SOLOPOS.COM - Komunitas Sego Gurih mementaskan lakon "KUP" karya Wage Daksinarga dalam pentas keliling yang di halaman Kantor Harian Jogja, jalan AM Sangaji 41, Yogyakarta, Rabu (10/12/2014) malam. Pentas sandiwara berbahasa jawa itu mengangkat permasalah sosial masyarakat pinggiran yang kurang beruntung. (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Komunitas Sego Gurih mementaskan teater KUP (Kudeta untuk Pemerintah) untuk memperingati Hari Antikorupsi Sedunia di halamam Griya Harian Jogja, Rabu (10/12/2014) malam. Pesan antikorupsi diselipkan dalam adegan judi. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com Andreas Tri Pamungkas.

Kehidupan di perkampungan kumuh yang dihuni para gelandangan diwarnai dengan teror. Isu penggusuran selalu merugikan wong cilik. Teror itu muncul ketika Heru Gombloh yang dikenal oleh warga sekitar sebagai preman pemabuk kelas kakap merasa melihat atap terbakar.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sejurus kemudian, ia turun dari dingklik yang dipanjatnya.
Seorang warga terbangun dan membunyikan kentongan. Bunyi kentongan pun membangunkan seluruh penghuni rumah yang tengah terlelap. Mbah Sarju dan Sapar mencoba menyadarkan Gombloh.

Seketika itu Gombloh meminta agar warga pergi meninggalkan lahan kosong. Penyebabnya ada rencana penggusuran perkampungan di pinggir kali itu. Keresahan warga sebetulnya sudah bermula ketika Edi, penjual baso yang tinggal tak jauh dari lahan itu, melihat ada banyak tinja yang bercecer di pagi hari.

Ini adalah cuplikan dari pertunjukan teater berbahasa Jawa, KUP, tadi malam. Bekerja sama dengan Pemerintah Kota Jogja, pertunjukan itu berlatar di perkampungan kumuh pinggir kali di daerah Tungkak, Jogja.

Lokasi yang kini menjadi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dulunya merupakan perkampungan kumuh, tempat orang membuang sampah sembarangan dan bahkan tempat mangkal banci.

Sumur, kamar mandi umum, cakruk dirancang di halaman samping Griya Harian Jogja. Hujan yang sempat mengguyur wilayah AM Sangaji justru membuat panggung itu semakin apik. Genangan- genangan air di konblok halaman menambah kesan kumuh.

Di awal adagen, Mbah Sarju terlibat permainan judi dadu dengan pemuda. Dan tiba-tiba Mbokde Wiji datang dan memarahi Sarju yang tak henti-hentinya mengajak pemuda bermain judi. Sementara Sapar yang berada di kamar mandi ribut kehilangan sabun mandi.

Di tengah keributan Sarju dan Wiji, para pemuda itu merampas semua uang hasil judi, termasuk milik Sarju. Sekembalinya Sapar membeli sabun mandi, Mbah Sarju baru tersadar jika para pemuda telah meninggalkannya dan mengambil uang hasil berjudi.

Wage Daksinarga, penulis naskah KUP, mengatakan naskahnya telah ditulis sekitar tujuh tahun lalu. Namun demikian, tak lantas ceritanya kemudian tak menyentuh dengan kekinian.

Menurutnya, kehidupan masyarakat sekarang ini penuh dengan teror. Teror sekarang ini hadir dengan kehadiran teknologi nan canggih sekarang ini. “Orang itu sekarang sudah bingung jika tidak online sedetik pun,” katanya.

Humas Pemerintah Kota Jogja Tri Hastono mengatakan kegiatan tersebut rutin digelar sebulan sekali. Pertunjukan digelar di kampung-kampung, tidak di gedung pertunjukan.

Tak sekadar menceritakan kelicikan penguasa, menurutnya, cerita itu dipilih karena sehari sebelumnya bertepatan dengan Hari Antikorupsi Sedunia. Uang hasil perjudian yang dirampas oleh para pemuda itu menjadi contoh kecil korupsi di kalangan masyarakat.

Cerita berakhir dengan terbunuhnya Genjik, tokoh fiksi dalam kisah tersebut. Dan tidak diketahui motif ataupun siapa yang membunuhnya. Warga tetap terteror.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya