SOLOPOS.COM - Damar Sri Prakoso (Istimewa)

Kolom Solopos, Senin (26/10/2015), ditulis Damar Sri Prakoso. Penulis adalah wartawan Solopos dan Solopos FM.

Solopos.com, SOLO — Masih ingat slogan Jusuf Kalla (JK) ketika mencalonkan diri menjadi presiden pada2009 lalu? Slogannya adalah “Lebih Cepat Lebih Baik”. Jika dibahasakan lebih gaul lagi—biasanya dalam bahasa Inggris—slogan yang dipopulerkan JK itu sevisi dengan ungkapan as soon as possible (ASAP).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pengistilahan ASAP ini biasa dilakukan native speaker dalam percakapan sehari-hari maupun saat chatting untuk mempercepat komunikasi tanpa harus menuliskan kata-kata yang umum digunakan dengan lengkap.

Singkatan ASAP dapat diartikan secepat mungkin. Demikian pula pemaknaan slogan kampanye JK pada masa itu, lebih cepat tentu lebih baik. Kata kuncinya sama, yakni cepat. Istilah ASAP dan cepat ini memiliki korelasi yang tepat dan sangat relevan jika dikaitkan dengan dampak kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, khususnya di wilayah Sumatra dan Kalimantan.

Sudah dua bulan lebih kebakaran hutan yang melanda Sumatra dan Kalimantan tak kunjung padam. Dampaknya, asap terus menyelimuti sebagian besar wilayah itu dan memaksa warga masyarakat di sana menghirupnya terus-menerus.

Coba bayangkan, mata yang tak sengaja terkena asap saja rasanya pedih, apalagi hidung yang dipaksa menghirup asap secara konsisten. Hasilnya bisa ditebak. Paru-paru akan terkontaminasi asap.

Orang dewasa mungkin betah menahan napas lama-lama dan memiliki daya tahan tubuh yang relatif baik, tapi tidak demikian dengan anak-anak. Mata saya juga terasa pedih—walau bukan karena terkena asap—lantaran meresapi berita tentang kematian tragis seorang bocah asal Pekanbaru akibat paru-parunya penuh asap.

Baik di media cetak, media siaran, maupun online, berita tentang bocah yang ”terbunuh” oleh asap itu membikin sesak dada dan pedih mata. Sebelumnya, bocah berumur 12 tahun dan seorang pegawia negeri di daerah yang sama juga meninggal karena kabut asap.

Di Palembang, bayi berumur 28 hari meregang nyawa karena menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat terus-menerus menghirup asap dari kobatan api hasil pembakaran hutan.

Kementerian Kesehatan mencatat sebanyak 425.377 orang terserang ISPA akibat dampak kebakaran lahan dan hutan di tujuh provinsi sejak Juni lalu. Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek menyebut penderita ISPA mengalami peningkatan sebesar 15%-20% di Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.

ISPA terjadi akibat bakteri di udara dengan indeks standar pencemaran di atas 300 (tempo.co, 17 Oktober 2015). Bisa dibayangkan betapa menderitanya warga yang terpapar asap dari kebakaran hutan dan lahan gambut itu. [Baca juga: Lebih Tidak Baik]

 

Lebih Tidak Baik
Aktivitas sekolah, pekerjaan, roda perekonomian, maupun aktivitas harian lainnya sangat terganggu. Mereka juga dipaksa menikmati udara yang tidak layak hirup dan berisiko bagi kesehatan. Sementara di wilayah lain Indonesia yang relatif aman dari bencana asap, udara layak hirup bisa dinikmati secara gratis.

Sebagai gambaran, udara layak hirup ini jika dijualbelikan harganya lebih mahal daripada harga jual Pertamax. Coba sesekali bertanya ke apotek atau melihat daftar harga oksigen murni yang dijual di situs-situs penjualan alat kesehatan online.

Dari penelusuran saya, harga oksigen murni dalam kemasan kaleng biasa dijual seharga Rp25.000/liter. Harga oksigen dalam kemasan tabung dijual variatif, mulai Rp55.000 hingga Rp1,2 juta, tergantung ukuran tabung.

Coba kita hitung sendiri, dalam kondisi normal berapa banyak oksigen yang dibutuhkan manusia dalam sehari, sebulan, setahun? Bagaimana jika oksigen itu tidak bisa kita dapatkan secara gratis?

Berapa banyak pengeluaran kita hanya untuk membayar oksigen setiap hari untuk diri sendiri, untuk anak-istri, untuk keluarga, dan sebagainya? Begitulah yang terjadi di Kalimantan dan Sumatra. Hak warga untuk mendapatkan oksigen gratis itu nyatanya telah terampas.

Betul-betul terampas oleh kepentingan ekonomi yang bersembunyi di balik pembukaan lahan perkebunan di lahan gambut. Warga dibunuh pelan-pelan melalui asap hasil pembakaran lahan dan hutan.

Akhirnya, mumpung Jusuf Kalla yang dulu populer dengan jargon ”Lebih Cepat Lebih Baik” kini menjadi orang nomor dua di Republik Indonesia, harapan untuk mengatasi asap secara ASAP alias as soon as possible alias secepat mungkin bisa direalisasikan.

Jangan sampai rakyat keburu menjadi lebih cepat mati karena asap. Jangan sampai hutan keburu gundul karena terus ditebang dan dibakar. Jangan sampai kepercayaan rakyat terhadap pemerintah lebih cepat hilang juga. Semua itu lebih tidak baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya