SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom edisi Senin (23/5/2016), ditulis Ketua Dewan Redaksi Harian Solopos dan anggota Dewan Pers Ahmad Djauhar.

Solopos.com, SOLO — Tahun ini komunitas global memperingati 250 tahun diundangkannya kebebasan informasi yang kali pertama oleh masyarakat Skandinavia. Oleh UNESCO, Badan Urusan Pendidikan, Sains, dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), momentum bersejarah tersebut diadopsi sebagai Hari Kebebasan Pers Dunia.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Melalui program SDGs  atau Tujuan Global Beresinambungan, PBB juga menjadikan hak atas informasi sebagai salah satu landasan penting agar masyarakat dunia semakin melek informasi. Bagi rakyat Indonesia, tahun ini juga menjadi momentum untuk memperingati ulang tahun ke-18 kebebasan pers yang sesungguhnya.

Berkat gerakan reformasi yang dipicu rangkaian peristiwa pada 1998, komunitas pers nasional terbebas dari ancaman terhadap kelangsungan hidup mereka oleh pemerintah. Terus terang, komunitas pers di Indonesia kini relatif lebih bahagia karena tidak ada lagi ancaman yang signifikan bagi kebebasan pers, kebebasan berbicara, serta kebebasan berekspresi, seperti pernah terjadi ketika bangsa ini hidup di era rezim Orde Baru berkuasa.

Tidak ada lagi aturan perizinan bagi siapa pun yang ingin mendirikan lembaga pers baru, bahkan untuk membuat konglomerasi media sekalipun. Rezim tersebut merupakan mimpi buruk bagi komunitas pers yang pada masa pemerintahan Soeharto atau Orde Baru selama hampir tiga dekade, dimulai sejak 1970-an.

Media manapun yang berani mengkritik pemerintah atau sekadar salah mengutip pernyataan penting atau menerbitkan dokumen negara yang diembargo dapat menyebabkan kematian fatal bagi media itu sendiri. Hingga muncul kebijakan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah dari Kabinet Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie yang membatalkan ketentuan tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang disambut dengan suka cita oleh komunitas pers.

Pada 5 Juni 1998, pemerintah resmi mengakhiri kebijakan represif tersebut dengan mencabut Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) yang sangat dibenci oleh kalangan pers, yaitu Permenpen No.1/1984. Kemerdekaan pers ini bukanlah sesuatu yang tanpa tantangan karena berbagai pihak selalu berupaya mengganggunya melalui berbagai cara dan bentuk. [Baca selanjutnya: Ancaman]Ancaman

Tidak sedikit produk rancangan undang-undang yang selalu berupaya mengembalikan ”kekuasaan” untuk mencabut kebebasan pers ini, minimal mengkriminalkan kerja jurnalistik. Kita menyaksikan politikus hitam—dengan sponsor pengusaha hitam–senantiasa mengincar agar pers di Indonesia tidak sebebas sekarang ini.

Begitu pers tidak bebas alias mudah dikendalikan, maka aspek sosial, ekonomi, politik, atau bahkan pertahanan dan keamanan bangsa ini akan dengan mudah mereka kendalikan. Tidak sedikit kelompok yang mengklaim sebagai organisasi dengan dukungan golongan masyarakat tertentu sering melakukan upaya untuk memaksakan kehendak mereka agar dapat membungkam kebebasan pers di negeri ini.

Mereka tidak segan menduduki kantor media massa atau bahkan mengancam para jurnalis agar tidak memberitakan aktivitas mereka yang sesungguhnya merugikan kelompok masyarakat lain. Untuk menopang keberhasilan pembangunan manusia, hak atas informasi, kebebasan pers, dan lingkungan yang baik untuk jurnalisme haruslah dapat diselenggarakan secara simultan dan tidak di bawah ancaman maupun tekanan.

Demokrasi tanpa kebebasan arus informasi adalah sebuah kemustahilan. Dengan sangat menyesal perlu juga dikemukakan di sini bahwa ada sejumlah media yang ternyata menunggangi kebebasan pers itu untuk memperoleh keuntungan sepihak dengan cara berkolaborasi dengan pemilik kepentingan.

Berkat kebebasan pers ini pula, sejumlah pemodal besar mengembangkan kelompok media secara intensif yang kemudian memanfaatkan kekuatan media tersebut untuk merambah dunia politik. Sebenarnya pemanfaatan media oleh para media magnate ini merupakan fenomena global yang terjadi bukan hanya di negara demokrasi baru, melainkan juga di sejumlah negeri maju seperti di Eropa dan Amerika Latin.

Hanya saja, regulasi tentang pemanfaatan media oleh pemiliknya sebagai kendaraan politik di negara maju relatif lebih ketat. Dengan demikian, pemanfaatan media sebagai kendaraan politik oleh si pemilik korporasi media menjadi lebih terukur. Dengan ketentuan perundangan lebih ketat, pemilik media juga tidak bisa seenaknya mengendalikan lembaga redaksi sehingga harus tunduk untuk memenuhi hasrat politiknya.

Pers sebagai salah satu pilar demokrasi harus tetap dijaga agar tetap bebas dan mampu menjaga kewarasan berpikir seluruh warga bangsa ini. Inilah hakikat dari keberadaan pers institusional yang bekerja berdasarkan aturan jurnalisme yang ketat untuk membedakannya dari media sosial yang cenderung hanya berfungsi sebagai sarana kebebasan berekspresi tanpa nilai-nilai jurnalistik di dalamnya.

Komunitas pers di Indonesia perlu secara dini mengantisipasi kemungkinan terjadinya berbagai ancaman tersebut. Misalnya mendeteksi potensi ancaman bagi kebebasan per situ dari setiap rancangan undang-undang (RUU) yang berpotensi ke arah sana.

Kebebasan ini harus dipertahankan dengan cara apa pun. Jangan sampai terenggut lagi oleh pihak mana pun. Lembaga pelaksana UU Pers—dalam hal ini Dewan Pers—perlu senantiasa mengajak komunitas pers di Indonesia agar lebih solid dalam upaya menjaga kemerdekaan pers ini. Sekali terlepas kemerdekaan itu akan sangat sulit untuk merebutnya kembali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya