SOLOPOS.COM - Relief phallus dan vagina di Candi Cetho bercampur dengan relief kisah Samodramanthana. (Solopos/Doc)

Solopos.com, KARANGANYAR — Berada di lereng Gunung Lawu, Candi Cetho menjadi destinasi wisata yang menyenangkan karena menawarkan suasana yang sejuk dan pemandangan indah.

Terletak di Dukuh Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Candi Cetho berada pada ketinggian 1400 meter di atas permukaan laut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Selain sebagai tempat wisata, rupanya Candi Cetho masih difungsikan oleh masyarakat baik sebagai upacara adat maupun keagamaan.

Yang menjadikannya menarik, karena peninggalan arkeologi yang bersifat living monument tidak hanya dijumpai di Bali. Umumnya, warisan budaya materi yang terletak di Jawa sebagian besar telah ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Namun, fungsi dari candi ini justru berkembang.

Candi Cetho kali pertama dipugar pada 1978. Mengutip artikel berjudul Beberapa Keistimewaan Candi Cetho di Kabupaten Karanganyar karya Heri Purwanto, pemugaran Candi Cetho diinisiasi guru spiritual Presiden kedua RI, Soeharto, Soedjono Humardani.

Baca Juga: Temuan Benda Ritual di Candi Kethek, Tempat Pembebasan Dosa

Kala melakukan semedi di Candi Cetho, ia mengaku mendapatkan wangsit. Atas wangsit itula kemudian Candi Cetho untuk pertama kalinya dipugar pad tahun 1978.

Berdasarkan informasi di atas, setidaknya pada tahun 1978 Candi Cetho telah digunakan sebagai tempat, media, atau sarana bagi masyarakat sekitar guna melangsungkan lakunya. Khususnya masyarakat Jawa, yakni kejawen selalu berupaya mencari tempat yang sunyi dan sepi.

Candi Cetho dalam naungan Gunung Lawu inilah yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Raden Brawijaya V. Lokasi ini dianggap memudahkan mereka dalam melakukan penyucian diri.

Tidak hanya masyarakat sekitar, masyarakat luar pun juga berdatangan untuk melakukan ritual di Candi Cethi. Ada yang datang dengan harapan khusus seperti ingin memiliki keturunan, kesembuhan, meruwat, maupun memohon rezeki.

Baca Juga: Ruwatan di Gunung Lawu, Pusat Pemujaan Suci Masyarakat Jawa Kuno

Dapat dikatakan sejak dibangun, aktivitas ruwatan di Candi Cetho hingga kini masih berlanjut. Tidak hanya itu, tradisi Jawa lainnya yang masih berlangsung adalah Mondosiyo. Upacara ini bertujuan untuk membersihkan desa dalam skala niskala dan hal-hal yang tidak baik.

Tradisi Mondosiyo

Upacara Mondosiyo biasanya dilaksanakan di halaman Candi Cetho. Upakara (sarana yang dipakai sebagai media pemujaan Brahman) dan sesaji dipersiapkan untuk dipersembahkan kepada Danyang Kyai Krincing Wesi, tokoh yang dianggap sebagai pelindung Desa Cetho.

Masyarakat Cetho yang mayoritas memeluk agama Hindu, menjadikan Candi Cetho sebagai tempat suci mereka. Segala kegiatan yang berkaitan dengan keagamaan dilaksanakan di sana. Di antaranya  Hari Raya Galungan, Siwaratri, Saraswati, Nyepi, dan lainnya. Di mana setiap hari raya tiba, masyarakat membawa sesaji menuju komplek candi.

Selain digunakan sebagai objek daya tarik wisata, di atas merupakan beberapa fungsi candi yang hingga saat ini masih digunakan.

Baca Juga: Akan Ada Tangga ke Puncak Lawu, Ternyata Gunung Ini Sudah Punya Duluan

Berkat penampilannya yang unik, juga fungsi candi yang masih bertahan dan berkembang hingga sekarang, Candi Cetho dijadikan sebagai tempat wisata unggulan bagi Pemerintahan Karanganyar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya