SOLOPOS.COM - Artwork lambang grup band black metal Makam. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Black metal identik dengan musik yang “keras”, “kelam”, “gelap”, dan lekat dengan idiom “memuja setan”. Namun di Solo, ada komunitas musisi black metal yang menghilangkan itu semua dengan berkarya berdasar filsafat kejawen. 

Black metal berpadu dengan kejawaan. Kesan ini sangat kuat mengemuka dalam pameran artwork black metal dengan tema Kedjawen Pagan Front di Balai Soedjatmoko Solo, Sabtu-Rabu (1-5/11) lalu. 

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ini pameran artwork karya Usman Kalabintalu, seorang metal head (musisi musik metal). Usman lama bermusik di band Kalabintalu. Dia sering membikin artwork (gambar-gambar seni) yang selaras dengan musik yang dia geluti. Artwork karya Usman memadukan kejawaan dengan idiom-idiom khas black metal.

Black metal sebagai genre musik rock/metal beridentitaskan corpse pain, tetesan darah, spike di tangan, rantai berujung gerigi tajam, rompi atau celana kulit warna hitam, dan atribut lain yang memunculkan rasa ngeri dan ketakutan.

Black metal pada awalnya cuma sebuah album yang dirilis tahun 1982 oleh band thrash metal di Inggris, Venom. Band ini memasukkan unsur-unsur berbau satanis (pemujaan terhadap setan) ke dalam musik mereka yang terhimpun dalam album berjudul Black Metal.

Black metal yang lahir dari janin thrash metal menjadi virus baru di Eropa. Awalnya genre musik metal ini memakai distorsi gitar yang berat, tempo lagu yang cepat, pedal drum ganda, ditambah vokal yang “tidak jelas” dengan nada dasar tinggi dan dosis lirik yang sedikit.

Memaknai black metal yang berpadu dengan kejawaan atau Javanese black metal atau black metal Jawa, menurut pakar musik metal Indonesia yang kini mengajar di beberapa perguruan tinggi di Malaysia, Abdullah Sumrahadi, harus melibatkan kajian budaya atau cultural studies dan juga kajian postcolonial.

”Pemaknaan black metal Jawa tak bisa lepas dari teori subculture atau subkultur, yakni suatu bentuk dan aksi kebudayaan yang melawan, menentang, menandingi arus utama kebudayaan yang utama atau mapan,” kata Abdullah melalui surat elektronik, pekan lalu.

Alternatif Hiburan

Memakai logika teori tersebut, menurut Abdullah, bisa saja musisi black metal di Jawa sedang membangun diri dan membentuk jenis alternatif hiburan melalui media musik di luar arus musik rock/metal yang kemudian menghasilkan subkultur black metal Jawa.

Pencinta kebudayaan Jawa, Suseno Hadi Parwono, yang menjadi salah seorang narasumber bagi sebagian metal head genre black metal yang ingin menggali kejawaan, memaknai perpaduan black metal dan kejawen sebagai keniscayaan kebudayaan.

”Banyak generasi muda pencinta black metal yang datang ke rumah saya. Mereka ingin tahu apa itu wayang, apa itu Jawa, apa itu kejawen,” kata Suseno saat membuka pameran artwork karya Usman Kalabintalu di Balai Soedjatmoko Solo, Sabtu (1/11/2014).

Suseno memaknai black metal Jawa dengan filosofi “black” dan “metal” dalam tanah kejawen. “Black” itu hitam yang bermakna inteligensi, kecerdasan. “Metal” itu besi, sesuatu yang keras.

Inteligensi bisa diberdayakan untuk keadilan atau keserakahan. Inteligensi yang “keras” akan menuntun manusia mencapai cita-citanya: keadilan atau keserakahan.

“Dalam konteks inilah, sebagian kalangan muda pencinta black metal di Solo memberdayakan inteligensi mereka untuk mewujudkan cita-cita tentang keadilan. Jalan mereka ya dengan bermusik, bermusik black metal yang berfondasi kejawaan. Tujuan akhirnya adalah dunia yang damai, memayu hayuning bawana,” kata Suseno.

Black metal yang bernuansa gelap ketika dipadukan dengan kejawen, menurut Suseno, menjadi jalan untuk melihat terang dari kegelapan.

Melihat terang dalam kondisi terang niscaya takkan mendapatkan terang yang sempurna, namun ketika melihat terang dari kegelapan niscaya akan menemukan terang yang sempurna.

Black metal Jawa adalah laku melihat terang dari kegelapan untuk memberdayakan inteligensi mencapai keadilan menuju dunia yang damai.

Black metal dan Jawa sangat mudah berpadu dengan laku meniru, akulturasi, paralelisme, atau invensi. Semua itu adalah laku kebudayaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya