SOLOPOS.COM - Sri Sumi Handayani (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Salah seorang youtuber papan atas di Indonesia menjadi pembicaraan publik beberapa waktu lalu. Topiknya tentang menjual kemiskinan dan ketidakberdayaan seseorang untuk mendapatkan cuan. Warganet geram dengan tindakan youtuber sekaligus selebritas itu.

Saya menelusuri konten-konten bikinan si youtuber tersebut. Konten buatannya nyaris seragam. Memperlihatkan dia membantu orang miskin atau orang yang sedang menderita. Caranya beragam. Membeli barang jualan dengan kelipatan harga tertentu. Memberikan sejumlah uang kepada orang karena jujur atau lanjut usia tetapi masih membanting tulang, dan lain-lain.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Konten terbaru menunjukkan youtuber itu mendatangi salah satu sekolah dasar (SD) di Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Dia menemui seorang anak perempuan yang viral di media sosial Tiktok karena rambutnya penuh kutu.

Video tentang si anak itu menjadi viral setelah salah seorang gurunya mengunggah aksi memotong dan menyisiri rambut siswi itu yang berkutu sangat banyak. Sang guru perempuan mengunggah video itu di akun media Tiktok. Dia tidak menyangka unggahan menjadi viral, bahkan mendapat respons dari seberitas sekaligus youtuber kondang.

Bisa jadi tujuan awal sang guru mengunggah video tersebut di media sosial karena ingin mengingatkan pentingnya menjaga kebersihan rambut. Video yang diunggah di media sosial itu tidak menunjukkan wajah si anak yang rambutnya penuh kutu.

Video tersebut fokus pada aktivitas ibu guru membersihkan rambut anak didiknya dari kutu dan kotoran. Video yang diunggah sang guru itu juga tidak menyebut nama anak maupun nama sekolah yang bisa dijadikan sarana untuk mengidentifikasi sang anak.

Ibu guru itu mungkin mempertimbangkan si anak akan malu apabila wajahnya tersorot kamera. Mungkin mental si anak akan jatuh jika kondisinya itu ditonton banyak orang dan viral di media sosial.

Langkah ibu guru tersebut memperhatikan etika membuat konten dan bermedia sosial. Segalanya berubah tatkala youtuber yang memilik 20 juta lebih subscribers itu datang ke sekolah dan rumah si anak itu. Dia bertemu si anak di sekolah.

Youtuber itu juga menemui ibu si anak di rumah. Dia mencari tahu mengapa rambut si anak penuh kutu dan bagaimana kondisi keluarga itu. Ternyata ibu dari anak tersebut menghidupi keluarga dengan mengumpulkan barang rongsokan.

Tim produksi youtuber itu menyorot wajah si anak perempuan. Wajahnya tampil pada thumbnail sejumlah video di kanal Youtube. Namanya tertulis jelas pada judul. Saya tidak meragukan niat baik youtuber itu menolong, memberikan hadiah, membahagiakan, dan membesarkan hati si anak agar tidak malu.

Youtuber itu juga berterima kasih kepada ibu guru karena memperhatikan kondisi muridnya. Saya juga tidak meragukan ketulusan youtuber itu membantu orang-orang yang miskin dan menderita dengan caranya.

Ia hanya melupakan etika atau adab membuat konten dan bermedia sosial. Apakah youtuber yang selebritas itu sudah memikirkan perasaan si anak? Baru-baru ini youtuber itu menyampaikan sudah meminta izin kepada si anak saat akan mengambil video bersama.

Bagaimana kehidupan sosial si anak setelah ini atau saat nanti beranjak dewasa dan melihat lagi video tersebut? Apakah si anak tidak akan mengalami labelling dan bullying karena kondisinya saat ini menjadi viral dan ditonton banyak orang?

Youtuber tersebut melupakan hal mendasar saat memproduksi konten, yakni adab, etika, dan empati. Seorang content creator tidak cukup hanya ahli menangkap momentum dan memiliki keterampilan sehingga bisa mendatangkan cuan.

Content creator harus memperhatikan aspek empati, simpati, dan peduli. Apakah mengeksploitasi kemiskinan dan kekurangan orang lain lalu mengunggahnya di media sosial merupakan budaya kita? Pertanyaan ini bukan hanya saya tujukan kepada youtuber kondang itu, tetapi kepada semua pihak yang menjadikan kemiskinan sebagai konten untuk disuguhkan kepada masyarakat.

Kegelisahan ini pula yang dirasakan Bupati Karanganyar Juliyatmono. Ia mengatakan tidak senang karena kondisi si anak SD itu menjadi viral di media sosial. Dia justru merasa khawatir dengan dampak psikologis si anak saat dewasa nanti.

Juliyatmono mempertanyakan apakah untuk memunculkan empati dan peduli harus dengan menyebarkan video tersebut sehingga menjadi viral? Jejak digital tidak bisa hilang. Sampai kapan pun akan ada.

”Kasihan anak ini kalau sudah dewasa nanti dan melihat video ini. Ngisin-ngisini. Saya sangat menyayangkan itu. Kasihan dampaknya, kita harus mikir dampaknya,” ujar Juliyatmono saat dimintai komentar tentang video viral tentang anak SD di Karanganyar yang memiliki banyak kutu.

Pilihan Logis

Pakar Kajian Studi Media dari Universitas Airlangga Surabaya, Rachmah Ida, menyebut content creator yang mengeksploitasi kemiskinan orang lain menjadi konten merupakan tindakan yang tidak kreatif. Dia menyebut tindakan itu sebagai poverty porn atau pornografi kemiskinan.

Fokus dari pornografi kemiskinan adalah menunjukkan penderitaan dan kemiskinan seseorang untuk menggugah empati dan kepedulian orang lain. Rasa iba menjadi trigger dalam konten pornografi kemiskinan sehingga audiens memiliki kedekatan dan merasakan posisi orang tersebut.

Laman Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur, Sabtu (10/9/2022),  mengutip guru besar Studi Media pertama di Indonesia yang dinobatkan pada 2014 itu. Ia mengingatkan content creator harus kreatif menciptakan konten.

Konten yang kreatif seharusnya memberikan dampak dalam keberlangsungan hidup. Harus memiliki sense of crisis, tidak hanya mengandung simpati tetapi juga empati. Poverty porn bukan hal baru pada era digital ini.

Rosniar dari Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Bone pernah menulis artikel berjudul Poverty Porn: Komodifikasi dan Etika Media. Dia menyebut poverty porn mengabaikan hak privasi dalam bentuk representasi media tentang eksploitasi penderitaan.

Taktik poverty porn digunakan pada awal 1980-an untuk membuat sensasi berbasis penderitaan orang-orang di Afrika. Tujuan utamanya mendapatkan empati dan lebih penting lagi meminta kontribusi/sumbangan untuk lembaga nirlaba/amal.



Poverty porn menangkap manusia dalam momentum rentan, sangat pribadi, dan mengemas trauma untuk dikonsumsi. Mengeksploitasi penderitaan orang, khususnya masyarakat miskin, dalam bentuk konten untuk mendapatkan empati atau meminta donasi bagi lembaga nirlaba, pendapatan iklan, atau menambah views, rating program siaran, dan sejenisnya adalah bentuk poverty porn.

Rosniar menyebut tindakan tersebut gagal melihat fenomena kemiskinan dari multisisi. Kemiskinan tidak bisa diselesaikan dengan sederhana. Tidak bisa sebatas pada anggapan bahwa kemiskinan bisa diselesaikan dengan uang. Faktanya konten dengan tema kemiskinan sukses menggaet simpati publik dan membuat content creator panen views dan mendulang cuan.

Apakah menjadi content creator yang tidak kreatif karena mengabaikan rasa simpati, empati, dan kepedulian itu sebuah pilihan logis? Ada pilihan yang lebih logis, yaitu bersama-sama mencerdaskan penonton dengan menyuguhkan tontonan yang kreatif—yang memperhatikan simpati, empati, dan kepedulian—sembari mewujudkan perubahan di masyarakat agar menjadi lebih baik dan lebih beradab.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 September 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya