SOLOPOS.COM - Sejumlah anak-anak di pengungsian korban longsor Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Ponorogo, mengikuti kegiatan trauma healing, Jumat (7/4/2017). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

Longsor Ponorogo, pengungsi sudah mulai stres lantaran terlalu lama di posko pengungsian.

Madiunpos.com, PONOROGO — Kondisi psikologis pengungsi korban longsor Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Ponorogo, sudah mulai labil. Pengungsi tidak bisa berlama-lama hidup di pengungsian yang tidak memberikan privasi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Demikian salah satu hasil identifikasi tim psikolog dari Polda Jawa Timur yang menangani kejiwaan seluruh pengungsi korban longsor di pengungsian. (Baca: 3 Dokter RSJD Solo Didatangkan untuk Tangani Kejiwaan Pengungsi)

Wakil Ketua Tim Psikolog Polda Jatim, AKP Heri Dian Wahono, menuturkan Polda Jatim menurunkan enam psikiater dan dibantu 10 psikiater dari Polres Ponorogo. Total ada 16 psikiater yang diterjunkan memantau perkembangan kejiwaan pengungsi.

Heri menuturkan dari hasil observasi umum yang telah dilakukan, sebagian besar pengungsi sudah mulai stres terhadap kondisi yang mereka hadapi. Kelompok rentan stres ini antara lain anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia.

Namun, hingga kini dia belum menemukan pengungsi yang stres berat. “Memang ada yang sudah mengalami stres tapi hanya stres ringan. Kalau stres berat belum ditemukan,” kata dia kepada Madiunpos.com di posko pengungsian, Jumat (7/4/2017).

Heri menyampaikan pengungsi mengalami stres lantaran sudah mengalami ketidaknyamanan selama tinggal di posko pengungsian. Selain itu, di posko pengungsian mereka juga tidak bisa beraktivitas seperti biasa.

Dia mencontohkan biasanya mereka setiap pagi ke ladang untuk beraktivitas tapi saat ini aktivitas itu tidak bisa dikerjakan. Setiap pagi biasanya mempersiapkan makanan dan beraktivitas di rumah, tapi saat ini tidak bisa.

“Selain itu soal privasi, karena di pengungsian kan mereka tidak punya ruang privasi karena semuanya bareng-bareng. Ini juga menjadi tekanan tersendiri bagi pengungsi,” jelas dia.

Selain itu, pengungsi juga mengalami kecemasan jika terjadi longsor susulan. Kekhawatiran ini juga menjadi pemicu gangguan kejiwaan pengungsi.

Dalam menangani kondisi itu, Heri mengatakan psikiater memberikan bantuan konseling kepada pengungsi yang dewasa dan lansia. Petugas mendengar cerita dan keluhan yang dirasakan pengungsi selama tinggal di pengungsian.

Selain itu, petugas juga mendata kebutuhan para pengungsi selama tinggal di pengungsian. “Semua kebutuhan kami catat. Misalnya Ariska yang kehilangan suami dan kedua orang tuanya, dia kan masih punya bayi kami data seluruh kebutuhannya mulai pakaian hingga kebutuhan bayi,” jelas dia.

Sedangkan untuk anak-anak dilakukan trauma healing dengan mengajak bermaian dan memberikan cerita-cerita motivasi. “Anak-anak ini kan kebutuhannya bermain, jadi kami berikan permainan supaya sejenak mereka tidak trauma atas apa yang terjadi,” kata Heri.

Lebih lanjut, kata dia, salah satu hal yang tidak bisa dielakkan yaitu kondisi kejiwaan pengungsi setelah masa tanggap bencana berakhir, yaitu ketika petugas dan sukarelawan telah meninggalkan pengungsian dan lokasi bencana.

Lokasi bencana tentu akan menjadi sepi dan pengungsi ditakutkan akan kembali mengingat-ingat peristiwa memilukan itu. Menurut dia, hal ini juga harus diperhatikan supaya pengungsi tidak lagi memikirkan hal tersebut.

“Konseling pascatanggap darurat juga masih dibutuhkan, jangan sampai setelah masa tanggap darurat selesai, mereka kembali mengingat bencana tanah longsor yang merenggut keluarga mereka,” kata dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya