SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Kamis (14/1/2016), ditulis Wartawan Solopos Syifaul Arifin.

Solopos.com, SOLO — Media sosial tak pernah sepi dari kegaduhan. Yang terbaru, pemecatan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (BEM UNJ) Ronny Setiawan. Rektor UNJ Djaali beralasan Ronny melakukan kejahatan teknologi, pencemaran nama baik, dan penghasutan terhadap rektor.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pemecatan itu berbuntut panjang. Muncul gerakan perlawanan dengan tanda pagar #SaveRonny. Petisi online untuk membatalkan pemecatan menuai puluhan ribu pendukung hanya dalam beberapa jam. Akhirnya, Rabu (6/1), digelar rekonsiliasi. Rektor membatalkan pemecatan itu.

Pada zaman sekarang orang tidak boleh bertelinga tipis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tipis telinga berarti sikap sikap lekas marah apabila mendengar pernyataan tak menyenangkan.

Jika Anda memiliki  karakter itu, Anda tak usah membikin akun Facebook, Twitter, Instagram, atau media sosial lain. Di media sosial, bertebaran gurauan, pernyataan, sindiran, kritikan, bahkan kadang penghinaan yang membikin hati mangkel dan telinga panas.

Walaupun demikian, ada banyak jebakan berbahaya. Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) membuat sejumlah orang masuk bui gara-gara komentar dan pendapat yang dianggap fitnah atau mencemarkan nama baik.

UU ini betul-betul berbahaya karena mengkriminalkan orang yang berpendapat. UU ini juga yang dipakai Rektor UNJ Djaali memecat Ronny, walau akhirnya dibatalkan. Yang terbaru adalah  Surat Edaran (SE) Kapolri Jenderal Badrodin Haiti tentang ujaran kebencian atau hate speech yang diteken pada 8 Oktober 2015.

Pada SE itu, khususnya huruf (f), ujaran kebencian meliputi penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, penghasutan, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan yang berdampak pada diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.

Pada huruf (h) diatur media penyampai ujaran kebencian yaitu orasi dalam kampanye, spanduk atau banner, media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media masa cetak atau elektronik, dan pamflet.

Salah satu yang tersandung hukum setelah ada SE itu adalah Yulianus Paonganan atau Ongen yang menulis “Papa Minta Lo***” di akun Twitter. Saya tak membahas soal kasus hukum Ronny atau Ongen.  Saya hanya berefleksi mengenai kesiapan mental orang ketika menjadi warga dunia maya (netizen).

Media sosial adalah tren. Hampir semua orang terutama kaum muda memiliki akun di media sosial. Tidak semua yang aktif di media sosial memiliki kesiapan untuk menghadapi sesuatu yang tak nyaman bagi dirinya. Sesuatu itu bisa jadi gurauan yang kadang melewati batas, sindiran dan kritikan, bahkan bisa berupa penghinaan.

Di media sosial orang gampang melancarkan tudingan dibalut pertanyaan dan sindiran dengan mudah karena dia tidak berhadapan langsung dengan orang yang dituju. Coba Anda praktikkan mengkritik dengan keras pejabat yang Anda anggap berkinerja jelek di depan yang bersangkutan. [Baca selanjutnya: Beban Psikologis]Beban Psikologis

Saya yakin Anda akan berpikir 1.000 kali. Ada beban psikologis jika Anda melakukannya secara langsung.  Beban itu seakan tak ada ketika kita melakukan hal seperti itu di media sosial.  Kita harus berhati-hati saat  berkicau di Twitter atau memasang status di Facebook. Istilahnya, jempolmu harimaumu.

Kita juga harus bertelinga tebal atau tidak ambil pusing menghadapi berbagai ungkapan yang tidak mengenakkan hati. Walau pemilihan umum presiden sudah berlalu, sampai sekarang dampaknya di media sosial masih terasa. Pendukung (lovers) dan pembenci (haters) tetap eksis walau Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto sudah sering bertemu dan saling ketawa-ketiwi.

Status dukungan dan kebencian terhadap kedua tokoh itu sampai sekarang masih sering kita temukan di media sosial. Ada guyonan di media sosial, mereka—para lovers dan haters itu–memang orang keras kepala.

Jika Anda memiliki telinga tipis,  tak usahlah masuk ke dunia sosial. Saya mempunyai teman yang tak memiliki akun Twitter, Facebook, dan sejenisnya. Saya tak tahu alasan dia apakah memiliki telinga tipis, tak diperbolehkan oleh orang yang berpengaruh dalam hidupnya, atau ada alasan lain.

Perbedaan pendapat tidak hanya ada di zaman sekarang. Perbedaan pendapat, kritik, oposisi adalah sunnatullah (hukum alam), sejak dulu sudah ada. Dalam demokrasi hal itu diakui dan legal. Sayang, perbedaan pendapat itu kadang dihukumi.

Filsuf Yunani, Socrates, contohnya. Dia dihukum mati karena dianggap menyebarkan kesesatan, meracuni pikiran kaum muda, tidak memercayai dewa yang disembah masyarakat. Akhirnya Socrates memilih meminum racun.

Dalam sistem politik modern, kritik dan oposisi adalah keniscayaan.  Sungguh naif jika pejabat tak mau dikritik. Sungguh berbahaya jika memandang oposisi selalu bermuatan negatif. Tidak bisa jalan pikiran orang diatur dan dipaksa agar sama. Pemikiran  dan pendapat orang tidak bisa dihakimi. Yang bisa dihakimi adalah perilaku yang melanggar hukum.

Sebenarnya manusia itu lahir dalam keadaan bebas. Filsuf asal Prancis, Jean-Jacques Rousseau, dalam Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik, menyebut ada kebebasan alami (liberte naturelle) dan kebebasan politik (liberte civile).

Kebebasan alami adalah kemerdekaan total manusia dalam keadaan alami yang tidak mengenal hukum lain selain hukum nafsunya. Sedangkan kebebasan politis adalah kekuasaan untuk berbuat apa pun sepanjang tak dilarang hukum.

Mengkritik itu legal sepanjang tak melanggar hukum. Oposisi juga tak dilarang jika tidak bertentangan dengan hukum. Dalam khazanah Islam, ada contoh menarik soal kritik dan oposisi. Kaum Khawarij menentang Khalifah Ali bin Abi Thalib dan mengafirkannya.

Terhadap Khawarij, Ali berkata, ”Kami mempunyai tiga kewajiban kepada kalian; tidak melarang kalian masuk masjid untuk berzikir menyebut nama Allah, kami tidak akan memulai memerangi kalian, dan tidak melarang kalian dari fai [harta rampasan dalam peperangan].”

Ali baru memerangi saat mereka meresahkan umat seperti melakukan kekerasan, walaupun akhirnya Ali dibunuh oleh orang Khawarij. Dari ucapan Ali itu, para fukaha (ahli hukum Islam) menyatakan sepanjang tak menggunakan senjata yang mengancam negara, meresahkan masyarakat, dan menghancurkan persatuan, oposisi tak dilarang (Fahmi Huwaydi, 1996).



Kita perlu menebalkan telinga terhadap pengkritik, apalagi yang menjabat pemimpin negara atau tokoh publik, siap-siaplah untuk dikritik. Walau nyinyir, anggaplah kritik itu sebagai masukan untuk perbaikan.

Sebaliknya, kita juga perlu hati-hati saat  mengunggah pendapat atau opini, gurauan, maupun komentar mengenai sesuatu hal. Jika Anda suka melemparkan kritikan, Anda juga harus siap untuk menerima kritikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya