SOLOPOS.COM - Hotman Paris. (Instagram/@hotmanparisofficial)

Solopos.com, SOLO — Sejumlah pihak menyatakan penolakan mereka atas kebijakan pemerintah yang menyediakan vaksin berbayar dalam label vaksin gotong royong (VGR). Namun, ada pula beberapa pihak yang setuju dengan kebijakan tersebut.

Mereka tak tak setuju dengan pemerintah menilai vaksin berbayar yang disediakan BUMN PT Kimia Farma Tbk merupakan wujud komersialisasi vaksin di tengah bencana. Komersialisasi ini akan menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Salah satu pihak yang tak sepakat dengan vaksin berbayar ini adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSIP). “Setiap transaksi jual beli dalam proses ekonomi berpotensi menyebabkan terjadinya komersialisasi oleh produsen yang memproduksi vaksin dan pemerintah sebagai pembuat regulasi, terhadap konsumen dalam hal ini rakyat termasuk buruh yang menerima vaksin,” ujar Presiden KSPI, Said Iqbal, dalam keterangan tertulis, Senin (12/7/2021).

Iqbal mengatakan kasus serupa sudah terjadi pada rapid test. Tes cepat Covid-19 ini dinilai sudah dikomersialisasi dengan harga yang memberatkan. Misalnya, diwajibkan rapid tes sebelum naik pesawat dan kereta api, bertemu pejabat, bahkan ada buruh yang masuk kerja pun diharuskan rapid test.

Baca Juga: Kimia Farma Sukoharjo Layani Vaksin Gotong Royong Individu Mulai Senin

“Akhirnya ada semacam komersialisasi dari yang awalnya digratiskan. Bahkan perusahaan yang awalnya menggratiskan rapid test bagi buruh di tempat kerja masing-masing akhirnya setiap buruh harus melakukannya secara mandiri [membayar sendiri],” tuturnya.

“Ini yang disebut komersialisasi. Dengan vaksin berbayar individu, berarti hak sehat untuk rakyat telah diabaikan oleh negara karena vaksinasi tidak lagi dibiayai pemerintah,” katanya.

Manis Di depan

Kedua, kemampuan keuangan tiap-tiap perusahaan dan individu warga negara berbeda. Said Iqbal memperkirakan, jumlah perusahaan menengah ke atas yang mampu membayar vaksin tidak lebih dari 10% dari total jumlah perusahaan di Indonesia.

“Maka ujung-ujungnya akan keluar kebijakan pemerintah bahwa setiap pekerja buruh harus membayar sendiri biaya vaksin gotong royongnya. Jika ini terjadi apakah Kadin dan Apindo akan ikut bertanggungjawab? Jangan membuat kebijakan yang manis di depan, tapi pahit di belakang bagi buruh Indonesia,” tegasnya.

“Jadi ini hanya proyek lip service yang hanya manis di retorika atau pemanis bibir tetapi sulit diimplementasikan di tingkat pelaksanaan. Ujung-ujungnya vaksin gotong royong hanya akan membebani buruh dari sisi pembiayaan,” tambahnya.

Bacaa Juga: Termasuk Kimia Farma Sukoharjo, Ini Daftar Lengkap 8 Klinik KF yang Layani Vaksinasi Individu

Untuk itu, KSPI meminta agar vaksinasi individu tetap digratiskan dan ditanggung pemerintah. Jika pemerintah membutuhkan anggaran tambahan untuk menyelenggarakan vaksin gotong royong ini, pemerintah disarankan untuk sedikit menaikkan nilai pajak badan perusahaan (PPH 25) dan mengambil sebagian anggaran Kesehatan yang dalam UU Kesehatan besarnya adalah 5% dari APBN dengan cara melakukan efisiensi birokrasi di bidang kesehatan.

Tindakan Biadab

Pihak lain yang menolak komersialisasi vaksin adalah ekonom senior Faisal Basri. Ia menyebut vaksin berbayar merupakan tindakan biadab karena membiarkan BUMN berbisnis.

“Rakyat disuruh gotong royong, untuk mempercepat herd immunity, BUMN dibiarkan berbisnis, ini kan biadab. Apalagi kata paling pantas untuk itu,” katanya.

Dia pun menuturkan, pasokan vaksin saat ini sangat terbatas. Sementara, banyak orang membutuhkan vaksin tersebut.

“Vaksin ini pasokannya terbatas, kalau seluruh rakyat Indonesia sudah divaksin oleh pemerintah secara gratis, ada yang vaksinasi 3 kali ya silakan barulah, barulah bisa ditangani secara bisnis,” katanya.

Baca Juga: Senin, Kimia Farma Mulai Buka Klinik Vaksinasi Individu

Lanjutnya, kegiatan vaksinasi perlu dipercepat dengan menambah tempat pelayanan vaksin. Ia sendiri tak sepakat jika vaksinasi berbayar ini disebut sebagai cara untuk mempercepat vaksinasi.

“Tidak benar, kalau ingin mempercepat jelas kok, diintegrasikan ayo sehingga outlet-outlet vaksinasi semakin banyak dan semakin mudah dijangkau. Ini namanya bukan gotong royong, kalau gotong royong orang kaya membantu orang miskin, orang miskinnya nggak punya uang, dia gotong royong tenaga. Jadi gotong royong pun dikorupsi,” paparnya.

Selain itu, Faisal juga bilang, vaksinasi ini akan melukai perasaan masyarakat yang tidak mampu. Sebab, orang kaya bisa mendapat vaksin lebih cepat. Padahal, vaksinasi seharusnya diberikan berdasarkan prioritas.

Harus Ditolak

Senada dengan Faisal Basri, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan program vaksinasi berbayar tidak etis dan harus ditolak. Apalagi itu dilakukan di tengah pandemi Covid-19.

“Vaksin berbayar itu tidak etis di tengah pandemi yang sedang mengganas. Oleh karena itu, vaksin berbayar harus ditolak,” katanya dalam keterangan tertulis.

Kebijakan itu dinilai hanya akan membuat masyarakat bingung dan malas untuk melakukan vaksinasi Covid-19.

“Yang digratiskan saja masih banyak yang malas (tidak mau), apalagi vaksin berbayar dan juga membingungkan masyarakat, mengapa ada vaksin berbayar dan ada vaksin gratis. Dari sisi komunikasi publik sangat jelek,” tuturnya.



Vaksin berbayar juga dinilai bisa menimbulkan ketidakpercayaan kepada masyarakat. Bisa saja orang jadi berpandangan bahwa yang berbayar kualitasnya lebih baik dan yang gratis lebih buruk.

“Di banyak negara justru masyarakat yang mau divaksinasi COVID-19 diberikan hadiah oleh pemerintahnya. Ini dengan maksud agar makin banyak warga negaranya yang mau divaksin, bukan malah disuruh membayar,” imbuhnya.

Pro Pemerintah

Pendapat berbeda disampaikan pengacara kondang Hotman Paris Hutapea. ia  mendukung langkah pemerintah yang membuka layanan vaksin berbayar. Menurut Hotman, program vaksin berbayar ini sudah dilakukan di Amerika Serikat (AS) dan berhasil menurunkan tingkat pandemi Covid-19. Dengan begitu vaksinasi Covid-19 bisa dengan mudah didapat masyarakat di tempat yang telah ditentukan.

“Inilah yang sudah lama Hotman teriak-teriak dari tahun lalu, Hotman sudah teriak-teriak agar segera dibuka vaksin mandiri khususnya agar dibuka kesempatan bagi perusahaan swasta untuk mengimpor vaksin ke Indonesia,” kata Hotman Paris dikutip dari Instagram resminya, Minggu (11/7/2021).

Hotman menjelaskan bahwa negara butuh uang untuk mengatasi pandemi Covid-19. Untuk itu, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membiarkan perusahaan swasta mengimpor semua jenis vaksin dan biarkan masyarakat bebas untuk menentukan vaksin yang dimau.

“Berikan kesempatan kepada perusahaan swasta untuk mengimpor semua jenis vaksin dan biarkan masyarakat bebas untuk menentukan vaksin mana yang dia mau. Ini akan mengurangi beban keuangan negara,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya