SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar (Istimewa)

Kolom untuk Senin (11/4/2016), ditulis Ketua Dewan Redaksi Harian Solopos Ahmad Djauhar.

Solopos.com, SOLO — Salah satu pepatah berbahasa Inggris yang berbunyi seeing is believing itu rupanya benar adanya. Menyaksikan (sendiri) adalah keyakinan. Kalau tidak menyaksikan sendiri (sebuah peristiwa), sulit untuk yakin (atas kebenaran suatu peristiwa).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sebagai wartawan yang memang harus banyak ”jalan”, kesempatan itu selalu saya gunakan untuk menggali berbagai fakta tentang sesuatu di daerah atau wilayah yang saya datangi. Ini adalah proses seeing sehingga akhirnya saya benar-benar memperoleh pemahaman atau keyakinan atas sebuah persoalan di daerah atau wilayah tersebut.

Daerah yang baru-baru ini saya datangi adalah sejumlah kota di Sumatra bagian tengah. Di salah satu provinsi di wilayah itu terdapat fenomena menarik yang membuktikan asumsi saya selama ini bahwa para kepala daerah itu cenderung mengejar harta, tahta, dan (biasanya juga) wanita. Setidaknya salah satu dari tiga itu.

Saya sempat terhenyak mendengar penjelasan warga setempat bahwa tiga kepala daerah di sebuah provinsi tadi ”disekolahkan” di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gara-gara kasus korupsi.

”Dua gubernur terdahulu sudah inkraacht [berkekuatan hukum tetap] dan jika gubernur yang sekarang nantinya terbukti, lengkaplah tiga gubernur kami berstatus koruptor semua. Sungguh menyedihkan,” ujar seorang rekan.

Bayangkan, tiga orang gubernur yang menjabat secara berturutan semuanya ditangkap KPK. Provinsi tadi memang kaya sumber daya alam. Masak sih tidak ada figur calon pemimpin yang benar-benar ingin memperbaiki wilayah itu dengan tulus dan tak perlu ”bersekolah” di KPK di tengah masa jabatan?

Benarkah semua calon pemimpin di wilayah yang kaya minyak dna gas dan hasil hutan/perkebunan itu tidak ada yang memiliki idealisme untuk memajukan daerah dengan tetap berpegang teguh pada norma maupun ajaran agama yang dianut?

Apakah uang memang sudah menjadi segala-galanya bagi para calon pemimpin di kawasan itu? Ternyata amat langka buktinya ketika ada kandidat pemimpin daerah sesumbar keinginannya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah untuk memajukan tanah kelahirannya itu.

Hampir semua peserta pemilihan kepala daerah kini terjebak politik transaksional. Artinya, sebelum menyatakan keberanian untuk maju, dia pasti sudah berhitung berapa duit yang harus dikeluarkan untuk ”mahar” kepada partai politik yang akan mengusungnya sebagai calon kepala daerah.

Dia juga berhitung berapa biaya kampanye dan pencitraan, serta berapa ongkos entertainment pendukung. Setelah itu perhitungan akan menjalar ke potensi pendapatan jika kelak terpilih sebagai gubernur, bupati, atau wali kota.

Tentu saja bukan pendapatan dari gaji plus tunjangan jabatan, melainkan uang seseran alias pemasukan ekstra karena jabatannya itu. Selama menjabat nanti bisa atau tidak mengembalikan ”dana investasi” yang telah dikeluarkannya menjelang pilkada.

“Jangankan jabatan gubernur, bupati, atau wali kota, jabatan kepala instansi apa pun di provinsi ini kini jadi rebutan karena ya itu tadi…  Banyak sekali pendapatan ekstra kalau Anda menduduki jabatan di wilayah ini. Jabatan pemimpin organisasi pun jadi rebutan,” ujar rekan tadi.

Konyolnya, tutur nara sumber tadi, seorang pejabat di wilayah ini merasa cukup aman apabila dirinya bertindak agak menyerempet bahaya—selagi tidak sampai tertangkap tangan oleh KPK—karena media massa tidak begitu kritis, masih kalah oleh pengaruh pencitraan yang dilakukan si pejabat tersebut. [Baca selanjutnya: Pangkal Persoalan]Pangkal Persoalan

Inilah pangkal persoalannya kenapa begitu banyak pejabat pemerintah cenderung aman bila melakukan tindakan tidak terpuji. Mereka rupanya rajin memoles citra melalui media massa lokal yang telah menjalin kerja sama.

Caranya, si pejabat memerintahkan bagian hubungan masyarakat untuk ”membeli” kaveling pemberitaan di sejumlah media, baik cetak, elektronik, maupun online, untuk selalu memberitakan aktivitas kebaikan sang pejabat.

Akibatnya masyarakat seolah-olah terbius citra si pejabat tersebut yang tampaknya benar-benar bekerja untuk rakyat karena hampir setiap hari selalu ada berita tentang sepak terjang mengurus daerah yang dipimpin itu.

Kongkalikong? Hanky-panky? Kolusi? ”Bukan, itu bukan kolusi atau yang sebangsanya. Ini kan partnership, kemitraan, atau simbiosis mutualisme. Saat industri media massa sedang susah begini akibat makin merosotnya iklan dan sirkulasi atau jumlah pemirsa/pendengar, pemerintah daerah menyisihkan anggaran kehumasan kepada kami untuk secara rutin meliput kegiatan pejabat. Apa salahnya? Toh, kami tetap independen dan bekerja sesuai prinsip jurnalistik,” kilah seorang pemilik media kepada saya menanggapi fenomena tersebut.

Ah, ternyata ujungnya hampir sama: bagaimana cara melanjutkan hidup. Strategi serupa sebenarnya ditempuh juga oleh media nasional maupun internasional, meskipun dengan cara dan pendekatan yang lebih halus.

Suatu ketika salah seorang pebisnis nasional bercerita kepada saya bahwa dirinya baru saja menerima kunjungan sebuah tim dari salah satu media besar Amerika Serikat. Semula mereka menyatakan ingin mewawancarai dirinya sebagai salah satu pebisnis terkemuka di Indonesia. Ujungnya, anggota tim lainnya menyodori leaflet beriklan di media dengan sirkulasi dan jangkauan siaran global itu.

Mereka memang tidak secara terang-terangan menjelaskan apakah kalau perusahaan sang pebisnis tadi tidak berpartisipasi dalam program tawaran iklan tersebut maka hasil wawancaranya tidak akan dimuat atau dimuat tapi dengan porsi minim.

Setidaknya telah memberikan gambaran di mana pun dan sampai kapan pun media merupakan sarana efektif untuk pencitraan. Sebenarnya hal itu merupakan pemahaman yang salah kaprah karena media pada dasarnya harus berpihak kepada masyarakat.

Pejabat yang hidupnya didukung dana yang berasal dari jerih payah rakyat, kalau dia berkhianat tentu saja harus disikat. Untuk sampai pada kesimpulan akhir itu seharusnya media memiliki sistem deteksi dini terhadap perilaku si pejabat tadi dan mestinya memberikan peringatan sedari awal sebelum berakhir sebagai bencana bagi si pejabat. Jangan karena alasan kerja sama tersebut, media turut berkhianat kepada rakyat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya