SOLOPOS.COM - Abu Nadhif (Istimewa)

Kolom edisi Senin (16/5/2016), ditulis jurnalis Solopos Abu Nadhif.

Solopos.com, SOLO — Mata Tri Rismaharini berkaca-kaca. Ia tak mampu lagi melanjutkan ucapannya. Hampir satu menit Wali Kota Surabaya itu terdiam lalu terisak. Suasana studio Metro TV hening. Presenter Najwa Shihab sabar menunggu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Beberapa saat kemudian Nana—sapaan akrab Najwa Shihab–mencoba mengorek informasi dari sang tamu. Upaya Nana berhasil.  Berbagai fakta seputar praktik prostitusi di Kota Surabaya meluncur dari mulut wali kota yang kini dijagokan sebagai salah satu calon Gubernur DKI Jakarta untuk menantang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

“Saya lalu kumpulkan semua kepala dinas. Saya juga berpesan kepada keluarga saya kalau saya mati karena mengurus ini [penutupan Dolly] jangan ada keluarga yang menuntut,” ujar Risma, panggilan Tri Rismaharini, dengan suara bergetar.

Adegan mengharukan tersebut tersaji dalam acara Mata Najwa di Metro TV, Februari 2014 silam. Kala itu Najwa Shihab mengorek informasi seputar penutupan Dolly, tempat lokalisasi pekerja seks komersial di Pasar Kembang, Surabaya, Jawa Timur yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara mengalahkan Patpong (Thailand) dan Geylang (Singapura).

Dari sekian fakta yang dikemukakan Risma, yang mencengangkan adalah fenomena anak-anak SD yang “jajan” di Dolly. Menurut Risma, dengan mengumpulkan uang jajan Rp1.000-Rp2.000 para bocah tersebut bisa mengencani pekerja seks komersial (PSK) yang seumuran dengan ibu atau nenek mereka.

Saat menyaksikan adegan di Mata Najwa itu, mata saya basah oleh air mata. Saya larut dalam kegetiran hati Risma. Kamis (12/5) lalu Risma kembali terisak. Kali ini bukan di studio Metro TV melainkan di Aula Mapolrestabes Surabaya. Di hadapan Risma berdiri berjajar delapan pelajar SMP dan SD.

Seolah-olah menjadi bukti ucapannya dua tahun sebelumnya, di hadapan Risma hari itu adalah bocah-bocah yang sudah merasakan hubungan seks pada usia yang sangat dini. Delapan bocah itu ditangkap polisi karena berbuat cabul terhadap seorang siswi SMP, Zr, 13.

Salah seorang anak berusia 14 berinisial AS bahkan sudah mempraktikkan perilaku cabul sejak usia lima tahun. Memilukan! Dari penelusuran polisi kemudian kita tahu, Zr sudah sejak usia empat tahun menjadi korban pencabulan AS, tetangga sekaligus teman mainnya.

Jadi sudah sembilan tahun perbuatan itu dilakukan! Yang memilukan, sejak April lalu AS mengajak tujuh rekannya—empat siswa SMP dan tiga pelajar SD—berbuat cabul. Kepada Risma, para pelaku tindakan cabul itu mengatakan setiap hari melihat tayangan video porno di warung Internet.

Kasus di Surabaya ini menambah banyak kasus seksual yang melibatkan anak-anak di berbagai tempat di negeri ini beberapa pekan terakhir. Di Bengkulu, seorang bocah berinisial Y, 14, dibunuh setelah sebelumnya diperkosa 14 remaja.

Di Lampung, bocah berusia 10 tahun ditemukan tewas dan diduga korban pemerkosaan. Di Manado, seorang remaja perempuan berinisial F, 19, diperkosa belasan pemuda. Di  Aceh, seorang siswi SMP diperkosa empat pemuda di dalam mobil.

Yang terdekat dengan kita adalah kasus di Jatinom, Klaten. Pada 11 Mei lalu seorang siswi kelas VI SD menjadi objek tindakan cabul beberapa remaja saat berkunjung ke rumah neneknya (Solopos, 13/5). Saya merasakan tangis Risma tulus. Ketulusan seorang ibu. Bukan isak tangis semu seperti yang diperlihatan politikusi kita yang kerap muncul di layar televisi.

Seperti juga Risma, sulit rasanya bagi saya memercayai peristiwa yang melibatkan AS dan Zr. Bagaimana mungkin pada usia yang sangat belia kedua bocah itu sudah berhubungan seks layaknya orang dewasa dan berlangsung sembilan tahun. Di mana orang tua mereka?

Usia AS dan Zr adalah usia anak-anak yang jamaknya gembira bermain. Sama dengan dua anak saya yang masih berkutat dengan boneka, pasaran, sepedaan, dan lain-lain. Belum saatnya mereka berpikir tentang hubungan seks.

Lonceng bahaya harus ditabuh bersama-sama. Saatnya negara bertindak. Bahaya kejahatan seksual sangat mengancam anak-anak kita. Seolah-olah sudah tidak ada tempat aman bagi mereka di negeri ini. Apalagi pelaku kejahatan seksual jamaknya orang dekat korban.

Dalam beberapa kasus yang terkuak, orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung anak justru bertindak sebagai predator. Bisa kakak, ayah, paman, atau tetangga. Di Bogor, pelaku pemerkosa dan pembunuh bocah perempuan berusia 2,5 tahun adalah Budiansyah, 26, tetangga dekatnya.

Pada Maret lalu, di Sinjai, Sulawesi Selatan, seorang bapak ditangkap polisi karena memerokosa anak kandungnya hingga hamil. Bahaya bisa menyergap anak-anak kapan saja dan oleh siapa saja. Kita harus introspeksi. Saatnya kita lebih peduli terhadap anak-anak kita.

Usia di bawah 10 tahun adalah masa krisis yang membentuk masa setelahnya. Singgih D. Gunarsa dalam bukunya Psikologi untuk Keluarga (1995) menyebut masa ini sebagai periode trotsalter, masa ketika anak sedang mengembangkan diri untuk melepaskan diri dari pengaruh orang tua.

Melepaskan mereka sama sekali dari pengawasan orang tua jelas menjadi bencana. Budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) dalam beberapa ceramahnya mengingatkan orang tua adalah teman dan pendamping anak untuk menemukan jati diri mereka. [Baca selanjutnya: Dua Lingkungan]

Dua Lingkungan

Dalam kasus AS dan Zr, saya menduga pengawasan orang tua dan lingkungan mereka sangat longgar sehingga bisa berhubungan tidak senonoh selama sembilan tahun tanpa terungkap. Singgih D. Gunarsa membagi lingkungan menjadi dua, yakni lingkungan alam dan lingkungan sosial.

Lingkungan alam meliputi hal yang bersifat materi seperti rumah, isi rumah; dan nonmateri yakni keadaan alam, iklim, suasana rumah yang rebut, dan lain sebagainya. Lingkungan sosial adalah pengaruh dari orang di sekitar anak, misalnya lingkungan di dalam keluarga, tetangga, sekolah, dan teman-teman sepermainan.

Kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial sangat menentukan terbentuknya pribadi anak (hal. 66). Peran pendampingan orang tua mutlak diperlukan. Di mana anak-anak bermain, dengan siapa mereka bergaul, tayangan apa saja yang mereka konsumsi setiap hari, hendaknya benar-benar diperhatikan orang tua.



Beberapa hari lalu Solopos memberitakan seorang siswi kelas I SMP berusia 13 tahun di Solo yang minggat dengan kekasihnya karena dilarang pacaran oleh orang tuanya.  Kasus ini adalah lonceng bahaya. Anak-anak kita terlalu cepat dewasa secara fisik tanpa dibarengi kedewasaan berpikir.

Kita harus menyambut seruan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto yang mendorong perbaikan sistem perlindungan anak dimulai dari elemen terkecil, yaitu keluarga. Para orang tua tak boleh lengah.

Mereka tidak boleh hanya mencukupi kebutuhan materi anak. Anak jauh lebih butuh perhatian dan kasih sayang serta arahan untuk menemukan jati diri mereka. Cak Nun berpendapat ada empat bekal bagi anak yang harus beres di dalam keluarga.

Empat hal itu adalah akhlak, disiplin (Cak Nun menyebutnya sebagai militer), akuntansi/muhasabah (pandai menghitung segala hal yang berkaitan kehidupan), serta perencanaan (planning). Menurut Cak Nun, dari empat hal itu akhlak menempati urutan pertama dan utama. Akhlak harus baik.

Revolusi moral menjadi harga mati. Moral menjadi ukuran pertama dan utama bagi pendidikan anak. Sebelum memberi bekal keilmuan dan pengetahuan lain, yang utama dibangun untuk mereka adalah fondasi moral.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moral dimaknai sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Moral berarti akhlak, budi pekerti, susila.

Kadang-kadang orang tua terlalu permisif. Apa saja yang diminta anak dikabulkan tanpa menyaring terlebih dulu dampaknya. Anak-anak SD bermain handphone (HP) canggih menjadi pemandangan yang biasa. Dengan teknologi Internet di HP bocah-bocah tersebut dengan mudah mengunduh gambar/video porno.

Repotnya, pada saat yang sama pengawasan terhadap mereka begitu longgar. Saya beberapa kali memergoki anak-anak usia SD yang “mojok” di tempat sepi dengan HP canggih. Pikiran negatif saya selalu mengarah pada “ada sesuatu” di alat canggih itu sehingga bocah-bocah itu sampai bersembunyi untuk membuka HP.

Agar kasus AS tidak terulang, para pengurus rukun tetangga (RT), pengurus rukun warga (RW), hingga kepala desa/lurah harus waspada terhadap kondisi lingkungan masing-masing. Jangan hanya berkutat pada urusan administratif warga. Mereka harus menjadi pelopor perlindungan anak.

Mengutip slogan presenter berita salah satu stasiun televisi swasta yang populer beberapa tahun silam, “Kejahatan bukan hanya karena ada niat pelakunya tapi juga karena ada kesempatan.” Kepedulian sosial akan menciptakan lingkungan sosial yang sehat sehingga niat jahat bisa ditepis karena kesempatan ditutup rapat-rapat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya