SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok/JIBI/Solopos)

Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/dok)

Menjelang petang itu, Rido (bukan nama sebenarnya-red) berlari kecil menyelinap dari mobil ke mobil. Tangan bocah lima tahun itu mengetuk-etuk kaca jendela mobil di dekatnya. Kepalanya menengadah sambil mengucap kata-kata meminta.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Rido tak punya ayah dan ibu. Menurut neneknya, pada umur satu tahun ayah Rido meninggal dunia sementara sang ibu pergi entah ke mana. Kini, Rido tinggal bersama neneknya di salah satu kios Pasar Jebres bersama seorang kakaknya. “Rido memang tidak saya sekolahkan. Biar saja. Biar puas mainnya. Nanti kalau umurnya sudah cukup baru saya masukkan ke SD saja,” ujar sang nenek. Toh sang kakak, imbuh nenek itu, ketika dimasukkan ke SD juga tidak kerasan sehingga baru kelas II dia memutuskan keluar dari sekolah dan mencari uang di jalanan.

Rido tidak sendiri. Bapermas P3A dan KB mencatat jumlah anak jalanan (anjal) di Kota Solo tidak sedikit. Kabid Perlindungan Anak Bapermas P3A dan KB, Rini Kusumandari, mengatakan berdasarkan survei yang dilakukan sejumlah LSM, jumlah anjal di Kota Solo relatif banyak. Tengok saja data LSM Seroja yang menyebut data anjal sebanyak 50 orang (2011). LSK Bina Bakat dalam penelitian 2008 menyebut jumlah anjal sebanyak 51 orang kemudian LSM Sari berhasil menjaring 45 anak yang dipekerjakan orangtuanya. Hasil pendataan dengan jumlah terbanyak untuk anak yang dipekerjakan diperoleh Dinsosnakertrans sebanyak 111 anak.

Meski demikian menurut Kabid Pengawasan Dinsosnakertrans, Amiruddin, jumlah itu tak sampai separuhnya dari jumlah riil di lapangan. Sebab, data itu hanya berasal dari 10 kelurahan. “Pendataan yang kami lakukan itu berhubungan dengan rencana pemberian program pelatihan bagi orangtua yang anaknya putus sekolah dan bekerja. Mengapa orangtuanya yang diberi pelatihan, karena berdasar pantauan, penyebab anak-anak bekerja adalah ayah-ibunya atau keluarganya. Pertama memang karena faktor ekonomi dan kedua mindset orangtua yang salah,” paparnya.

Melalui pelatihan, Amiruddin berharap kondisi perekonomian keluarga menjadi lebih baik sehingga anak bisa kembali ke bangku sekolah, tidak perlu bekerja. Sayangnya, lanjut Amiruddin, cara pandang orangtua yang menilai bekerja lebih penting daripada sekolah maupun ikut pelatihan menyebabkan tidak ada dari mereka yang mau ikut kegiatan pelatihan. Akhirnya kegiatan pelatihan diarahkan kepada sang anak.

Faktor lain yang menjadi kendala dalam pemberian pelatihan tersebut adalah kurangnya perhatian dari wilayah atau kelurahan setempat dalam upaya pengentasan anak yang bekerja. Terbukti dari 51 kelurahan, hanya 10 kelurahan yang memberi respons, sementara yang lain tidak mengirim data atau kalau mengirim data terkesan asal-asalan.

Nasib anak bekerja di bawah pengawasan orangtua masih lebih baik. Menurut Direktur Sahabat Kapas, Dian Sasmita, anak-anak dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawahlah yang memenuhi Rutan Kelas I Solo. Saat ini, menurut data Sahabat Kapas, ada 83 anak di Rutan yang mendapatkan pendampingan dan pelayanan. Jumlah itu meningkat tiga orang dibandingkan data 2010. Yang memprihatinkan, kasus pencurian adalah kasus terbanyak yang mengantarkan anak-anak itu hingga masuk penjara.

JIBI/SOLOPOS/Ayu Prawitasari

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya