SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom edisi Senin (20/6/2016), ditulis Ketua Dewan Redaksi Harian Solopos Ahmad Djauhar.

Solopos.com, SOLO — Saya sering iri menyaksikan betapa asyiknya makan di warung tenda di pinggir jalan, apalagi jika sempat tercium aroma masakan tersebut yang begitu sedap.. Alamaak…

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Belasan tahun silam, menikmati kuliner jalanan sama amannya dengan kuliner di restoran. Kuliner jalanan dengan aneka jenis maupun ragamnya memang memiliki kekhasan tersendiri.

Selain banyak variasinya, harganya relatif terjangkau bagi hampir semua golongan, dari rakyat jelata hingga masyarakat gedongan.

Seiring dengan kian banyaknya temuan, baik oleh aparat pemerintah yang melakukan razia mupun laporan investigasi sejumlah media, mengonsumsi street food alias kuliner jalanan–terlebih di kawasan Jabodetabek–kini harus berpikir beberapa kali lipat. Kecuali di warung yang sudah menjadi langganan.

Betapa tidak. Berdasarkan temuan aparat maupun laporan media tadi, kini makin banyak kecurangan yang dilakukan para pengelola kuliner jalanan tersebut. Misalnya, untuk merebus sekitar lima ekor ayam agar cepat empuk, pengusaha nakal itu memasukkan obat flu hingga 20 tablet sebagai katalis.

Dengan demikian, dia tida perlu merebusnya dalam waktu lama sehingga menghemat elpiji. Ada lagi penjual makanan curang yang menyajikan ayam tiren alias bangkai karena mati kemarin, yang tentu saja tidak halal dikonsumsi.

Kalau soal mengoplos atau bahkan memalsu daging sapi atau bakso dengan daging celeng, itu sudah menjadi berita yang terlalu seting ditayangkan media massa.

Salah satu fenomena unik yang pernah diteliti oleh satu lembaga adalah tingginya prevalensi masyarakat berpenyakit jantung di kawasan tertentu di Jakarta Timur.

Konsumsi daging pada komunitas berpenghasilan menengah ke bawah itu tentunya relatif rendah. Selidik punya selidik, ternyata mereka banyak mengonsumsi gorengan yang dijual oleh cukup banyak pedagang di kawasan itu.

Setelah diselidiki lebih jauh lagi, ternyata si penjual gorengan itu membeli minyak goreng bekas pakai atau jelantah dari berbagai rumah makan cepat saji yang menerapkan ketentuan setelah penggorengan kesekian sisa minyak goreng alias jelantah tadi harus diapkir, meskipun warnanya masih relatif jernih.

Nah, rupanya ada pula penadah jelantah tersebut yang kemudian menjualnya ke penjual gorengan tadi, tentu saja dengan harga yang ekstramurah sehingga produk gorengan mereka pun mengandung kadar kolesterol super tinggi.

Fenomena seperti ini sudah menjadi rantai pasokan yang sesungguhnya membahayakan atau merugikan masyarakat, termasuk dalam hal jaminan kehalalan bahan pangan tadi.

Siapa yang harus mengawasi agar praktik seperti itu tidak berlangsung terus-menerus, yang dapat menggaransi bahwa produk kuliner jalanan ini aman dikonsumsi, baik dari sisi kesehatan maupun kehalalan produk?

Di sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, pemerintah masing-masing merasa perlu untuk melindungi kedua pihak, baik masyarakat konsumen maupun pengusaha kuliner jalanan tadi.

Penyedia kuliner tadi merupakan pelaku ekonomi yang justru harus didorong agar mereka tetap eksis sebagai bagian dari sektor informal penopang perekonomian bangsa. [Baca selanjutnya: Cerita Positif]Cerita Positif

Di sisi konsumen, kalau mereka merasa terjamin, tentu saja akan lebih menghidupkan aspek bisnis kuliner jalanan tersebut yang bahkan mampu memancing minat wisatawan untuk turut menikmatinya sehingga menjadi cerita positif ketika mereka kembali ke negara masing-masing.

Pemerintah Amerika Serikat yang terkenal sebagai kapitalis dunia tidak alerti terhadap kuliner jalanan. Di Kota New York yang semodern itu, kuliner jalanan bertebaran di berbagai sudut kota, tak terkecuali di kawasan orang-orang berdasi, Wallstreet.

Mereka berjualan menggunakan truk atau disebut foodtruck, berbagai ukuran, dan seusai berjualan tak ada bekas kotoran atau sampah yang tertinggal. Semuanya kembali apik dan resik.

Uniknya lagi, dari deretan foodtruck tersebut yang memasang label “halal” justru dipenuhi antrean pembeli. Sedangkan antrean pada foodtruck tanpa label “halal” malah tampak sepi.

Sebuah pemandangan yang sangat mengesankan mengingat fenomen ini terjadi tepat di downtown salah satu metropolitan dunia tersebut.

Dapat dikatakan menjaga harmoni antara penyedia kuliner jalanan dan konsumen merupakan investasi pemerintah untuk menjaga sektor ekonomi informal selalu bergulir dan kian membesar. Semua juga akan ikut menikmati hasil akhirnya.

Di negeri kita, Indonesia, perhatian pemerintah ke arah ini relatif sangat kecil kalau tidak boleh dikatakan tidak ada. Soal pengawasan seperti itu menjadi lempar-lemparan antarinstansi karena dianggap tidak ada uangnya.

Lain halnya dengan pengawasan terhadap industri pangan berskala besar, justru menjadi rebutan untuk mengawasinya. Sebenarnya negeri ini memiliki institusi bernama Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau BPOM.



Lembaga inilah yang seharusnya mengemban tugas mulia tersebut, baik mengawasi industri skala raksasa hingga kuliner jalanan tadi. Tak hanya kuliner jalanan, BPOM sebenarnya juga perlu mengawasi proses produksi makanan hingga restoran bintang lima.

Semua itu merupakan potensi ekonomi yang harus dihidupkan dan bisa menjadi bagian dari wisata kuliner di negeri ini. Untuk melakukan itu semua BPOM mungkin menghadapi banyak kendala karena jangkauannya saat ini relatif terbatas, hanya di tingkat pusat, kurang menjangkau daerah.

Seumpama anggaran uji petik maupun penyuluhan kesehatan kuliner ini menjadi kendala bagi BPOM, mungkin bisa bekerja sama dengan sejumlah pemerintah daerah yang sebenarnya juga memiliki kewajiban melindungi dan mempromosikan kesehatan bagi warganya yang merupakan pembayar pajak itu.

Minimal BPOM bisa membuat kampanye untuk mengingatkan seluruh lapisan masyarakat–baik produsen maupun konsumen kuliner–untuk bersama-sama menjaga pentingnya penyediaan kuliner yang selain bergizi juga harus higienis, sebagai bagian dari upaya menyehatkan bangsa dan strategi preventif agar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak tekor melulu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya