SOLOPOS.COM - Samsu Adi Nugroho selaku Sekretaris Lembaga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) saat ditemui di Rooster and Bear Jogja, Sabtu (15/7/2017). (Bernadheta Dian Saraswati/JIBI/Harian Jogja)

Lembaga Penjamin Simpanan menjadi benteng akhir menjamin uang nasabah aman di bank yang bermasalah

Harianjogja.com, JOGJA — Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) disebut sebagai lembaga pertahanan terakhir dalam menangani bank-bank yang bermasalah.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sabtu (15/7/2017) lalu menjadi kesempatan baik bagi Harianjogja.com. Di tengah kesibukannya menyiapkan konferensi internasional yang mempertemukan lembaga penjamin simpanan dari negara Asia Pasifik, Samsu Adi Nugroho selaku Sekretaris Lembaga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) masih bersemangat berbincang empat mata dengan Harianjogja.com.

Berpenampilan santai dengan poloshirt coklat yang dipakainya, banyak cerita yang dikisahkannya. Salah satunya peran LPS yang ditingkatkan dalam penanganan krisis. Peran itu menurutnya membuat LPS berbenah untuk semakin meningkatkan kinerjanya. Mulai dari mempertimbangkan kemampuan pegawai sampai merubah struktur organisasi. Dari sisi kemampuan pegawai, kata Adi, yang terpenting memiliki keahlian manajemen risiko.

“Kita perlu orang yang dalam waktu cepat paham perbankan,” katanya saat duduk berbincang bersama Harianjogja.com di Rooster and Bear Jogja.

Adi menyebut LPS berada sebagai benteng pertahanan terakhir yang menjamin keuangan nasabah tetap aman di bank. Saat bank goncang diterpa isu kebangkrutan dan perlu likuidasi, disitulah LPS berperan untuk menjamin semua simpanan yang dimiliki nasabah. Untuk itu, katanya, LPS harus tampil tegap dan baik di depan masyarakat. Jangan sampai ada penodaan lembaga yang akhirnya membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini hilang. Baginya, stabilitas sistem keuangan lebih banyak bersumber dari persepsi.

“Kalau punya duit banyak tapi merasa enggak aman dia bisa saja memindahkan,” kata pria berkacamata ini.

Namun sayangnya, meski memposisikan diri sebagai benteng pertahanan terakhir, masih ada masyarakat yang belum mengenal dan memahami LPS. Setiap tahun, hasil survei tentang tingkat pemahaman masyarakat terhadap LPS memang meningkat. Terakhir, sebanyak 67% responden tahu tentang LPS.

“Tapi secara recall spontan rendah. Ketika dilihatkan simbol LPS, stiker LPS, mereka [masyarakat] tahu. Tapi ketika ditanya siapa yang menjamin, LPS belum jadi top of mind. Ada yang merasa banknya kuat jadi dia menjawab ya [penjamin simpanannya] adalah bank itu sendiri. Ada juga yang menjawab Bank Indonesia dan OJK [Otoritas Jasa Keuangan],” tuturnya.

Adi menyadari, sosialisasi sangat penting. Untuk itu, tiada hari tanpa sosialisasi bagi LPS. Hampir semua kalangan usia dijajaki. Bentuk sosialisasinya pun bukan konvensional melalui penyampaian informasi satu arah layaknya di bangku kuliah, tetapi disesuaikan dengan segmentasi usianya.

Untuk kalangan mahasiswa, sosialisasi dikemas dengan acara musik atau standup comedy. Sementara masyarakat dewasa yang masih menggemari seni budaya, sosialisasi dilakukan melalui media wayang kulit. Di sela-sela disematkan perbincangan seputar LPS, tugas dan fungsinya. “Wayang kulit pernah [dilakukan] di Bandung, Bojonegoro, Kulonprogo,” ujarnya.

LPS juga paham akan perkembangan teknologi. Agar tidak hanya dikenal secara offline, LPS pun juga menunjukkan eksistensinya pada media online, seperti sosial media. Sosialisasi terus dilakukan mengingat tantangan LPS semakin hari semakin besar. Untuk kalangan pelajar, LPS tetap mendorong mereka untuk menabung sementara usia produktif mulai 20 tahun, LPS juga mendorong agar mereka tidak kawatir jika memiliki simpanan. LPS akan menjamin simpanan mereka aman.

LPS menjadi lembaga besar dalam bidang keuangan. Namun lembaga ini hanya dioperatori oleh sekitar 300 karyawan yang semuanya terpusat di Ibukota. Tak ada kantor perwakilan di setiap daerah sehingga hal ini membuat LPS harus rajin menjalin koordinasi dengan pihak lainnya seperti OJK, BI, dan Kementerian Keuangan. Mereka tergabung dalam Komite Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan. Setiap bulan komite ini mengadakan pertemuan.

“Kami sharing informasi. Jika misalnya OJK di daerah melihat adanya gejala bank bermasalah yang mengganggu kelangsungan industr, mereka [OJK] akan mengirimkan info pada LPS,” katanya.

Sebaliknya jika LPS setelah melakukan pengamatan pada bank menemukan indikasi bank bermasalah maka akan menyampaikan pada pihak terkait.
“Koordinasi bisa menutupi kekurangan masing-masing,” tegasnya.

Masing-masing pegawai diharapkan menjadi agen LPS untuk bisa menyosialisasikan peranan LPS pada keluarganya. Mereka diharapkan bisa meyakinkan keluarga bahwa menyimpan uang di bank akan selalu aman.

Sejak terbentuk pada 2005, LPS sudah menangani 81 bank yang dilikuidasi. Kasus paling besar yaitu penanganan penyelamatan Bank Century yang nilainya sampai Rp8,1 triliun. Penanganan itu mulai dilakukan 2008 dan baru berakhir enam tahun kemudian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya