SOLOPOS.COM - Sejumlah mahasiswa ISI Solo menampilkan tarian di Kompleks Astana Oetara, Nusukan, Banjarsari, Solo, Minggu (13/2/2022) siang. (Solopos/Kurniawan)

HUT hari jadi kota solo ke-277

Solopos.com, SOLO — Sosok KGPAA Mangkunagoro (MN) VI merupakan tokoh pembaharu atau reformis yang semasa hidupnya dikenal dekat dengan berbagai lapisan dan golongan masyarakat.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Saat memimpin Pura Mangkunegaran Solo pada 1896-1916, MN VI berhasil membangkitkan perekonomian dengan memberdayakan berbagai sumber daya yang ada. Salah satunya warga keturunan Tionghoa di Solo. Kedekatan MN VI dengan warga Tionghoa sudah banyak diceritakan.

Ketua Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS), Sumartono Hadinoto, saat diwawancarai wartawan di sela kegiatan Napak Tilas Sang Adipati, Minggu (13/2/2022) pagi, di Rumah Duka Thiong Ting, mengatakan banyak nilai-nilai keteladanan dari sosok Sang Adipati.

Ekspedisi Mudik 2024

Baca Juga: Napak Tilas MN VI: Radya Pustaka Solo, Thiong Ting, dan Astana Oetara

“Sebelum wafat beliau turun takhta dan jadi rakyat biasa di Surabaya. Saat meninggal dibawa dari Surabaya naik kereta ke Stasiun Sragen, lalu disemayamkan di Rumah Duka Thiong Ting. Kala itu kalau kita baca sejarah, banyak yang hadir atau melayat,” ujarnya.

mangkunagoro VI solo
KGPAA Mangkunagoro VI. (puromangkunegaran.com)

Bahkan berdasarkan cerita sejarah, Sumartono menjelaskan para pelayat tersebut tidak hanya dari kalangan keluarga dan kerabat. Tapi banyak juga dari kalangan rakyat jelata dan warga keturunan Tionghoa. Momen itu jadi bukti Mangkunagoro VI adalah sosok multikultural.

“Yang datang melayat berbagai suku. Jadi beliau adalah sosok multikultural yang sangat reformis. Saat meninggal banyak sekali yang melayat. Ini lah yang jadi kebanggaan masyarakat Solo bahwa KGPAA MN VI menjadi rakyat biasa, walau seorang raja,” tuturnya.

Baca Juga: Sejarah Solo: Bisnis Kopi Melesat di Era Kejayaan Mangkunegaran

Bukti lain kedekatan MN VI dengan rakyat kecil yaitu permintaannya untuk dimakamkan di Astana Oetara, Nayu, Banjarsari, Solo, bukan di kompleks makam keluarga Mangkunegaran di Astana Girilayu, Matesih, Karanganyar. Kebesaran hati dan pemikiran MN VI layak menjadi teladan generasi bangsa.

Teladan Generasi Penerus Bangsa

“Kami mewakili segenap keluarga besar PMS memberikan apresiasi luar biasa acara ini, sehingga bisa memotivasi dan memberikan teladan kepada generasi penerus bangsa. Mari menjadi 100 persen Indonesia dan berkontribusi untuk bangsa ini,” tegasnya.

Sedangkan Kepala Bidang (Kabid) Pembina Sejarah dan Pelestarian Cagar Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Solo, Sungkono, juga mengapresiasi kegiatan napak tilas Mangkunagoro VI dengan kegiatan sepeda santai budaya. Apalagi kegiatan itu diakhiri dengan ziarah makam.

Baca Juga: Asal Usul Sejarah Pura Mangkunegaran, Bermula dari Perjanjian Salatiga

“Selama ini dinas mengapresiasi Astana Oetara karena selalu proaktif dan termasuk cagar budaya. Jadi kami ingin memajukan Solo bagian utara. Kebetulan ini awal yang bagus. Ke depan Solo akan lebih maju dengan diawali acara napak tilas ini,” terangnya.

Menurut Sungkono, Kompleks Astana Oetara berpotensi dikembangkan sebagai salah satu destinasi wisata religi unggulan di Kota Bengawan. Sebab sosok MN VI hingga sekarang masih dikenang sebagai sosok yang pintar, baik dan memiliki sejumlah peninggalan.

Salah satu peninggalan yang dulu menjadi tren yaitu mits atau penutup kepala dari kain. “MITS ini adalah ide dari beliau. Fungsinya sebagai penutup kepala. Salah satu sebagian dari ciri khas MN VI dan pengikutnya. Biasa dipakai saat ada upacara besar,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya