SOLOPOS.COM - Gamawan Fauzi (Dok/JIBI/Solopos/Antara)

Bersaksi dalam sidang kasus korupsi e-KTP, Gamawan Fauzi menyebut DPR-lah yang mengusulkan perubahan sumber anggaran memakai APBN.

Solopos.com, JAKARTA — Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi membantah telah menerima uang terkait korupsi e-KTP senilai 4,5 juta dolar AS dan Rp50 juta. Menurutnya, Komisi II DPR periode 2009-2014-lah yang mengusulkan perubahan sumber anggaran proyek pengadaan e-KTP dari pinjaman hibah luar negeri (PHLN) menjadi bersumber APBN.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“DPR minta supaya diupayakan dengan anggaran APBN murni karena sebelumnya ada PHLN,” kata Gamawan saat memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang kasus proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/3/2017).

Gamawan mengaku perubahan anggaran e-KTP ini dibahas dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Dalam Negeri dengan Komisi II DPR. Dia mengaku dalam pengadaan proyek e-KTP, pihaknya sudah meminta bantuan KPK untuk mengawal penganggarannya.

Gamawan mengungkapkan KPK saat itu menyarankan proyek tersebut untuk dikawal Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). “Saya minta Sekjen bersurat ke LKPP dan BPKP minta dikawal, didampingi istilahnya,” ucapnya.

Dia mengungkapkan Kemendagri juga meminta LKPP untuk mengawal lelang elektronik proyek tersebut. Namun di tengah jalan terjadi perbedaan pendapat dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). “Karena antarlembaga, PPK, dan LKPP beda, bukan kewenangan saya. Saya suratkan ke Wakil Presiden,” ungkap Gamawan.

Selanjutnya, dibentuklah tim oleh Wakil Presiden untuk memediasi perbedaan LKPP dan PPK. Gamawan merasa persoalan tersebut sudah selesai. Dia juga mengklaim dirinya tidak pernah mendengar adanya mark-up dari laporan PPK dan ketua panitia pengadaan.

“Saya tidak tahu tentang itu, karena yang saya tahu itu yang dilaporkan saja. Saya tanya tender ada banyak vendor, bilang tidak ada yang di bawah Rp7 triliun. Saya tanya ini yang tender ini baru dibilang Rp5,9 triliun dan logikanya ya saya tanda tangan. Saya minta pengawasan oleh BPKP, KPK, Polri, Kejaksaan,” tuturnya.

Gamawan juga mengaku bahwa target jumlah pengadaan e-KTP yang tidak tercapai karena terhambat kondisi infrastruktur dan kemauan warga untuk merekam data dirinya. “Kata Pak Dirjen waktu itu perekaman ada yang offline, ada yang online. Misalnya, di balik-balik bukit, di pulau-pulau tidak bisa online karena tidak ada listrik. Sekarang mungkin sudah tercapai 172 juta,” ungkap Gamawan.

Soal aliran dana, dia membantah menerima duit terkait kasus megakorupsi itu seperti disebutkan jaksa dalam dakwaan. “Satu rupiah pun saya tidak pernah menerima Yang Mulia. Demi Allah, saya kalau mengkhianati bangsa ini menerima satu rupiah, saya minta didoakan seluruh rakyat Indonesia, jika menerima saya dikutuk Allah SWT,” kata Gamawan.

Tentang uang Rp50 juta, Gamawan mengaku bahwa itu honor sebagai pembicara di lima provinsi. “Saya baca disebut-sebut terima Rp50 juta untuk lima daerah. Saya perlu clear-kan, Yang Mulia, karena banyak yang bertanya kepada saya. Uang itu honor saya pembicara, Yang Mulia, di lima provinsi,” kata Gamawan.

Mendagri yang menjabat pada 2009-2014 ini mengatakan bahwa honor tersebut sesuai aturan yang berlaku, di mana tiap jamnya diberi honor Rp5 juta. “Saya bicara dua jam tiap provinsi,” kata Gamawan. Dalam dakwaan disebut bahwa Gamawan menerima disebut menerima 4,5 juta dolar AS dan Rp50 juta terkait proyek sebesar Rp5,9 triliun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya