SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (5/10/2015), ditulis jurnalis Solopos Ichwan Prasetyo.

Solopos.com, SOLO — Di laman pribadinya, pada Agustus 2013, dalam sebuah esai singkat, Windu Nuryanti yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mempertanyakan di mana peran pemerintah dalam pembangunan kebudayaan?

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pertanyaan ini juga selalu mengemuka di kalangan akar rumput pelaku kebudayaan. Mereka berada di ranah seni, ranah kearifan lokal dalam berbagai sektor kehidupan, ranah pendidikan formal dan informal, dan ranah kehidupan lainnya yang tak pernah lepas dari kebudayaan.

Pertanyaan ini intensif mengemuka setidaknya dalam satu dekade terakhir. Dalam perjumpaan saya dengan kalangan pelaku budaya di berbagai komunitas di Soloraya, Surabaya, Bojonegoro, Jogja, dan Semarang, pertanyaan tentang apa yang diperbuat negara untuk kebudayaan selalu muncul.

Saya rasa tak ada seorang pun yang tak sepakat bahwa dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, semangat yang menjiwai kreativitas budaya—dalam berbagai ranah kehdiupan itu—memang memerlukan perlindungan formal, butuh perlindungan dan dukungan negara.

Saya sepakat dengan pendapat Windu Nuryanti yang dia kemukakan dalam esai di laman pribadinya itu bahwa negara mempunyai kewajiban menjamin kelangsungan kreativitas budaya masyarakat negeri ini. Dalam tataran formal kenegaraan, di sinilah undang-undang kebudayaan diperlukan.

Hari-hari ini, ihwal UU tentang kebudayaan ini mengemuka di berbagai ruang publik, ruang publik nyata maupun ruang publik maya (Internet), setelah term “kretek”, yang tak lain adalah “rokok kretek”, muncul dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan (RUU Kebudayaan) yang saat ini masih dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat.

Tajuk Solopos edisi Jumat (2/10) menilai RUU Kebudayaan ini harus ditinjau ulang. Peninjauan ulang bukan semata-mata karena kemunculan term “kretek” sebagai warisan kebudayaan Indonesia yang harus dilestarikan.

Term satu ini memang memunculkan kontroversi karena ada konflik “keras” dalam kretek yang melibatkan isu “kebudayaan”, “kesehatan”, “cukai rokok”, dan “pembelaan terhadap petani tembakau”.

Peninjauan ulang RUU Kebudayaan penting karena term “kretek” ini ternyata semacam “puncak gunung es” dari substansi RUU Kebudayaan yang malah tak berpihak kepada kebudayaan”. Hasrat perumusan dan pemberlakukan UU Kebudayaan adalah untuk melindungi kebudayaan Indonesia.

Frasa “melindungi kebudayaan Indonesia” inilah yang mengemuka, setidaknya, dalam satu dekade terakhir ketika banyak elemen masyarakat kebudayaan mempertanyakan di mana peran negara dalam pembangunan kebudayaan.

Ketika RUU Kebudayaan terwujud dan kemudian masuk dalam proses formal legislasi, ternyata substansinya masih jauh dari hakikat menjawab pertanyaan “di mana peran negara dalam pembangunan kebudayaan?”

Tajuk Solopos edisi Jumat pekan lalu menyimpulkan RUU Kebudayaan mengandung sesat pikir. Asumsi-asumsi yang mendasarinya banyak yang keliru, yang mengemuka sebagai substansi adalah mengontrol dan menguasai. RUU Kebudayaan bersifat membatasi sesuatu yang mestinya dibiarkan berkembang sebagai kekayaan  bangsa.

Terkait term ”kretek” yang secara khusus muncul jadi hal istimewa dalam RUU Kebudayaan, saya teringat ”ocehan” wartawan senior yang kini jadi pendeta Hindu di Bali, Putu Setia. Melalui akun Twitter-nya @mpujayaprema, pekan lalu, Putu ”menggugat” kemunculan “kretek” sebagai warisan kebudayaan Indonesia yang harus dijaga dan dilestarikan.

Menurut dia, masih banyak hal lain dalam kebudayaan Indonesia yang jauh lebih penting daripada kretek untuk dilestarikan. RUU Kebudayaan itu tak jelas maunya. RUU Kebudayaan itu laksana hendak menggantikan UU Cagar Budaya.

Saat itu saya merespons “ocehan” @mpujayaprema dengan mengusulkan agar egrang juga masuk RUU Kebudayaan. Putu Setia menyebut kalau kretek bisa jadi hal istimewa di RUU Kebudayaan mestinya layang-layang yang juga merupakan salah satu aspek kebudayaan manusia Indonesia juga harus masuk.

Saya menangkap ada kegelisahan dalam ”ocehan” Putu Setia itu yang sumbernya tak lain kegagalan mengidentifikasi roh kebudayaan yang harus dimasukkan dalam RUU Kebudayaan dan kemudian melahirkan kebijakan negara melindungi kebudayaan. [Baca: Perspektif]

 

Perspektif
Ketika memikirkan kontroversi kretek dalam RUU Kebudayaan, saya teringat buku yang belum lama terbit, berjudul Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia, Kajian Budaya Selama Abad ke-20 Hingga Era Reformasi.

Buku itu karya Tod Jones dan diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia atau Buku Obor dan KITLV Jakarta. Buku tersebut terbit pada Februari 2015.

Di bagian awal buku ini ada pembahasan khusus ihwal perspektif-perspektif kajian budaya. Perspektif pertama adalah ekonomi budaya yang membawa teori ekonomi pada bidang kegiatan budaya.

Banyak peneliti di bidang ekonomi budaya berpendapat prinsi-prinsip ekonomi budaya adalah perangkan metodologis individualism dan pilihan rasional yang lebih memperkuat pemisahan negara dan masyarakat serta mengabaikan kenyataan pilihan rasional itu sangat subjektif dan bersaing.

Perspektif kedua adalah regenerasi melalui budaya. Perspektif ini mengakui kegunana budaya sebagai alat negara. Definisi kebudayaan diperluas untuk mencakup industri budaya, seperti media, mode, rekreasi, dan pariwisata; kegiatan kelompok-kelompok komunitas atau masyarakat’ gaya hidup; dan warisan, bersama dengan seni.

Dalam perspektif ini kebudayaan menjadi sarana menghasilkan pendapatan dan menciptakan lapangan kerja serta alat bagi masyarakat membangun dan menciptakan kualitas hidup.



Perkembangan saat ini terhadap industry-industri budaya dan perdebatan tentang kota-kota kreatif dan kelas atau komunitas kreatif sering kali merupakan perpanjangan dari pendekatan perspektif ini.

Perspektif ketiga tentang kebijakan budaya membutuhkan pandangan yang lebih luas dan lebih kritis tentang apa itu kebijakan budaya dan apa yang dilakukannya. Fokusnya adalah isu-isu pembentukan identitas dan kekuasaan yang terdapat dalam hubungan budaya antara lembaga dan rakyat.

Selama ini, kebudayaan di negeri ini masih selalu di wilayah “pinggiran”, jauh dari arus besar pembangunan negeri ini. Banyak yang berpikir kebudayaan hanyalah seni dan hiburan seperti panggung ketoprak, wayang orang, karawitan, konser, lain sebagainya.

Koenjaraningrat menyatakan kebudayaan lebih luas dari itu. Kebudayaan adalah adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia itu, yang di dalamnya tercakup nilai-nilai, menjadikan manusia belajar dan mengajar sesama manusia cara berpikir, cara makan, cara bersopan santun, cara menghargai pemimpin, cara melaut, cara bertani, bertoleransi, dan dimensi-dimensi immaterial lainnya.

Tanpa kebudayaan, kita tak mungkin punya sejarah yang adiluhung, kita tak mungkin punya karakter dan jati diri. Kebudayaanlah yang memberi kita Candi Prambanan, kompleks Keraton Ratu Boko, Candi Borobudur, ketoprak, wayang orang, karawitan, gong kebyar, upacara-upacara, karya-karya seni, lurik, batik, sarung goyor, tembang macapat, dan karya-karya budaya yang tidak mungkin dicapai melalui politik ataupun ekonomi.

Kesadaran tentang hal-hal inilah yang seharusnya menjiwai RUU Kkebudayaan. Saya teringat tulisan dan ungkapan nostalgia beberapa orang yang selama ini bergelut di sektor kebudayaan, antara lain Halim H.D. dan Mbah Prapto (Suprapto Suryodarmo), ihwal prestasi yang berhasil dirasih sektor kebudayaan di Soloraya. Halim pernah menuliskan ”kejayaan” Taman Budaya Surakarta (TBS) saat dikelola Murtidjono.

Ketika itu jaringan kebudayaan terbina dengan baik. Solo menjadi kawah candradimuka bagi seniman dan budayawan untuk menghasilkan karya yang kemudian mewarnai secara dominan perkembangan kebudayaan kita. Ihwal karya nyata taman budaya—era dulu—juga dibahas dalam buku Tod Jones.

Mbah Prapto sampai kini konsisten berkarya dengan jaringan internasional yang kian berkembang dan menghasilkan nuansa-nuansa kebudayaan tradisional maupun kontemporer yang diakui dunia dan itu tentu saja asalnya dari Indonesia.

Para perumus RUU Kebudayaan itu harus menziarahi seluruh pelosok negeri ini untuk menangkap roh kebudayaan yang nyata, roh kebudayaan hakiki, hal substansial yang kemudian bisa dirumuskan dalam sebuah RUU yang bertujuan melindungi, menjaga, memberdayakan, dan mengembangkan kebudayaan kita.

Mengutip esai Windu Nuryanti yang dibikin pada 2013 dan diunggah di laman pribadinya, tiga kerangka utama harus menjadi fokus perumusan RUU Kebudayaan, yaitu perlindungan, penjaminan, dan pelayanan.  Perlindungan tidak hanya upaya menghindarkan klaim asing atas karya budaya, tetapi juga melindungi masyarakat pencipta karya tersebut dari proses-proses komodifikasi kapital yang merugikan mereka. ‘

Penjaminan adalah kebijakan legal untuk menjaga, mendorong, dan menyubsidi kelangsungan seluruh kreativitas budaya sehingga kreativitas budaya itu menjadi sumber-sumber penghidupan masyarakat. Pelayanan menjadi kata kunci posisi pemerintah dalam proses-proses budaya itu. Pemerintah tidak hanya mengintervensi, namun memfasilitasi inovasi dan kreativitas dinamika kebudayaan. Sudahkan ini semua menjadi dasar penyusunan RUU Kebudayaan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya