SOLOPOS.COM - Suwarmin (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (2/11/2015), ditulis jurnalis Solopos Suwarmin.

Solopos.com, SOLO — Bagi sebagian pegawai negeri sipil (PN), musim pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung seperti sekarang ini mungkin menjadi saat-saat yang dilematis. Mereka merasa ditarik-tarik ke sana kemari.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Diam dicurigai, ikut nimbrung diawasi. Tidak memilih dianggap tidak peduli. Beda pilihan dianggap tidak mau rukun. Ikut ubyang-ubyung geliat politik dituduh tidak netral. Masih banyak anggapan serta penilaian lainnya.

Apa hendak dikata. Undang Undang (UU) tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu UU No. 5/2014 memang mewajibkan PNS atau ASN bersikap netral. Berdasarkan UU ini, PNS harus setia kepada nilai-nilai fundamental; memegang teguh ideologi Pancasila; setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia; mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia.

ASN juga wajib menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak; membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian; menciptakan lingkungan kerja yang nondiskriminatif; memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur; mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya kepada publik.

ASN harus memiliki kemampuan dalam melaksanakan kebijakan dan program pemerintah; memberikan layanan kepada publik secara jujur; tanggap, cepat, tepat, akurat, berdaya guna, berhasil guna, dan santun; mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi.

Selain itu, ASN harus menghargai komunikasi, konsultasi, dan kerja sama; mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong kinerja pegawai; mendorong kesetaraan dalam pekerjaan; dan meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan yang demokratis sebagai perangkat sistem karier.

UU sering kali hanya indah di kertas. PNS sering kali tidak bisa berkutik. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9/2014 disebutkan bahwa kepala daerah memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan PNS sekaligus sebagai pembina bagi PNS di daerahnya.

PP ini membuat seorang bupati bisa bertriwikrama menjadi dewa di daerah yang dipimpinnya. PNS yang tidak mendukungnya atau malah mendukung lawan politiknya harus terima nasib “dibina” dengan dipindah ke daerah terluar alias terjauh, terjauh dari tempat tinggalnya.

PP ini seolah memberi kuasa kepada kepala daerah untuk menjadikan merah atau putih semua PNS di daerahnya. Kepala daerah yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan PNS yang dianggap tidak loyal kepada dirinya menjadi dilema buat PNS untuk menegakkan netralitas sebagai abdi negara sekaligus abdi masyarakat.

Seorang PNS dengan level kapala dinas pernah berbisik-bisik bahwa bagi dia dan kawan-kawannya tak ada cara lain yang lebih baik untuk bertahan hidup di tengah hawa politik yang panas selain berlindung kepada kekuatan yang dianggap lebih kuat.

Dengan cara begitu, mereka masih bisa berharap tetap bertahan di kursi mereka atau jabatan mereka saat si kuat kembali berkuasa. ”Lha gimana, nanti kalau si incumbent kalah, kita ini benar atau salah bisa saja digeser, karena calon penantang pasti mengusung gerbong yang diisi para pembantunya dari kalangan PNS juga,” kata dia.

Ketika ternyata si kuat tidak sekuat yang mereka duga sehingga pada tikungan terakhir si penantang justru mampu mengambil keuntungan sehingga menjadi pemenang, si birokrat ulung yang sarat pengalaman akan dengan lihai mengikuti arah angin.

Langkah ini, misalnya, pernah terjadi pada saat Ganjar Pronowo secara mengejutkan memenangi Pemilihan Gubernur Jawa Tengah 2013. Di level bawah ada rasan-rasan kurang sedap jika seorang PNS enggan ikut-ikutan mendukung calon petahana yang biasanya memang merupakan calon kuat untuk kembali berkuasa.

”Wong kok neka-neka, nggak mau rukun. Senengane golek benere dhewe, golek penyakit. Artinya seorang PNS yang kebetulan berbeda pilihan politik dengan mayoritas rekan-rekannya tidak jarang menghadapi grenengan teman-temannya, dianggap cari gara-gara, cari penyakit, tidak mau rukun, dan sebagainya. [Baca: Bersama yang Diwajibkan]

 

Bersama yang Diwajibkan
Situasi seperti ini mungkin bisa terjadi di dalam lingkup kelompok-kelompok kecil PNS. Mobilisasi PNS yang masif membuat mereka merasa nyaman dengan pilihan aman, yakni bersama yang memang diwajibkan.

Jika PNS tersekat-sekat dalam blok-blok politik yang terpisah dan terfragmentasi justru akan membuat mereka tidak nyaman dalam pergaulan. Bagi PNS yang suka cari muka, pilkada seperti arena yang lapang buat mereka.

Mereka bisa melakukan apa saja, mengusulkan pertemuan konsolidasi, piknik bersama, arisan dukungan, dan lain-lain. Bagi PNS yang enggan beradu argumentasi dan tidak mau dianggap cari penyakit, mereka bermain cantik dengan idiom Jawa empan papan alias bijaksana bersikap sesuai tempatnya.

Dalam workshop yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Boyolali, Selasa (27/10) lalu, seorang PNS mengusulkan sebaiknya PNS tidak mempunyai hak pilih sebagaimana tentara dan polisi. ”Dengan tidak mempunyai hak pilih, PNS bisa bekerja dengan tenang, tidak perlu ditarik-tarik ke sana kemari,” kata PNS itu.

Benarkah jika PNS tidak mempunyai hak pilih, lantas mereka tidak akan ditarik-tarik untuk dijadikan kendaraan politik? Semuanya masih tergantung pada jiwa besar calon kepala daerah. Jika memang dikehendaki, mudah bagi para petahana untuk memainkan fitur-fitur politik di kalangan PNS.

Mungkin seorang calon kepala daerah awalnya tak berniat bermain tidak sportif. Di tengah persaingan pilkada yang semakin seru dan sengit, godaan untuk bermain kotor sering kali tak tertahankan. Menggunakan PNS sebagai fitur politik selalu menggelitik.

Posisi PNS yang terkooptasi dalam wewenang kepala daerah membuat langkah ini kian mudah. Sebaiknya ada regulasi yang menjaga netralitas dan profesionalitas PNS. PNS seharusnya berkonsentrasi pada peran sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.

Di tengah peningkatan kesejahteraan PNS, semakin banyak pula anak muda yang cerdas dan berkualitas yang masuk ke birokrasi. Sayang jika kemampuan dan potensi mereka layu oleh pusaran kepentingan politik yang tidak ada habisnya.



Eman-eman jika potensi birokrat unggulan semacam ini tidak terwadahi oleh merit system kepegawaian yang andal dan terukur karena dirusak oleh kepentingan politik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya