SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

JOGJA—Gelombang protes dan tak sepakat atas rencana merger PSIM-PSS terus mengalir. Setelah dari kedua kelompok suporter pendukung setia Laskar Mataram, gelombang protes juga dilontarkan oleh para tokoh dan mantan pemain PSIM.

Sebut saja misalnya Nugroho Swasto Purnomo. Eks manajer PSIM periode 2005-2007 tersebut menegaskan persoalan paling mendasar yang akan muncul dengan adanya merger tersebut adalah nama klub yang akan dipakai.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Ia yakin, baik nama PSIM maupun PSS sudah pasti memiliki sejarah panjang. Oleh sebab itu, jika nantinya kedua klub tersebut digabung, persoalan nama tentunya akan menjadi perdebatan yang sangat sensitif.

Selain itu, ia juga mengingatkan, bagaimanapun PSIM terbentuk dari embrio perserikatan. Ini artinya, di belakang PSIM ada setidaknya 26 klub anggota perserikatan yang juga harus diajak rembug. “Kalau mengingat sejarahnya, saya yakin klub-klub ini tidak akan mengamini rencana merger tersebut begitu saja,” ujarnya.

Menurut dia, jika dengan latar belakang sejarah yang panjang seperti itu, merger sangat tidak rasional. Merger baru bisa masuk akal jika dilakukan oleh dua klub sepakbola yang berada di dua kota yang sama sekali tak memiliki keterkaitan. “Sebut saja misalnya Arema dan Pelita. Itu baru masuk akal,” kata dia.

Ia menegaskan, manajemen harus bisa realistis, di mana dengan kondisi keuangan PSIM manajemen harus berupaya untuk mencari solusi tanpa harus mengorbankan sejarah panjang klub.

Solusinya, menurut pria yang kini bertindak sebagai Manajer Diklat Pengcab PSSI Kota Jogja ini, manajemen bisa memanfaatkan potensi pemain lokal yang ada untuk mengisi skuat PSIM. “Setidaknya momentum ini bisa dimanfaatkan untuk memberikan kesempatan dan jam terbang pada pemain lokal,” ungkapnya.

Hal senada juga ditegaskan oleh mantan stopper PSIM era 1990-an, George Meteray. Kepada Harian Jogja, pria yang harus mengakhiri karier profesionalnya setelah dibekap cedera lutut ini menilai sebenarnya wacana merger tak perlu dilakukan jika motifnya hanya karena persoalan keuangan.

Pasalnya, persoalan finansial justru seharusnya menjadi momentum manajemen PSIM untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerjanya, terutama yang terkait pendanaan klub. “Sebagai manajemen klub profesional, manajemen harus berprinsip bagaimana caranya agar uang bisa datang,” ungkapnya.

Terlebih, diyakininya pula hingga kini masih banyak pendukung PSIM yang datang tak hanya dari Kota Jogja, melainkan juga dari kabupaten lainnya. Hal ini lantaran dalam sejarahnya, PSIM memang pernah menjadi klub kebanggaan seluruh masyarakat DIY.

Itulah, ia menilai jika hal ini bisa dimaksimalkan oleh manajemen, tak mustahil akan bisa mendatangkan pemasukan untuk klub. “Itulah, saya katakan, merger hanya perlu dilakukan jika dalam tataran seluruh DIY, bukan hanya PSIM dan PSS,” tegasnya.

Begitu pula dengan mantan penjaga gawang PSIM Tri Agus Heryono. Notaris yang kini menjabat sebagai Ketua Pengcab PSSI Kota Jogja tersebut memberikan apresiasi terhadap adanya wacana untuk mempersatukan sepak bola Jogja. Ia berharap penyatuan itu dilakukan secara menyeluruh, tak hanya PSIM dan PSS.

Ia juga meminta agar digelar pertemuan yang melibatkan seluruh stakeholder PSIM, termasuk klub-klub anggota Pengcab PSSI Kota Jogja. “Karena wacana ini adalah wacana besar yang melibatkan banyak pihak, sudah seharusnya jika semua pihak itu dilibatkan,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya