SOLOPOS.COM - Ilustrasi menghitung uang (Rahmatullah/JIBI/Bisnis)

Mafia peradilan kembali disorot. Kasus hakim minta THR ke pengusaha mengejut Komisi Yudisial (KY).

Solopos.com, JAKARTA — Beredarnya surat permintaan tunjangan hari raya (THR) dengan kop surat Pengadilan Negeri (PN) Tembilahan, Riau, mencoreng peradilan. Surat permintaan itu ditandatangani langsung oleh Ketua Pengadilan PN Tembilahan Y Erstanto Windiolelono dan kabarnya dikirimkan kepada sejumlah perusahaan di Riau.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Mahkamah Agung (MA) langsung merespons dengan cepat. Erstanto langsung dicopot dan dimutasi menjadi hakim non palu di Pengadilan Tinggi Ambon. Artinya Erstanto tak lagi bisa menyidangkan perkara. Erstanto juga diberikan sanksi tidak menerima tunjangan sehingga dia hanya menerima gaji sebagai PNS senilai Rp4 juta. Sementara tunjangan senilai Rp17 juta diberhentikan sementara.

Guna mencegah kejadian serupa, MA mengeluarkan surat edaran MA (SEMA) yang memberitahukan larangan menerima parsel dalam bentuk apapun bagi aparat pengadilan. MA akan mengenakan sanksi disiplin bagi pelanggar surat edaran ini, baik pemberi maupun penerima.

Juru Bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi mengapresiasi respons cepat MA segera memberikan sanksi kepada Erstanto. Farid berharap hal itu juga akan berlaku bagi siapapun aparat pengadilan yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin. KY juga memantau pola “pemalakan” seperti ini.

“Kita terus melakukan pantauan dan memetakan pola seperti itu,” Kepala KY Perwakilan Riau, Hotman Parulian Siahaan di Pekanbaru, Selasa (28/6/2016).

Permintaan aparat pengadilan kepada sejumlah pihak tertentu bukan hal yang baru. Menurut Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, Erstanto hanyalah satu orang hakim yang sembrono. “Mungkin biasanya diam-diam tanpa surat. Praktik-pratik seperti itu ada, sudah rahasia umum. Ini baru saja ketahuan pakai surat resmi,” katanya.

Permintaan THR kepada sejumlah perusahaan menurutnya adalah praktik yang lebih kejam dari korupsi. Apalagi permintaan sudah menggunakan surat edaran resmi yang ditandatangani kepala pengadilan. “Ini pemerasan sudah keterlaluan, dosa paling besar penegak hukum.”

Oleh karena itu dia menyesali putusan MA yang hanya memutasi pejabat terkait. Seharusnya aparat pengadilan yang meminta sesuatu kepada pihak tertentu langsung diberhentikan secara tidak hormat.

Apalagi dalam kasus ini sudah jelas ada surat yang disertai dengan tanda tangan. MA tak perlu lagi membuat penyelidikan internal untuk memverifikasi kebenarannya.

Dengan adanya rentetan kejadian yang menimpa dunia peradilan, Boyamin mendorong MA mengadakan pembenahan secepat mungkin. Menurut Boyamin, MA perlu mencotoh pemotongan angkatan seperti yang dilakukan di tubuh Polri dalam pengangkatan Komjen Pol. Tito Karnavian. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mereformasi peradilan dimulai dari lembaga tertinggi, yakni MA.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya