SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (9/11/2015), ditulis Ahmad Djauhar. Penulis adalah Ketua Dewan Redaksi Harian Solopos.

Solopos.com, SOLO — Entah sudah berapa warung dan rumah makan yang menjadi sasaran ”petuah” saya untuk mengganti tisu gulung di meja makan mereka. Ada perasaan tidak nyaman atau bahkan setengah jijik menyaksikan kehadiran tisu gulung ”mendampingi” acara makan di warung tersebut.

Promosi Alarm Bahaya Partai Hijau di Pemilu 2024

Ini memang menyangkut kultur atau budaya. Bagi mereka yang terbiasa sesaba atau berkunjung ke fasilitas publik modern atau mewah, hampir selalu dapat menjumpai tempat tisu gulung yang sebenarnya adalah di dalam toilet atau kamar kecil. Lebih tepatnya, tisu gulung itu selalu mendampingi kloset, terutama kloset duduk.

Begitu pula bagi mereka yang memiliki rumah berskala menengah ke atas, umumnya sudah melengkapi kamar kecilnya dengan kloset bersih dan gulungan toilet di sebelahnya. Memang benar, tisu gulung merupakan perlengkapan tak terpisahkan dari toilet kering dan fungsinya memang untuk, maaf, cebok setelah mereka buang hajat besar maupun hajat kecil.

Ekspedisi Mudik 2024

Di kalangan masyarakat di negara maju, keberadaan tisu gulung di setiap kamar kecil merupakan keharusan karena menjadi kebutuhan di saat mereka membuang hajat. Sebab itulah, dalam budaya masyarakat maju, tisu gulung kemudian diasosiasikan sebagai peranti pembersih setelah berhajat ria.

Industri kertas sebagai produsen tisu pun menyesuaikan produknya. Untuk tisu gulung, karena fungsinya hanya untuk ”bebersih”, tentu saja tidak memerlukan material yang berkualitas tinggi, cukup menggunakan lebih banyak bahan kertas daur ulang dan sedikit bubur kertas (pulp) serta sedikit bahan pelembut.

Beda dengan kertas tisu untuk wajah (facial tissue) yang dibuat dengan lebih banyak pulp, sedikit kertas daur ulang, serta ditambah pelembut serta pewangi. Demikian pula untuk tisu khusus meja makan (paper servettes), komposisi bahan bakunya tentu saja berbeda dan disesuaikan pula tingkat higienisnya.

Bertolak dari berbagai kondisi tersebut, memang tidak layak meletakkan tisu gulung di meja makan, baik di rumah tangga apalagi di tempat makan publik seperti warung dan rumah makan. Masing-masing produk ada tempatnya yang sesuai.

Untuk warung dan rumah makan, saya sering sarankan menggunakan kertas tisu yang berkemasan kubus, baik yang jenis serbaguna (multipurpose) maupun facial tissue. Beberapa di antara warung itu, ada yang mengikuti saran saya.

Masih banyak pula yang cuek dengan tetap ”menyajikan” tisu gulung di meja makan mereka. Konyolnya lagi, sejumlah produsen–seperti minuman, kecap, dan bumbu masak–malah menyeponsori wadah tisu gulung itu sebagai alat promosi produk mereka.

Saya jadi sering mikir betapa belum pintarnya orang-orang di bagian corporate communications alias bagian promosi berbagai perusahaan yang memfasilitas wadah tisu gulung itu. Seharusnya mereka lebih cerdas dari para pemilik warung atau rumah makan tersebut sehingga bisa ikut memberikan edukasi kepada para customer atau pelanggan bahwa tisu gulung tidak layak untuk mendampingi makanan dan minuman di warung atau rumah makan mereka.

Seharusnya pemerintah melalui berbagai elemen yang dimilikinya–dinas perdagangan, dinas kesehatan, atau dinas koperasi dan usaha kecil–turut mendidik para pemilik warung dan rumah makan skala menengah dan kecil terhadap hal-hal seperti itu, termasuk bagaimana menjaga higienitas produk olahan makanan mereka serta kebersihan dan kesehatan tempat usaha. [Baca: Sakkarepmu]

 

Sakkarepmu
Sayangnya, bentuk edukasi seperti itu tampaknya tidak pernah dilakukan. Para pengusaha kuliner kelas usaka kecil dan menengah (UKM) ini dibiarkan tumbuh sendiri tanpa pendampingan pengelolaan usaha.

Urip karepmu, mati ya sakkarepmu. Demikian mungkin yang ada di benak para aparat pemerintah yang sebagian gaji mereka berasal dari para usahawan kecil tersebut. Di sisi lain, pemerintah sedang gencar meningkatkan aktivitas kepariwisataan, baik bagi pelancong domestik maupun wisatawan antarbangsa.

Salah satu pendukung kepariwisataan ini tentu saja bidang usaha kuliner, termasuk di antaranya warung dan rumah makan sebagai pelaku usaha tersebut. Kita juga harus menyadari bahwa tidak semua pelancong berasal dari kalangan berduit, dan bagi mereka yang sangu-nya cekak tentu saja akan mengandalkan warung dan rumah makan tadi sebagai tempat untuk melengkapi kegiatan berpesiar mereka.

Sering kita jumpai, para backpacker alias turis asing dengan dana terbatas juga bersantap di warung atau rumah makan kelas menengah ke bawah itu. Dapat dibayangkan betapa terkejutnya mereka ketika di meja makan terdapat tisu gulung yang sebenarnya lebih tepat berada di dalam toilet mendampingi kloset.

Asosiasi mereka pasti akan melayang ke sana kemari dan menciptakan kesan tidak baik terhadap dunia pariwisata Indonesia. Walhasil, dengan kekuatan word of mouth atau gethok tular, mereka akan bercerita ke tetangga di kampungnya atau ”menyanyi” di media sosial bahwa bangsa Indonesia kurang beradab karena mendampingkan tisu gulung di meja makan.

Kalau sudah demikian halnya, tentu saja akan merugikan nama Indonesia secara keseluruhan. Ini salah satu faktor budaya yang harus dipahami dan diterapkan.

Gara-gara salah menempatkan tisu gulung di meja makan oleh para pemilik warung dan rumah makan yang tidak paham akan budaya antarbangsa, hal yang mungkin dianggap sepele ini bisa menjadi persoalan besar. Sepele dadi gawe. Kriwikan dadi grojogan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya