SOLOPOS.COM - Perempuan penari liong di Solo. (Solopos-Nicolous Irawan)

Solopos.com, SOLO -- Seni barongsai identik dengan budaya China dan komunitas Tionghoa. Namun seorang gadis muslim di Solo mampu meleburkan sekat-sekat etnis dan golongan dalam tradisi itu.

Dahi Liana Febriani tampak berpeluh di Wisma Boga Solo, Jumat (25/1/2020) atau malam pergantian Tahun Baru Imlek 2571. Tangannya memegang erat tongkat yang menyangga kepala sang naga. Meliuk, berombak, dan berputar adalah sejumlah gerakan yang harus dilakoninya. Sebagai pengusung kepala liong, ia harus menjadi pengarah agar gerakan delapan pemain badan dan ekornya selaras dengan irama serta tak saling bertabrakan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dikejar waktu, dara 22 tahun itu lantas bergeser ke Plaza Balai Kota. Di sana ia gantian menabuh tambur, alat musik mirip gendang besar yang menjadi pengiring tari liang liong.

“Malam tahun baru Imlek, kami tampil tiga kali. Sebelumnya, kami pentas di Restoran Orient. Karena sangat lelah pegang kepala, di pertunjukan ketiga saya hanya menabuh tambur,” kata dia, ditemui Solopos.com, hari itu. Sebagai perempuan, ia menjadi minoritas dalam seni tradisi itu. Namun di Perguruan Liong dan Barongsai Tri Dharma Solo, Liana tak sendirian. Putri sang ketua perguruan pun pernah ikut bermain.

Selain piawai menari liong dan menabuh tambur, ia juga sempat belajar barongsai. Kendati bukan sebagai pengusung kepala singa, ia puas menjadi ekor hingga mencicipi kursi juara. “Kalau tidak salah, liong jadi juara nasional empat kali. Tiga kali tim khusus putri, kali keempat gabung putra-putri. Saya yang jadi kepala, belakangnya cowok-cowok,” kisahnya.

Kehadiran Liana dalam permainan tersebut menjadi penanda adanya ruang bagi keberagaman. Terlebih, warga Kampung Ngasinan, Kelurahan/Kecamatan Jebres itu adalah seorang Jawa-muslim. Liana tak gamang menampilkan budaya Tionghoa di tengah sentimen anti-China.

Tahun lalu, sekelompok orang menggelar aksi unjuk rasa menolak pemasangan lampion area Pasar Gede. Aksi itu tidak berlanjut pada tahun ini meski sempat ada demo serupa berbalut merebaknya virus Corona sebelum perayaan malam Tahun Baru Imlek berlangsung.

“Enggak terasa bedanya saat berlatih maupun tampil. Saya juga bukan satu-satunya muslim. Kalau tiba saat salat, ya, kami salat. Saat azan, latihan berhenti meski anggota kami juga ada yang Kristen. Semua ikut berhenti,” kata dia. Bagi Liana, aktivitasnya itu adalah hal biasa. Namun ia mengakui masih banyak yang memicingkan mata. Ia pun berupaya meretas anggapan itu.

Gunjingan

Gunjingan sekitarnya justru dijadikan pemantik. Piala demi piala ia sumbangkan di lemari Perguruan Barongsai dan Liong Tri Dharma. “Saya dulu bersekolah di SMK berbasis agama. Ya, diomongin, lah. Kenapa ikutan tradisi agama lain, haram, dan sebagainya. Saya anggap kritik saja, tapi latihan jalan terus,” beber Liana.

Ia mengaku sudah bergabung dengan perguruan itu sejak satu dekade lalu. Saat umurnya baru 12 tahun, Liana jatuh pada tari tradisional masyarakat Tionghoa tersebut. Dari yang semula hanya menonton, ia diajak bergabung. Hingga, perempuan berambut panjang itu cakap bermain sebagai penari liong dan barongsai serta musik pengiringnya.

Liana Febriani, pemain liong perempuan asal Solo. (Istimewa)

Pengalaman senada diceritakan oleh Rosa Dwi Amanda Putri, penabuh tambur pada Macan Putih Dragon dan Lion Dance Solo. Dara 17 tahun itu menjadi satu dari dua perempuan pemain musik pada tarian yang kini menjadi cabang olahraga tersebut. “Saya belajar sejak kelas III SD, jadi sekarang sudah di luar kepala. Latihannya paling sepekan tiga kali. Keluarga menerima karena positif, hitungannya olahraga. Apalagi kalau tampil juga dapat uang saku,” ucapnya.

Rosa mengaku sebelum fokus menabuh tambur, ia pernah bermain barongsai di posisi ekor. Sayangnya, rekan bermain Rosa pensiun lebih dini. Dia pun memupus keinginannya untuk mendalami seni tradisi itu lebih jauh. “Sekarang main tambur saja. Pemain bagian depan sudah enggak ada lagi. Imlek tahun ini, kami banyak diundang. Selain di Solo, kami juga main di Karanganyar,” jelasnya.

Pembina Perguruan Barongsai Tri Pusaka, Adjie Candra mengatakan tari liong dan barongsai yang dimainkan oleh warga multietnis dan agama menandakan kesenian tersebut sudah menjadi milik masyarakat. Berdasarkan pemahamannya, pertunjukan barongsai memiliki tiga fungsi, yaitu ritual, olahraga, dan hiburan. Jika pertunjukan berlangsung untuk keperluan ritual, maka seluruh pemain barongsai harus mengikuti. “Meski ritual dipimpin dengan cara Khonghucu, tapi mereka bisa menyesuaikan keyakinan masing-masing,” kata dia beberapa waktu lalu.

Sejak Gus Dur

Kendati sudah makin memasyarakat, sejarah mencatat tari itu kian dikenal umum setelah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Inpres tersebut menginstruksikan agar etnis Tionghoa yang merayakan pesta agama atau adat istiadat tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga. Gus Dur mencabut Inpres itu lewat terbitnya Keputusan Presiden No.6/2000 pada 17 Januari 2000.

“Namun sebenarnya tarian ini tampil kali pertama di Solo pada pertengahan September 1998. Saat itu, Partai Amanat Nasional [PAN] baru terbentuk dan mereka ingin menarik simpati orang Tionghoa Solo dengan menggelar deklarasi mengundang tari liong dan barongsai. Sayangnya, waktu itu saya belum punya, baru punya wushu, jadi harus meminjam ke Semarang. Akhir 1998, saya melengkapi latihan wushunya dengan liong dan barongsai,” kata dia.

Sesudah itu, pada 5 Februari 1999, Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) menginisiasi Perayaan Imlek Bersama. Empat pergurungan liong dan barongsai diajak tampil bareng di Taman Sriwedari. Barongsai Koo Hap dari Semarang berjalan dari Kelenteng Tien Kok Sie Pasar Gede, Singa Mas Salatiga berjalan dari Kelenteng Coyudan, Budi Luhur Semarang berjalan dari Vihara Solobaru, Sukoharjo dan Tripusaka berjalan dari Vihara Tripusaka.

“Kami berempat menuju Taman Sriwedari lalu tampil bersama. Saat arak-arakan itulah, orang Tionghoa sepuh keluar dari rumah mereka dan melihat sambil meneteskan airmata. Kesenian yang sudah berpuluh tahun tak boleh ditampilkan di muka umum akhirnya muncul lagi. Mereka terharu dan bagi saya sangat bersejarah. Makanya, tanggal itu saya tetapkan sebagai hari lahir Perguruan Barongsai dan Liong Tripusaka Solo,” jelas pemuka agama Khonghucu itu.

Setelah lebih dari dua dekade melestarikan tradisi Tionghoa di Bumi Indonesia, Aji mengakui kiprahnya tak selalu mulus. Aksi intoleransi beberapa tahun belakangan sempat hampir mengoyak rajutan keragaman.

Beruntung, ia yang bergabung dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) memiliki nyala untuk terus berjuang. “Dukungan masyarakat lebih banyak, semangat toleransi akan membuat niat buruk orang intoleran terpadamkan,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya