SOLOPOS.COM - Foto udara kendaraan bermotor melaju perlahan saat melintasi jalan yang rusak terdampak banjir di jalur utama pantura Demak-Kudus Kilometer 44 di Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Minggu (24/3/2024). Bupati Demak Esti'anah telah memerintahkan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Demak mendata seluruh ruas jalan rusak terdampak banjir yang kemudian diprioritaskan untuk perbaikan pada kewenangan wilayah jalan pemerintah pusat, provinsi, dan daerah sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo saat memantau penanganan banjir Demak pada Jumat (22/3). ANTARA FOTO/Aji Styawan/Spt.

Solopos.com, SEMARANG – Badan Energi Sumberdaya Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah (Jateng), menilai perlu kerjasama lintas sektoral dan kesadaran masyarakat yang tinggi untuk meminimalisir terjadinya banjir bandang yang melanda Pantura timur atau tepatnya Semarang-Demak beberapa waktu lalu.

Sebab, buruknya rancangan tata ruang wilayah (RTRW) di Pantura timur atau tepatnya Semarang-Demak, membuat penurunan muka tanah 2 centimeter (cm) per tahun bisa kembali memunculkannya Selat Muria.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kepala ESDM Jateng, Boedya Dharmawan, mengatakan Kota Semarang dan Demak rerata memiliki jenis tanah sedimen alufial yang membuat kompasi tanahnya tak begitu kuat.

Oleh sebab itu, pengembangan tata rungan yang carut-marut bakal menambah beban tanah sehingga terjadi penurunan muka tanah atau land subsidence.

“Secara geologi, dengan kondisi alami itu [tanah alufial] ditambah pengembangan kota oleh tata ruang, bangunan, baik rumah atau industri yang tinggi-tinggi dan peningkatan jalan. Maka semuanya harus buka mata. Karena bisa saja terjadi [terbektuknya kembali Selat Muria],” kata Boedy kepada Solopos.com di kantornya, Jumat (29/3/2024).

Faktor pemicu lainnya, yakni di Semarang-Demak kerupakan zona merah pemetaan cekungan air tanah.

Sehingga, tanah yang alufial dengan beban berat di atasnya tak memiliki daya penyangga atau air untuk menjaga kepadatannya.

Hal tersebut membuat penurunan muka tanah di Semarang-Demak mencapai 2 centimeter per tahun. Fenomena land subsidence itu diklaim mulai masif terjadi sejak 2018 lalu.

Oleh sebab itu, Boedy meminta adanya kerja sama pemerintah daerah (Pemda) untuk membenahi tata ruang di masing-masing kabupaten/kota.

Kemudian menggunakan bahan kontruksi ringan seperti pemakaian harbel yang terbuat dari campuran beton, pasir dan gypsum.

“Perlu dikonsep pengembangan wilayahnya, misal bangunan industri atau rumah harus sekian lantai. Penggunaan material ringan. Nah ini perlu didorong [aturan] serta kerjasama lintas sektoral. Kalau semua sepakat, pasi bisa diminimalisir [penurunan tanah],” nilainya.

Adapun langkah yang diambil dari ESDM, yakni melarang penggunaan air tanah di kawasan zona merah, seperti Semarang-Demak. Pelarangan penggunaan air tanah itu sebagai upaya mengembalikan kondisi air menjadi hijau atau baik kembali.

“Kita sudah petakan dan melarang [mengambil air di zona merah]. Agar cadangan airnya bisa pluie. Seperti Kota Semarang, Walikotanya sudah mengeluarkan Perwali [peraturan walikota] jika perhotelan dilarang memakai air tanah,” jelasnya

Boedy menambahkan, upaya meminimalisir bencana banjir di Jawa Tengah bakal menjadi pekerjaan rumah panjang. Sebab, banyak faktor yang mempengaruhi konfisi geografis di Jateng.

“Maka sekali lagi, ini perlu kesadaran dan upaya bersama. Karena memang, bencana itu alam, tak bisa diprediksi, tapi setidaknya bisa diminimalisir,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya