SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Mulyanto Utomo mulyanto@solopos.co.id Wartawan Solopos

Mulyanto Utomo
mulyanto@solopos.co.id
Wartawan Solopos

Mengejar indeks prestasi tinggi, bagi sebagian besar mahasiswa adalah salah satu tujuan dari kuliah. Kalau kemudian ada mahasiswa yang dengan sengaja berkuliah untuk mencari indeks prestasi rendah, yakinlah bahwa mahasiswa itu kurang atau bahkan tidak normal.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Indeks prestasi, atau populer disebut IP saja, memang sekadar ukuran, angka. Akan tetapi dua huruf itu begitu sakti dalam memengaruhi sebagian pikiran mahasiswa untuk dengan segala cara dan daya upaya mencapai angka tertinggi.

Celakanya, jika angka yang disebut IP tinggi itu kemudian berubah menjadi dogma, menjadi kewajiban yang ditekankan berulang-ulang oleh orang tua, misalnya. Atau bahkan para dosen pun mempunyai tuntutan yang tinggi kepada mahasiswanya dengan pemahaman bahwa hanya dengan IP tinggilah seorang mahasiswa dinyatakan berhasil.

Bagi saya, dan juga menurut pengalaman sejumlah kawan yang terbiasa mencari calon karyawan di institusi mereka, IP tinggi sesungguhnya bukanlah segala-galanya. Dalam dunia kerja, IP tinggi bukanlah standar utama atau menjadi pertimbangan utama seorang sarjana itu layak atau tidak untuk diterima menjadi pekerja baru.

Salah besar jika mahasiswa atau bahkan institusi perguruan tinggi menganggap pencapain IP tinggi adalah hal yang paling penting. Sejatinya, kualitas seorang sarjana yang baru menyelesaikan masa perkuliahannya adalah kematangan daya nalarnya, kecerdasan sosialnya dalam menghadapi dan menyikapi dunia kerja, dunia nyata, kondisi yang sesungguhnya dalam kehidupan bermasyarakat.

Empat atau lima tahun untuk menggembleng daya nalar, membangun mahasiswa menjadi sosok yang memiliki kecerdasan sosial atau meminjam istilah Emha Ainun Nadjib menjadi manusia yang memiliki kesadaran “tanggap lingkungan” tinggi adalah waktu yang sangat singkat.

Diperlukan kerja keras, serius dan sungguh-sungguh, khususnya bagi para dosen untuk menumbuhkan mahasiswa memiliki mental tangguh, daya nalar kelas atas, kecerdasan sosial tinggi serta memiliki kemampuan “tanggap lingkungan” yang sangat sensitif.

Dosen harus menjadi motivator utama dalam menumbuhkan semua karakter mahasiswanya sehingga siap terjun ke masyarakat dengan segala hambatan, beragam tantangan, ratusan cobaan bahkan dengan segala kekejaman dan ketidakadilannya.

Karenanya, saya yang lebih dari sepuluh tahun ini juga terlibat dalam pembinaan mahasiswa sebagai dosen tamu di sejumlah universitas, sering prihatin dengan “keengganan” sejumlah dosen memberi “ilmu tentang moralitas” untuk membentuk karakter  mahasiswanya.

Karena itu pula, saya sekali lagi, tertarik dengan tulisan seorang mahasiswa Bahasa dan Sastra IAIN Surakarta bernama Setyaningsih yang menulis opininya di Mimbar Mahasiswa harian ini beberapa waktu lalu dengan judul Dosen, dari Masa ke Masa.

Dia menulis betapa peran dosen sekarang ini cukup menyisakan kesan akademik saja. Dosen sulit menjadi teman. Status dosen terkadang malah membuat berjarak dengan mahasiswa. Dosen terkesan elitis. Kecenderungan ini membuat dosen miskin kisah.

“Urusan dosen sering kali berhenti pada sertifikasi, gaji, tunjangan, dan birokrasi. Ketika masa perkuliahan berakhir, usai sudah imajinasi para mahasiswa pada dosennya. Kata ‘terbaik’ dimunculkan Kemendikbud demi merujuk pada tataran nilai atau IPK. Angka-angka dihadirkan. Namun, mahasiswa tidak butuh mengingat angka. Ingatan hidup oleh kata. Sungguh sial jika dosen kehilangan kata dan kisah. Zaman terpaksa melupakan dosen dari masa ke masa.”

Celaka benar jika seorang pengajar tak meninggalkan kesan. Tak ada kisah dari perjalanan mahasiswa atas dosennya. Mata kuliah, tentu bukan sekadar diajarkan apa adanya. Ilmu yang diajarkan harus dimaknai secara luas. Setiap ilmu pasti berimplikasi pada kehidupan di masyarakat.

Menarik benar saat Setyaningsih, dalam tulisannya tadi mencontohkan Sartono Kartodirdjo, seorang dosen di Jurusan Sejarah UGM yang memiliki “kesan mendalam” bagi para mahasiswanya. Meski kesan itu dimaknai sebagai “kekejaman”, “banyak menuntut” sehingga memberi kesan dibenci mahasiswa, namun sejatinya Sartono mengajarkan tentang konsistensi, kedisiplinan dan kesungguhan sebagai jalan para mahasiswanya mencapai keilmuan dan masa depan.

Makna yang diajarkan Sartono adalah; Kuliah membutuhkan tekad melawan kemalasan. Kesungguhan inilah yang kelak terus dibawa Sartono saat menjadi mahasiswa di Amerika dan Belanda. Sartono adalah tubuh bergerak bersama ilmu, guru-guru, buku, dan perpustakaan.

Bangku kuliah selain sebagai tempat untuk menuntut ilmu yang diajarkan, bersamaan dengan itu sesungguhnya menjadi kawah candradimuka mahasiswa agar siap terjun ke “alam nyata”, kehidupan yang sesungguhnya, tantangan untuk memperoleh pekerjaan, perjuangan yang keras, membina keluarga dengan segala konsekuensinya.

Mata kuliah yang diajarkan para dosen, hanya akan sedikit diterapkan di dunia pekerjaan dan berumah tangga. Ilmu-ilmu yang dipelajari di bangku kuliah sesungguhnya bermakna menumbuhkan penguatan daya nalar. Dengan daya nalar yang tumbuh kuat, maka seorang sarjana akan memiliki sikap “tanggap lingkungan” yang tinggi.

Jika perguruan tinggi hanya menekankan pencapain indeks prestasi tinggi, membanggakan banyaknya mahasiswa yang lulus dengan status cumlaude, maka belum tentu hal itu menghasilkan orang-orang yang memiliki daya nalar kuat sehingga memiliki sikap tanggap lingkungan yang luar biasa.

Ingat, kurangnya sikap tanggap lingkungan anak muda, kata Cak Nun, akan menghasilkan manusia yang berwatak kurang terbuka, gampang apriori, gampang merasa tahu dan sok tahu, gampang menyepelekan pihak lain dan sejumlah sikap yang cenderung tidak produktif.

Teknologi informasi yang semakin maju, membuat anak muda dimanjakan dengan kemudahan-kemudahan. Fasilitas kemudahan aplikasi design grafis, fasilitas copy paste dan gampangnya mamanfaatkan segala software lainnya jika tidak dilandasi dengan daya nalar dan sikap tanggap lingkungan yang memadai maka kemudahan itu bisa menjadi bencana.

Jika ini berlangsung terus menerus, maka seperti yang diungkapkan banyak ahli bahwa pendidikan kita sesungguhnya masih terpisah dari kehidupan atau lebih konkretnya dunia pendidikan kita tercerabut dari akar masyarakatnya. Kalau ini benar, maka menjadi jelas bagi kita mengapa kadar “tanggap lingkungan” kaum muda hingga dewasa ini belum memadai. Karena itu, jangan sekadar mengejar indeks prestasi tinggi…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya