SOLOPOS.COM - Ilustrasi vaksin Covid-19. (Freepik)

Solopos.com, JAKARTA — Di tengah pandemi Covid-19 yang belum kunjung berakhir, masyarakat dibingungkan soal vaksin. Sebenarnya, apa sih itu vaksin?

Secara sederhana, vaksin adalah bibit penyakit yang sudah dilemahkan yang berfungsi untuk melawan penyakit itu sendiri. Vaksin kali pertama ditemukan Edward Jenner pada 1796 untuk mengobati penyakit smallpox atau cacar.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sejak saat itu, vaksin terus dikembangkan karena diakui dan terbukti dapat mencegah penyakit yang disebabkan virus atau bakteri tertentu. Vaksin adalah antigen atau zat aktif pada virus dan bakteri yang apabila disuntikkan dapat menimbulkan reaksi sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus atau penyakit tersebut.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. dr. Cissy Rachiana Sudjana, mengatakan Proses pemasukkan vaksin ke dalam tubuh disebut vaksinasi. Imunisasi adalah reaksi dari tubuh setelah mendapatkan vaksin.

"Badan akan dirangsang untuk membentuk anti bodi pada sistem kekebalan tubuh. Selain anti bodi, badan akan menghasilkan sel memori, jadi sistem kekebalan kita bisa memproduksi anti bodi untuk segala macam penyakit yang tidak baik," terangnya pada acara Dialog Selasa: Mendalami Vaksin dan Imunisasi, yang digelar Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) di Jakarta, Selasa (27/10/2020).

Wisata Air di Klaten Buka Lagi, Pengunjung Ingin Sejenak Lupakan Pandemi

Dampak imunisasi terhadap turunnya penularan penyakit tercatat sangat besar. Beberapa vaksin berhasil menekan persebaran penyakit tertentu seperti haemophilus influenza, radang paru, penyakit gondok, rubella, hingga tifus.

Semua penyakit tersebut menurun jumlah penularannya seiring dengan dilakukannya imunisasi.

Tak Perlu Ragu

Dalam acara tersebut, masyarakat diimbau tidak perlu ragu dengan keamanan vaksin. Jaminan keamanan vaksin terus dilakukan pada tiap fase uji klinik sehingga produk dipastikan aman, efektif, dan berkhasiat.

Pada tahap awal, produsen vaksin mengidentifikasi dahulu calon vaksin yang hendak dibuat. Calon vaksin yang terpilih adalah yang mampu menghasilkan zat antibodi terbaik.

Saat sudah aman dan menghasilkan zat antibodi yang kuat, terutama pada uji pra klinik yang diujicobakan pada hewan, baru pengujian diteruskan ke uji klinik pada manusia.

Fase uji klinik pada manusia terbagi menjadi tiga tahap. Pada fase pertama, dilakukan pengujian untuk keamanan dan efektifitasnya.

"Fase pertama ditujukan untuk menguji respons imun pada sekelompok orang dengan jumlah di bawah 100. Ketika fase pertama aman dan efektif, maka dilanjutkan ke fase kedua untuk diuji keamanan dan efikasinya lebih jauh lagi pada jumlah subyek 400-600 orang," terang Prof. Cissy.

Apabila fase kedua sudah aman, lanjut dia, bisa menuju ke fase ketiga untuk mengetahui apakah ada efek samping yang jarang terjadi yang biasanya muncul saat diujikan ke jumlah subjek yang mencakup ribuan atau puluhan ribu orang.

"Setelah melalui uji klinik fase letiga dan tidak terdapat efek samping, maka vaksin tersebut ditetapkan aman, efektif, dan berkhasiat." terang Prof. Cissy Rachiana.

Lebih lanjut, ia juga menjelaskan pada fase ketiga biasanya pengujian vaksin dilakukan di beberapa negara. Fungsinya untuk mengukur efektivitas serta efikasinya. Efikasi merupakan langkah observasi untuk mengetahui besaran daya perlindungan vaksin terhadap infeksi.

Setelah melewati fase-fase tersebut, regulator yang dalam hal ini adalah BPOM di Indonesia, bisa menerbitkan izin edar setelah mempelajari data-data uji klinik tersebut.

Survei keamanan vaksin terus dilakukan termasuk saat vaksin sudah digunakan secara resmi. Ini yang disebut fase keempat atau post marketing study.

Vaksin Covid-19

Tidak seperti halnya vaksin lain yang pengembangannya perlu waktu bertahun-tahun, vaksin Covid-19 relatif singkat pengembangannya sekitar 12 bulan hingga 18 bulan karena telah mendapat izin dari para ilmuan dan regulator. Untuk mempersingkat pengujian, uji klinik fase I dan II dilakukan berbarengan namun tetap mengutamakan faktor keamanan.

Selain imunisasi penting untuk mencegah penyakit, kecacatan, hingga kematian, juga dapat mencegah penularan penyakit ke lingkungan sosial yang lebih luas lagi. Konsep inilah yang disebut herd immunity atau imunitas populasi, yakni saat sebagaian besar populasi di imunisasi.

Pengacara Veteran K-Pop Puji IU, Suga BTS, dan Heechul Tangani Komentar Jahat

Besaran cakupan herd immunity tergantung kemampuan penularan virus atau bakteri. Semakin cepat penularannya, maka semakin membutuhkan cakupan yang besar.

"Jadi kalau banyak orang di sekeliling kita diimunisasi, yang tidak bisa mendapatkan imunisasi karena berbagai sebab seperti, ada penyakit, terlalu muda untuk diimunisasi, atau tidak mendapat akses ke vaksin, jadi ikut terproteksi," ujar Cissy.

Untuk Covid-19, diperkirakan reproductive number (Ro) atau kecepatan penularannya atau mencapai 2 kali hingga 5 kali. Dengan daya penularan sebesar itu, imunisasi Covid-19 harus tercapai 60-70% dari populasi agar tercipta herd immunity.



"Saya mengharapkan semua masyarakat terutama media yang bisa memberikan edukasi, untuk mengedukasi masyarakat kita bahwa vaksin adalah cara paling efektif untuk menurunkan kesakitan, kematian dan juga kecacatan. Biayanya juga paling cost effective. Kita lakukan demi Indonesia, semoga anak-anak kita bisa sehat dengan imunisasi yang sesuai dengan ketentuan." tutup Cissy Rachiana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya