SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (15/2/2016), ditulis jurnalis Solopos Ichwan Prasetyo.

Solopos.com, SOLO — Term “investasi” di era kini bisa jadi sederajat dengan term “stabilitas nasional”, “pemerataan pembangunan”, dan “menuju era tinggal landas” yang jadi mantra sakti era pembangunan masa Orde Baru.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Investasi kini dirayakan secara besar-besaran, menjadi salah satu mantra sakti era pembangunan masa kini. Silakan Anda cek di koran ini, sebulan atau dua bulan terakhir, niscaya Anda akan menemukan banyak berita tentang perayaan investasi.

Di banyak daerah, unit kerja khusus yang punya wewenang dalam urusan petrizinan usaha dan penanaman modal selalu mendapat target menaikkan investasi tiap tahun. Penambahan investasi selalu menjadi nilai positif.

Alasannya masuk akal, daerah yang dipercaya investor berarti daerah yang aman, berpemerintahan terbuka, harga tanah relatif murah, infrastruktur mendukung. Pendek kata, daerah yang dilirik investor adalah daerah yang “maju”.

Perayaaan investasi ini jelas sekali kentara selama setahun terakhir. Tentu ini bukan cuma kebetulan karena Presiden Joko Widodo berlatar belakang pengusaha yang tentu khatam urusan investasi dan penanaman modal itu.

Dalam beberapa kesempatan Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya bersikap ramah terhadap investasi, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri.

Salah satu yang dia tekankan adalah penyederhanaan perizinan usaha yang dimulai dari tingkat pemerintah pusat hingga pemerintah kabupaten/kota. Kebijakan ini resmi diterapkan melalui paket kebijakan ekonomi pemerintah yang dirumuskan tahun lalu untuk merespons resesi ekonomi dunia.

Secara umum, alasan-alasan merayakan investasi itu masuk akal: meningkatkan perekonomian, mendatangkan biaya pembangunan, membuka lapangan kerja, meningkatkan pemberdayaan daerah.

Perayaan investasi ini hendaknya tak menihilkan sikap kritis. Artinya tetap harus mengemuka pertanyaan: benarkah investasi—terutama di daerah—benar-benar berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat?

Kalau term “kesejahteraan rakyat” terlalu berat, mungkin cukuplah pertanyaan: benarkah investasi—terutama di daerah—berkontribusi signifikan terhadap peningkatan derajat kehidupan rakyat?

Apa indikator peningkatan derajat kehidupan rakyat itu? Yang paling sederhana adalah yang dulu menganggur kini bekerja, yang dulu tak punya pendapatan tetap kini punya pendapatan tetap, yang dulu miskin kini tak miskin, dulu tak ada jalan mulus kini tersedia jalan lebar dan mulus, dan sejenisnya.

Cukupkah alasan merayakan investasi ketika semua indikator—mikro—di atas terpenuhi? Bagaimana dengan realitas banyak warga di perdesaan kehilangan tanah karena demi mendukung investasi?

Bukankah ini justru mengalienasi mereka dari peluang berproduksi? Ataukah memang mereka harus berubah dari petani menjadi buruh agar berstatus sejahtera sebagai dampak investasi?

Pertanyaan-pertanyan demikian ini selalu mengganggu saya tiap kali saya membaca berita tentang investasi di daerah. Fakta menunjukkan selama ini term “kesejahteraan rakyat” hanya didekati dengan proyek-proyek, investasi-investasi, yang dilaksanakan dalam kerangka trickle down effect. [Baca selanjutnya: Melebar]Melebar

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kesenjangan ekonomi kian melebar, khususnya di perkotaan. Kesenjangan atau ketimpangan pendapatan penduduk perkotaan berdasar data Susenas 2015 BPS itu terlihat dari kenaikan rasio gini.

Pada September 2014 rasio gini perkotaan adalah 0,43. Pada September 2015 rasio gini perkotaan itu meningkat menjadi 0,47. Sementara rasio gini perdesaan pada September 2014 adalah 0,34 dan menurun pada September 2015 menjadi 0,27.

Bagaimana cara membaca rasio gini? Ambillah peningkatan rasio gini perkotaan pada September 2014 dan September 2015, yaitu dari 0,43 menjadi 0,47. Cara membaca yang paling sederhana adalah porsi penguasaan sekitar 1% orang terkaya Indonesia (di perkotaan) atas kekayaan nasional bertambah dari sekitar 43% pada September 2014 menjadi 47% pada September 2015.

Cara membaca lainnya yang mungkin lebih halus ketika direnungkan dan dimaknai adalah porsi kekayaan Indonesia (di perkotaan) yang perlu didistribusikan ulang agar terjadi kondisi pembagian yang lebih layak, tak ada kesenjangan tajam, bertambah dari 43% pada September 2014 menjadi 47% pada September 2015. Cara membaca demikian juga bisa diterapkan untuk rasio gini perdesaan.

Dari data Susenas 2015 BPS itu terlihat rasio gini perdesaan lebih kecil dibandingkan perkotaan. Rasio gini perdesaan malah menurun. Apakah angka-angka demikian ini bisa digunakan untuk mempertanyakan perayaan investasi?

Jawaban sederhana yang akan kita peroleh adalah investasi justru digenjot untuk menurunkan rasio gini, mempersempit kesenjangan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan warga miskin, dan meningkatkan gerak ekonomi serta pembangunan.

Tujuan demikian ini, secara logika sederhana, memang layak dirayakan. Setiap pertambahan investasi harus dirayakan karena bertujuan mempersempit kesenjangan atau ketimpangan pendapatan, di perkotaan maupun di perdesaan.

Kembali ke data Susenas 2015 BPS itu, ternyata penurunan rasio gini perdesaan itu tak linier dengan jumlah penduduk miskin. Rasio gini perdesaan yang menurun dari 0,34 menjadi 0,27 jelas signifikan. Persoalannya, penurunan ini tak sesignifikan pengurangan jumlah penduduk miskin menjadi tak miskin lagi. Jumlah penduduk miskin cuma berkurang sekitar 50.000 orang.

Perayaan terhadap investasi tentu punya tujuan mulia—tak perlu diragukan lagi—untuk menurunkan angka rasio gini hingga sekecil-kecilnya sehingga kesenjangan ekonomi kian sempit dan warga miskin terentaskan dengan memanfaatkan pembangunan bersama-sama warga yang tidak miskin. [Baca selanjutnya: Ketimpangan]Ketimpangan

Sangat sulit menemukan data konkret penyebab ketimpangan ekonomi, penyebab kesenjangan pendapatan, dan penyebab jumlah penduduk miskin tak jua berkurang secara signifikan bila hanya melihat dari rasio gini.

Apa penyebab ketimpangan ini seakan-akan hanya bisa dicium baunya, tetapi tak ketahuan apa penyebab bau itu, tak ketahuan apa sumber bau itu. Hal yang sama juga berlaku pada perayaan investasi itu. Peningkatan nilai investasi yang selalu dirayakan adalah fenomena permukaan yang kelihatan, tapi tak bisa menunjukkan peran signifikan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan kemiskinan.

Sebagian orang merayakan kenaikan nilai investasi, bahkan banyak daerah yang membanggakan kenaikan nilai investasi tiap tahun sebagai indikator daerah yang “baik” dan layak dicontoh. Sebagian orang menilai investasi sebagai malapetaka: petani kehilangan lahan, daya dukung lingkungan menurun, sumber air terancam rusak.

Persoalan yang lebih makro adalah mengapa sekian kecil persen orang kaya itu menguasai kekayaan bangsa dengan kekayaan yang makin besar? Pada saat bersamaan, sebagian besar penduduk miskin tak kunjung mentas dari kubangan kemiskinan, padahal program-program antikemiskinan—termasuk investasi itu—kian intensif dilaksanakan dan dengan dukungan dana yang kian banyak.

Laman www.dw.com, pada pertengahan Januari lalu, memberitakan laporan Oxfam, organisasi nirlaba yang berfokus pada pembangunan, penanggulangan bencana, dan advokasi yang menyatakan pada 2016 setengah kekayaan dunia akan dimiliki hanya oleh 1% dari orang-orang terkaya dunia.

Pada 2014 lalu, Oxfam yang berbasis di Inggris ini menyatakan nilai kekayaan kelompok ini mencapai 48% dari kekayaan dunia. Analisis ini dibuat berdasarkan data dari Credit Suisse dan daftar orang kaya yang dirilis majalah Forbes.

Menurut Oxfam, sebagaimana dilansir www.dw.com, 80 orang terkaya dunia menguasai aset senilai US$1,9 triliun. Angka ini setara dengan jumlah harta yang dimiliki bersama oleh sekitar 3,5 miliar orang atau separuh populasi dunia yang tergolong masyarakat berpendapatan paling rendah.

Ketimpangan ini akan menjadi penghambat langkah menghapus kemiskinan global. Pada pertengahan Januari lalu itu sekitar 2.500 orang kaya dan berkuasa di dunia berkumpul di Davos, Swiss. Mereka menghadiri pertemuan Forum Ekonomi Dunia.

Oxfam berupaya mendesak diambilnya tindakan konkret untuk mengatasi jurang yang memisahkan warga kaya dan miskin tersebut. Ketimpangan yang dikemukakan Oxfam ini meningkat dibandingkan pada 2010. Saat itu ada 388 orang terkaya yang hartanya setara dengan aset yang dimiliki separuh penduduk bumi.



Ketimpangan ekonomi yang terjadi di negeri kita tentu tak lepas dari gejala global ini. Investasi apa yang bisa mendorong secara nyata pemberdayaan masyarakat—terutama di perdesaan—sehingga mereka benar-benar berdaya dan mampu mentas dari kemiskinan?

Warga Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Klaten memberikan contoh investasi yang demikian ini. Pemerintah Desa Ponggok melalui badan usaha milik desa yang dibentuk bersama masyarakat desa itu berhasil mengelola Umbul Ponggok menjadi kawasan wisata air dan kuliner.

Kawasan wisata itu menghasilkan keuntungan yang masuk sebagai pendapatan asli desa. Pendapatan itu dikelola untuk kesejahteraan masyarakat desa, antara lain untuk jaminan biaya pelayanan kesehatan, beasiswa, santunan rutin untuk warga lanjut usia, dan lainnya.

Setelah sukses mengelola Umbul Ponggok dengan omzet per tahun miliaran rupiah, Pemerintah Desa Ponggok bersama badan usaha milik desa dengan investor warga desa itu sendiri berencana mengelola kawasan Banyu Mili. Kawasan ini sebelumnya dikelola investor swasta dengan masa pengelolaan berakhir pada tahun ini.

Kawasan Banyu Mili ini akan dikembangkan dan diberdayakan menjadi kawasan wisata edukasi. Butuh dana sekitar Rp20 miliar untuk mewujudkan rencana ini.  Semua dana yang dibutuhkan itu ditanggung Pemerintah Desa Ponggok, badan usaha milik desa, dan warga Desa Ponggok yang berinvestasi atas nama pribadi.

Investasi yang ditanam di Desa Ponggok ini berkredo dari desa, oleh desa, untuk desa, lebih tepatnya dari warga desa, oleh warga desa, untuk warga desa. Inilah model investasi yang sesungguhnya harus dirayakan. Dalam konteks pemberdayaan manusia, warga negara yang tergolong miskin bukanlah orang-orang yang sama sekali tak memiliki potensi, betatapun kecil potensi itu.

Orang-orang miskin itu sendirilah yang harus menentukan bagaimana mereka akan berkembang. Mereka yang paling mengetahui potensi, situasi, dan kebutuhan mereka sendiri. Pemberdayaan berbasis komunitas sangat pas untuk mereka.

Pengakuan potensi ini sebagai titik tolak mengembangkan potensi mereka melalui proses yang sesuai keadaan mereka yang sebenarnya. Ke dalam mereka inilah seharusnya investasi yang dirayakan itu…







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya