantai pasokan pangan. Ini disebabkan perubahan cuaca seperti kekeringan, banjir, badai, dan kenaikan permukaan air laut.

Indonesia diperkirakan berpotensi menanggung kerugian ekonomi akibat krisis iklim mencapai Rp112,2 triliun atau 0,5% dari produk domestic bruto (PDB) pada 2023. Gonjang-ganjing urusan pangan bisa jadi ancaman sekaligus peluang.

Bulan lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agricultural Organization (FAO) mengakui kesuksesan Indonesia berswasembada beras dalam tiga tahun terakhir. Pencapaian ini layaknya oase di tengah krisis pangan yang tengah melanda dunia.

Bagi Indonesia, ini bukan sebatas deja vu atas pencapaian swasembada beras era 1980-an. Hal yang lebih fundamental adalah mengamankan pasokan pangan di tengah krisis. Swasembada beras ini menjadi potret peluang di tengah ancaman krisis pangan.

Peluang besar lainnya yang tersaji adalah pesatnya ekonomi digital di Indonesia. Ekonomi digital pada 2020 tercatat mencapai Rp632 triliun dan diprediksi akan melesat delapan kali lipat menjadi Rp4.531 triliun pada 2030.

Apabila itu terjadi, Indonesia akan menjadi raja ekonomi digital di Asia Tenggara sebab 40% ekonomi digital di kawasan ini berada di Indonesia. Potensi besar ekonomi digital ini belum sepenuhnya mencakup sektor pertanian.

Pangsa Pasar Baru

Pemanfaatan teknologi digital di bidang pertanian baru menyentuh angka 4%, sangat jauh dibandingkan bidang lainnya seperti financial technology atau fintech yang menembus 23% dan ritel yang mencapai 14%.

Minimnya peran sektor pertanian dalam ekonomi digital ini peluang nyata di tengah krisis pangan sekaligus menjawab tantangan zaman, yaitu digitalisasi di segala lini. Digitalisasi sektor pertanian akan menghasilkan dampak yang luar biasa besar karena urusan pertanian sangat luas, hulu sampai hilir, dari produksi, rantai pasok, hingga urusan pasar.

Menariknya, pertanian merupakan salah satu sektor yang padat tenaga kerja alias menyerap banyak tenaga kerja. Ini berbeda dengan sektor fintech yang cenderung ramping dari sisi tenaga kerja.

Artinya, ketika digitalisasi sektor pertanian dilakukan secara masif, dampaknya akan dirasakan oleh sekitar 40 juta tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Ini tak ubahnya saat pemerintah dan berbagai pihak gencar mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM di Indonesia masuk ke ekosistem digital, go digital.

Selama ini UMKM mendapatkan perhatian yang cukup besar agar mereka bisa memaksimalkan digitalisasi. Sama dengan sektor pertanian, UMKM menyerap banyak tenaga kerja informal.

Hasilnya kian banyak pelaku UMKM yang melek digital dan meraih pasar baru. Ujungnya, UMKM menggerakkan ekonomi negara ini, di tengah pandemi sekalipun. Bayangkan bila digitalisasi mencakup sektor pertanian secara besar-besaran.

Ini akan membuka potensi penyerapan produksi pertanian yang bisa langsung sampai ke end user, rantai pasok menjadi efisien, sekaligus menembus batas, sampai lahirnya produk-produk baru olahan pangan.

Inilah yang seharusnya menjadi kekuatan ekonomi digital Indonesia. Roadmap atau peta jalan ekonomi digital yang diprediksi menembus Rp4.500 triliun pada 2030 harus dipertajam di sektor yang menjadi kekuatan sekaligus memberikan dampak luas bagi banyak orang seperti sektor pertanian dan UMKM.

Apabila peluang besar sektor pertanian di jagat ekonomi digital ditangkap dengan baik, ibarat sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampai. Kita menjawab ancaman krisis pangan sekaligus menjadi penguasa ekonomi digital di Asia Tenggara.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 29 September 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya