SOLOPOS.COM - Indah Yulia Agustina (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Sudah menjadi keniscayaan Indonesia negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku, ras, dan budaya. Ini bagaikan dua mata pisau yang berpotensi menyatukan maupun justru memecah belah bangsa Indonesia. Berbagai macam problem multikultural banyak terjadi sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 hingga saat ini.

Pluralisme saja tidak cukup untuk menghadapi problem-problem kemajemukan. Perlu intervensi yang jitu, yaitu multikulturalisme. Bhiku Parekh dalam buku Rethingking Multiculturalism, Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Kanisius dan Impulse, 2008) menjelaskan banyak orang yang menganggap pluralisme adalah multikulturalisme.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sebenarnya ada perbedaan yang tegas antara pluralisme dan multikulturalisme. Mungkin sekilas keduanya hampir sama. Sama-sama berbicara kemajemukan. Secara substansif keduanya memiliki perbedaan signifikan. Hal pembeda paling mendasar ada pada tujuan akhir keduanya. Pluralisme menghendaki penyatuan antarentitas yang plural.

Multikulturalisme berupaya mewujudkan persatuan di antara berbagai entitas budaya (termasuk agama) yang berbeda-beda. Multikulturalisme melangkah lebih jauh dalam memaknai masyarakat majemuk. Jika pluralisme semata-mata merepresentasikan kemajemukan,  multikulturalisme mengakui dan mendorong eksistensi kemajemukan secara sederajat (equality) di ruang publik.

Dengan demikian, multikulturalisme melampaui, jauh lebih tinggi, dari pluralisme. Masyarakat yang majemuk tidak hanya membutuhkan paham pluralisme, tetapi sangat membutuhkan paham multikulturalisme demi menciptakan equality atau kesetaraan di ruang publik sehingga kerukunan antarsesama masyarakat Indonesia dapat terwujud.

Ada empat prinsip pokok yang harus ada dan menjadi core values dialog agama dalam perspektif multikultural. Pertama, recognition (pengakuan). Dalam cakupan dialog agama, kita tidak hanya cukup menghormati dan menghargai penganut agama lain, namun juga harus mengakui perbedaan di antara kita dengan saudara kita yang memiliki agama lain.

Kedua, unity and diversity (persatuan dalam kepelbagaian). Persatuan yang dimaksud bukanlah penyatuan, tetapi masing-masing kelompok agama memiliki keautentikan masing-masing dalam suatu dialog agama. Kepelbagaian tersebut diibaratkan pelangi yang dalam satu kesatuan masih menampakkan corak dan warna masing-masing secara berdampingan.

Ketiga, equality (kesetaraan). Dalam dialog agama, prinsip equality menjadi sangat krusial. Kita harus menganggap bahwa pemeluk agama satu dengan agama lainnya adalah setara. Setara berarti tidak ada kelompok dominant dan subordinat. Semuanya berdiri dalam satu alas yang sama.

Keempat, public policy (kebijakan publik). Dalam multikulturalisme perlu memperhatikan dimensi kebijakan publik. Apakah kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah sudah mengakomodasi semua kebutuhan masyarakat secara keseluruhan ataukah kebijakan tersebut hanya condong pada kelompok tertentu.

Refleksi Realitas

Di Indonesia problem-problem terkait multikulturalisme sering dijumpai. Hampir di setiap dinamika kehidupan problem multikulturalisme selalu hadir dalam kemajemukan bangsa Indonesia. Tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Pendidikan sebagai senjata paling ampuh untuk mengubah dunia memiliki peranan penting dalam pembentukan karakter berbasis multikultural.

Kenyataan yang terjadi hari-hari ini menunjukkan pendidikan sangat kurang mencerminkan nilai-nilai luhur multikulturalisme. Pendidik yang seharusnya menjadi role model dalam pendidikan multikultural malah banyak yang semakin jauh dari nilai-nilai multikultural. Sungguh sangat ironis pendidikan multikultural dalam masyarakat yang multikultural tidak mengutamakan multikulturalisme.

Masalah-masalah mengenai kemajemukan bangsa Indonesia hadir dalam berbagai hal. Salah satunya masih banyak dijumpai bahwa dalam lingkungan pendidikan nilai-nilai multikulturalisme belum diamalkan sepenuhnya. Banyak orang yang mempermasalahkan latar belakang seseorang dalam hubungan sosial, terutama terkait orang yang berbeda agama atau aliran agama dengan mereka.

Isu agama selalu menjadi sorotan yang cukup krusial dalam problem multikultural di Indonesia. Lebih parah lagi, banyak yang melakukan tindakan tidak toleran di dunia pendidikan. Mayoritas adalah guru atau pendidik. Sosok guru yang dijadikan panutan bagi siswa-siswa justru menjadi karakter utama dalam mencederai nilai-nilai multikulturalisme.

Sangat ironis sebab tak sesuai dengan kewajiban yang harus diemban seorang guru. Inilah yang kurang diperhatikan dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini. Hal-hal yang dianggap remeh seperti itu akan menjadi bumerang pada masa depan. Murid yang menginternalisasi perbuatan guru yang tidak toleran akan semakin meresahkan ketika ia berinteraksi dengan masyarakat yang lebih luas.

Tidak mengherankan apabila mereka tidak paham betul mengenai multikulturalisme. Hal yang dapat digarisbawahi dalam konsep multikulturalisme adalah equality. Kita merasa sejajar dan memosisikan orang lain yang berbeda latar belakang dengan kita dengan posisi setara. Tidak ada kelompok yang lebih tinggi (superior) dan tidak ada kelompok yang dianggap lebih rendah (inferior).

Semuanya setara dalam berbagai hal, termasuk dalam public policy atau kebijakan publik. Para pemangku kepentingan ketika membuat suatu kebijakan seharusnya tidak hanya condong terhadap kelompoknya sendiri, tanpa memperhatikan suara kelompok lain. Hal demikian sangat mencederai nilai-nilai luhur multikulturalisme.

Saya rasa hal ini sangat perlu kita jadikan bahan evaluasi guna mewujudkan nilai pokok yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Tentu hal ini perlu kita perbaiki bersama. Belum terlambat untuk merangkai kembali nilai-nilai multikultural. Bangsa kita adalah bangsa yang kaya akan keanekaragaman, baik suku, ras, etnis, agama, maupun nilai-nilai yang kita anut masing-masing.

Multikulturalisme sebagai nilai sentral diharapkan mampu menetralisasi segala bentuk problema di tengah masyarakat. Pendidik perlu dibina dan diberi arahan secara intensif dan kontinu tentang pendidikan multikultural yang inklusif. Tidak hanya teori, namun juga praktik dalam kehidupan sehari-hari. Implementasi nilai-nilai multikultural diharapkan dapat terinternalisasi dengan baik dalam diri pengajar sebelum mengajarkannya kepada anak didik.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 September 2022. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya