SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO — Magrib di serambi rumah saya seringkali menyuguhkan pemandangan unik. Dua gadis kecil terburu-buru membereskan sebagian mainan mereka. Langit yang belum juga gelap tak bisa diandalkan sebagai penanda batas akhir permainan.

Suara azan dari masjid belakang rumah adalah satu-satunya yang setia memberitahu mereka bahwa waktu bermain hampir habis. Salah satu dari kedua anak itu adalah anak saya. Dia harus melaksanakan Salat Magrib berjemaah, sementara anak yang satunya lagi tidak. Sahabat anak saya itu, anak tetangga sebelah, beragama Kristen.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Keduanya melangkah ke dalam rumah. Anak saya mengambil mukena dan memakainya. Si sahabat membantunya, menempatkan atasan mukena agar garis jahitannya tepat di bawah dagu anak saya. Mereka berdua masih mengobrol sampai kemudian anak tetangga saya itu duduk diam-diam di serambi, menanti kami salat. Tak lama memang, maksimal tujuh menit kami salat. Sehabis salat, mereka berdua bermain lagi hingga pukul setengah tujuh malam untuk selanjutnya belajar di rumah masing-masing.

Dalam buku diary-nya, anak saya selalu menyebut anak tetangga saya itu sebagai best friend forever-nya, sahabat terbaik. Dari sinilah cerita saya bermula. Gadis kecil kelas III SD itu kerap bertanya beberapa hal yang membuat saya harus belajar dan saya akui justru dialah yang akhirnya menjadi salah satu guru terbaik saya.

Pertanyaan-pertanyaan itu, misalnya: “Mama, bolehkah orang Islam bersahabat dengan orang Kristen? Apakah setiap manusia wajib memakai kerudung? Tapi, kenapa aku tidak memakainya? Kenapa sahabatku tidak Islam saja supaya kita berdua bisa salat bersama?” Atau

“Kenapa aku tidak boleh Kristen supaya aku bisa ikut pergi ke gereja? Kira-kira sahabatku boleh ikut ngaji di masjid enggak, kasihan dia tidak ada temannya. Kenapa sih aku tak boleh berdoa bersama mereka?”

Saya akui tidak semua pertanyaan itu saya jawab lugas karena saya khawatir kesenjangan usia di antara kami membuat saya tak bisa memberikan jawaban yang tepat dan justru merusak pemahaman maupun sisi kemanusiaannya. Saya lebih banyak bercerita, memancing sisi kritisnya, atau mungkin juga sisi kritis kami berdua. Kami belajar bersama sebagai manusia hingga pada suatu hari dia tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat saya harus menggali lagi kebenaran personal saya sebagai proses sintesis.

“Kupikir bagus juga kalau orang-orang Islam menikah dengan orang Kristen. Ada yang pergi ke masjid, ada yang ke gereja. Kenapa aku lihat di TV itu menikah beda agama enggak boleh? Padahal kan sama-sama manusia. Kata Mama kan yang enggak mungkin menikah itu yang enggak sejenis. Kucing enggak bisa menikah sama anjing atau sama ayam. Iya kan, Ma?”

Dia lalu tertawa sewaktu mengandaikan seekor sapi yang menikah dengan babi, membayangkan bentukan anak mereka yang kemungkinan mirip dengan boneka sepanjang masanya yang bernama Sabi (akronim dari sapi-babi). Boneka itu punya wajah sapi, namun ekornya sangat pendek dan melingkar seperti babi, khas boneka anak yang bentuknya imajinatif.

Sekali lagi, saya tidak akan membahas ujung dari pertanyaan eksploratif itu dalam tulisan ini. Namun, satu hal yang saya garis bawahi adalah betapa pertanyaan tentang keberagaman darinya tidak sesederhana yang saya hadapi ketika saya masih kecil. Waktu saya masih kecil, seingat saya, orang tua saya lebih banyak berkutat dengan perbedaan pilihan makanan di antara kami, perbedaan selera musik kami, dan sejenisnya dalam sebuah keputusan akhir yang mengandung nilai-nilai penerimaan maupun penghargaan atas perbedaan.

Meski demikian, saya akui ajaran dari orang tua tentang kebebasan memilih dan kewajiban saling menghargai pilihan masing-masing anggota keluarga sangat berguna bagi kehidupan saya sekarang. Ajaran itu menjadi bekal saya menghadapi masyarakat yang sangat beragam.

Merujuk pada kesejarahannya, bangsa Indonesia sejatinya memang telah terbiasa hidup dalam keberagaman. Menggunakan konsep multikulturalisme Bikhu Parekh, masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultural (multicultural societies), sebuah penggambaran masyarakat yang terdiri atas berbagai macam ras, agama, suku, dan lainnya.

Yang justru menjadi tantangan adalah bagaimana masyarakat Indonesia bisa menjadi multiculturalist societies. Sebuah masyarakat bangsa yang dapat mendorong, menghargai, dan memasukkan beragam pendekatan budaya, termasuk juga yang minoritas dalam sistem kepercayaan dan praktik mayoritas secara konsisten dan damai.

Untuk mewujudkan multiculturalist societies ini, saya akan kembali pada kesejarahan Indonesia, sebagaimana refleksi kehidupan manusia yang terdiri atas elemen past, present, dan future. Konteksnya adalah Indonesia sejak dulu sebenarnya adalah negara yang masyarakatnya beragam, yang bisa hidup berdampingan dengan damai dengan sikap-sikap saling menghormati dan menghargai.

Indonesia tidak pernah mengalami problem dengan masyarakat asli karena tidak ada masyarakat asli di negara ini, pun imigran minoritas seperti yang dihadapi negara-negara di Eropa maupun Amerika. Bahasa Indonesia yang akarnya bahasa Melayu menunjukkan bagaimana keberagaman itu menjadi sebuah keniscayaan di Indonesia, di mana masyarakat bisa menyikapinya dengan sangat dewasa.

Penunjukan bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia menunjukkan sikap toleransi aktif bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa sebagai penutur bahasa mayoritas kala itu. Tidak ada pergolakan berarti yang dicatat oleh sejarah.

Sebaliknya, yang sejarah ceritakan adalah dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 59,1 juta orang pada 1928 lalu, pengguna bahasa Melayu sebenarnya adalah kelompok minoritas, hanya 2,94 juta orang atau 4,9% saja. Sebagian besar orang Indonesia merupakan pengguna aktif bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan lainnya. Namun, semua orang kala itu sepakat menjadikan bahasa Melayu yang merupakan bahasa pergaulan di Nusantara dan dunia, sebagai bahasa Indonesia. Bahasa Melayu sebagai representasi identitas ini menunjukkan sikap toleransi yang sangat kuat, yang mengikat orang Indonesia dalam perjalanan bernegara, termasuk juga dalam menghadapi beberapa konflik kesukuan.

Di sisi lain, sejarah justru mencatat bahwa konflik di Indonesia lebih banyak diwarnai konflik agama, salah satunya antara kelompok nasionalis dan agamis. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan Piagam Jakarta adalah masa lalu yang selalu menjadi bagian dari perwajahan Indonesia saat ini. Dengan demikian konteks persoalan konflik lebih banyak pada ideologi. Yang harus kita ingat, orang-orang boleh mati, namun ideologi susah mati. Inilah yang menjadi alasan mengapa saya lebih fokus menyoroti keberagaman agama.

Islam, merujuk pada data yang dipublikasikan indonesia.go.id, merupakan agama mayoritas di Tanah Air, mencapai 87,2%. Selanjutnya menyusul Kristen 6,9%; Katolik 2,9%; Hindu 1,7%; Budha 0,7%; dan Konghucu 0,05%. Pola konflik pun berkembang, dari yang antargama, kini menajam pada konflik dalam satu agama, salah satunya antara kelompok ekstrem dengan kelompok tradisional. Lantas bagaimana sikap toleransi yang sebenarnya sudah kita miliki sejak lama? Di mana toleransi itu berada?

Dalam kebenaran personal di mana unsur pengetahuan, pengalaman, sekaligus hasrat atau kepentingan menjadi elemen prioritas, toleransi tercipta dengan berbagai bentuk. Di lingkungan masyarakat berpendidikan (educated people), ajaran agama dipahami dalam basis analisis rasional yang mengesampingkan pemahaman intuitif dan simbolik. Karakter kelompok ini mudah menghormati dan menghargai perbedaan, sebuah modal yang dibutuhkan dalam multiculturalist society.

Sebaliknya, dalam kelompok ordinary people (saya memahaminya dalam konteks kurangnya pendidikan yang berkonsekuensi terhadap banyak hal, salah satunya ekonomi), pemahaman ajaran agama berelasi dengan simbol-simbol sehingga mengesampingkan analisis rasional. Kelompok ini mudah sekali tersulut emosi saat melihat kelompok lain yang agamanya dan praktik beragamanya berbeda.

Kelompok ini biasanya menerjemahkan agama bukan dari posisi kritis, namun simbolik. Sebuah pemahaman yang mengantarkan mereka pada pendekatan oposisi biner atau komparasi percabangan yang bentuknya sangat sederhana, seperti baik-buruk, hitam-putih, pahala-dosa, surga-neraka, dan sejenisnya. Padahal praktik beragama adalah batang, bukan cabang sehingga tak perlu dikomparasikan, seperti halnya manusia, malaikat, biru, hijau, dan lainnya. Pendekatan biner yang instan membuat kelompok ini mudah digerakkan oleh orang-orang yang beraliansi pada politik maupun sosial budaya tertentu.

Kembali pada pertanyaan bagaimana mewujudkan multiculturalist societies? Salah satu kuncinya, menurut saya, terletak pada orang tua. Untuk mengimbangi pelajaran agama yang sangat deterministik di sekolah, orang tua perlu membekali anak-anak mereka pendidikan multikultural sebagai soft skill.

Soft skill ini adalah seperangkat kemampuan yang memengaruhi individu ketika berinteraksi dengan orang lain. Orang tua harus memberikan pemahaman kepada anak-anak mereka bahwa untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang rukun memerlukan prasyarat saling menghargai, tidak melakukan diskriminasi, dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang.



Lantas kenapa anak-anak menjadi aktor penting? Itu karena meski meski menurut Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) jumlah anak usia 0-17 tahun hanya 30% dari total populasi Indonesia saat ini, namun di masa depan merekalah yang 100% mewarnai bangsa ini!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya