SOLOPOS.COM - SPBU di Pacitan mengaku kehabisan Pertamax gara-gara ada Pertalite, Selasa (1/9/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Destyan Sujarwoko)

Konversi BBM ke gas (BBG) dilakukan karena Indonesia punya cadangan gas yang besar. Namun, 2019 Indonesia diprediksi bakal defisit.

Solopos.com, JAKARTA — Indonesia bakal mengalami defisit pasokan gas mulai 2019 sebesar 577,7 juta kaki kubik per hari (million metric cubic feet per day/MMScfd).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan Indonesia masih mengalami surplus pasokan gas tahun ini hingga 2018. Tahun ini saja, kebutuhan gas hanya 6.102 MMscfd, padahal suplai mencapai 6.700,5 MMscfd.

Angka kebutuhan ini di bawah realisasi penyerapan. Data realisasi penyerapan gas alam cair (LNG) sepanjang semester I/2015 menunjukkan beberapa pembeli besar seperti Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk dan PT Pertamina (Persero) tidak mampu menyerap gas secara optimal.

Floating Stoarage Regasification Unit (FSRU) Lampung, FSRU Jawa Barat, Regasifikasi Arun, dan FSRU Banten tidak mampu menyerap penuh alokasi LNG yang diberikan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Dari total 68 kargo alokasi LNG untuk pembeli domestik tahun ini, hanya 47 kargo yang telah terkonfirmasi. Dari total itu, pengiriman hingga 31 Mei 2015 baru mencapai 16 kargo.

Surplus pasokan gas terus terjadi namun menurun hingga hanya tersisa 106,1 MMscfd pada 2018. Suplai gas mencapai 7.358,1 MMscfd, sementara pasokan gas 7.252 MMscfd.

Namun, kondisi neraca gas justru mengalami defisit pada 2019 hingga tahun-tahun setelahnya. Indonesia diperkirakan bakal kekurangan pasokan gas sebesar 577,7 MMscfd di tahun itu. Kebutuhan gas mencapai 7.653 MMscfd pada 2019, sementara suplai hanya 7.075,3 MMscfd.

Kekurangan gas semakin besar pada di tahun-tahun setelahnya. Berdasarkan data neraca gas 2015-2025 yang baru saja diluncurkan, Indonesia akan kekurangan gas sebesar 982,4 MMscfd pada 2020, 1.737,5 MMscfd pada 2021, lalu meningkat 1.839,4 MMscfd (2022), 2.356 MMscfd (2023), dan 2.503,7 (2024). Defisit neraca gas terparat terjadi pada 2025 hingga minus 2.893 MMscfd. Pada tahun ini, kebutuhan gas mencapai 8.854, padahal suplai hanya 5.960,9 MMscfd.

Namun, dia melanjutkan penghitungan defisit tersebut menggunakan dasar kenaikan konsumsi gas berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonomi 7%. Padahal, realisasi pertumbuhan ekonomi masih di bawah 7%. Pertumbuhan ekonomi sepanjang semester I/2015 hanya 4,7%.

“Ada kemungkinan defisit neraca gas baru akan terjadi di tahun setelahnya [setelah 2019],” katanya di Jakarta, Rabu (16/9/2015).

Kendati terdapat defisit, sebenarnya masih ada sebagian produksi gas nasional yang diekspor di tahun 2019. Ekspor ini dilakukan kepada pembeli yang terlanjur berkontrak jangka panjang. Dalam rangka memenuhi defisit tersebut, Wiratmaja mengatakan Indonesia akan mulai mengimpor gas pada 2019. PT Pertamian (Persero) sudah menjajaki rencana impor ini dengan perusahaan Amerika Serikat.

Berdasarkan catatan Bisnis/JIBI, Direktur Energi Baru dan Terbarukan Pertamina Yenni Andayani Pertamina berencana mengimpor 6,1 juta ton gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) per tahun untuk memenuhi kebutuhan gas domestik setelah 2018.

Dia enggan merinci nama produsen secara spesifik, melainkan hanya nama negara dan benua yaitu Mozambik, Amerika Utara, Asia, Australia, dan produsen gas internasional yang lain.

Rinciannya, impor sebanyak 1,52 juta ton per tahun dari Cheniere Energy Inc, Amerika Serikat. Perjanjian jual beli elpiji tahap pertama telah diteken pada 4 Desember 2013 lalu dilanjutkan kesepakatan kedua pada Juli 2014. Pasokan elpiji dipasok selama 20 tahun yang berasal dari kilang milik Cheniere di Corpus Christi, Texas, Amerika Serikat.

Selain itu, impor dari produsen gas di Afrika berasal dari Mozambik ditargetkan mencapai 1 juta ton per tahun. Proses diskusi perjanjian jual beli (sales and purchase agreement/SPA) itu telah dimulai sejak Agustus 2014 lalu.

Lalu, impor dari Asia dan Australia sebanyak 0,5 juta ton per tahun. Terakhir, sisanya sebanyak 3 juta ton per tahun berasal produsen gas internasional yang lain. Menurut Yenni, Pertamina tengah bernegosiasi dengan produsen-produsen tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya