SOLOPOS.COM - Suwarmin (JIBI/Solopos/Ardiansyah Indra Kumala)

Kolom kali ini ditulis wartawan Solopos, Suwarmin.

Solopos.com, SOLO — Belakangan ini kita semakin terbiasa dengan kata ini: dualisme. Dualisme bisa diartikan adanya dua kekuatan dalam satu badan atau lembaga. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dualisme diartikan sebagai keadaan bermuka dua, yaitu satu sama lain saling bertentangan atau tidak sejalan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dualisme ada di partai politik. Saat ini kita masih sering membaca, mendengar, atau melihat berita kepengurusan kembar di Partai Golongan Karya (Golkar) kar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Kepengurusan baru muncul bisa jadi karena adanya faksi politik yang sulit disatukan atau kekecewaan karena kalah dalam perebutan kekuasaan di partai politik. Dalam dunia politik kita, ini bukan hal baru.

Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) lahir dan dibesarkan oleh orang-orang yang dulu merupakan bagian dari Partai Golkar. Kita masih menunggu apakah Hatta Rajasa akan membentuk kekuatan baru di luar Partai Amanat Nasional yang dipimpin Zulkifli Hasan atau tetap menyokong partai tersebut.

Dualisme juga ada di sepakbola. Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) mencoret Arema Cronus Malang dan Persebaya Surabaya dari keikutsertaan dalam kompetisi Indonesia Super League(ISL) 2015 karena dianggap masih ada dualisme dalam kepengurusan organisasi dua kesebelasan itu.

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan PT Liga Indonesia mengotot melibatkan dua tim itu dalam kompetisi yang kini dinamai QNB League itu. Kita masih akan lama menikmati dualisme kekuatan di ranah sepak bola kita, antara PSSI dengan rombongannya di satu sisi dan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) dan kelompoknya di sisi lain.

Situasi ini merupakan warisan dualisme kekuatan PSSI yang pernah muncul beberapa waktu yang lalu. Dualisme selalu tidak mengenakkan, terlebih jika hal itu ada di puncak tertinggi kehidupan negara kita.

Sejumlah kalangan, baik pengamat atau warga negara, menganggap Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan penentu akhir dari segala keputusan penting atas pengelolaan pemerintahan dan negara. Masih ada sejumlah kekuatan lain yang menentukan.

Megawati Soekarnoputri yang merupakan mentor politiknya di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sekaligus yang memberikan karpet merah dan boarding passs bagi langkah Jokowi menjadi presiden disebut sebagai salah satu penentu.

Megawati berulang kali menyebut Jokowi sebagai petugas partai. Ada pula Surya Paloh yang dianggap berada di belakang layar sejumlah keputusan penting yang dibuat Jokowi. Situasi itu dianggap wajar karena Surya dengan Partai Nasdem merupakan pihak pertama dari luar PDIP yang menyatakan diri mendukung pencalonan Jokowi.

Dominasi kekuatan Megawati dan Surya setidaknya bisa dibaca dari banyaknya orang dekat mereka yang duduk dalam Kabinet Kerja yang dipimpin Jokowi. Sampai sekarang banyak orang masih sangsi, siapa sebenarnya atasan menteri dari PDIP dan Partai Nasdem itu, Jokowi atau Megawati dan Surya.

Logika Politik
Sebenarnya dalam kerangka penciptaan Indonesia yang adil dan sejahtera, para pendukung dan penyokong presiden lebih elok melepaskan kepentingan setelah si calon presiden menduduki kursi kepresidenan. Kita akan melihat mereka yang terbaik yang menduduki jabatan utama, tanpa tarik menarik kepentingan dari pihak lain.

Semata-mata kita percaya bahwa presiden yang dipilih Tuhan melalui suara rakyat yang terbanyak akan menjalankan pemerintahan yang adil, bersih, dan berwibawa.

Logika politik tidak seperti itu. Logika politik bukan negeri ambeg paramarta, melainkan the winner takes all, mereka yang menang yang menguasai segalanya. Masalahnya, siapakah sejatinya yang memenangi pemilihan presiden tahun lalu? Jokowi atau orang-orang kuat di belakang Jokowi?

Dualisme juga muncul di luar unsur partai politik dan negara. Adalah Rumah Sakit Islam Surakarta (RSIS) yang telah puluhan tahun berdiri dan beroperasi, tiba-tiba kini terancam ditutup karena adanya dualisme yayasan pengelola rumah sakit.

Dua kubu yayasan, Yayasan RSIS dan Yayasan Wakaf RSIS, sama-sama mengotot berhak sebagai pengelola sah rumah sakit. Masa depan ratusan karyawan menjadi tanda tanya.

Sedikit banyak warga masyarakat juga menjadi korban dari situasi ini. Situasi di RSIS ini sebenarnya sudah lama berlangsung, namun kembali ”meledak” akhir-akhir  ini. Entahlah, bagaimana ujung dari persoalan ini.

Satu lagi cerita dualisme yang mungkin membuat masyarakat sangat bosan, yaitu dualisme penguasa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kubu Dewan Adat di satu pihak dan Paku Buwono XIII di pihak lain.

Situasi percekcokan di antara trah keraton itu datang dan pergi, pasang surut, dan tak pernah selesai. Mungkin sampai berganti generasi pun, persoalan di antara mereka tidak akan selesai.

Yang terbaru, terkait penyawaan lahan Alun-alun Utara Keraton Solo oleh Pemerintah Kota Solo untuk lokasi pembangunan pasar darurat bagi pedagang Pasar Klewer mendorong Dewan Adat melengserkan Paku Buwono XIII dari dhampar keprabon.

Mereka mengangkat K.G.P.H. Puger sebagai Pelaksana Tugas Paku Buwono XIII. Kita tidak tahu sakan sampai di mana ujung persoalan ini. Mengapa terjadi banyak sekali dualisme di negeri ini?

Bukankah orang sering mengabarkan bahwa kita adalah orang Timur yang santun dan religius, yang dengan kerendahan hati, keterbukaan, dan kesalehan akan membuat segala persoalan yang rumit dan pelik menjadi mudah?

Bukankah dengan berembuk, berdialog, bersilaturahmi, dan sebanyak mungkin berguru kepada para bijak segala persoalan perlahan-lahan akan terurai? Ah, mungkin pertanyaan itu terlalu naïf.



Bukankah di mana ada gula di situ ada semut? Di mana ada manisnya kekuasaan, di situ ada perebutan pengaruh. Di mana ada legitnya rupiah, di situ banyak tangan akan saling berebut.

Masing-masing membawa bendera kebenaran yang dirakit dan dianyam sendiri, mereka maju berebut pengaruh, jika perlu sampai berdarah-darah.  Mungkin meski tinggal harga diri yang menjadi taruhan.

Meski harus rebut balung tanpa isi, tak menjadi masalah, sepanjang harga diri masih bisa dikibarkan. Kita hanya bisa menonton dengan tidak peduli.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya