SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar (Istimewa)

Kolom kali ini, Senin (1/2/2016), ditulis Ketua Dewan Redaksi Harian Solopos Ahmad Djauhar.

Solopos.com, SOLO — Hidup di era media sosial seperti sekarang ini tampaknya memang serbamudah. Mau mencari informasi apa pun mudah. Ingin berbelanja tanpa keluar rumah mudah.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Berminat untuk makan apa pun juga mudah, tinggal pesan secara daring (online). Mau bepergian, semudah membalik telapak tangan.

Berkat dikembangkannya protokol Internet 2.0, yang menandai era interaktivitas antarmanusia di seluruh permukaan planet ini, berbagai kemudahan ujug-ujug hadir tepat di depan hidung kita.

Ekspedisi Mudik 2024

Komunikasi yang dulunya menjadi pelengkap hidup umat manusia, kini berubah total menjadi infrastruktur yang memungkinkan terjadinya berbagai kemudahan tersebut.

Oops, ternyata berbagai kemudahan tersebut juga terimbangi dengan keadaan yang serbasusah. Salah ngomong sedikit, susah. Koneksi komunikasi seluler ataupun Internet lemot, sungguh menyusahkan.

Di berbagai instansi, kini, baik di lingkup pemerintah maupun swasta, makin banyak yang merasa susah menelurkan kebijakan. Kebijakan apa pun sering membuahkan pujian sekaligus cacian.

Demikian pula kehidupan pejabat publik, tidak sedikit susahnya. Toh begitu, tetap saja banyak yang berminat menjadi pejabat publik. Bagi mereka yang sungguh-sungguh menghayati sebagai pejabat publik, tentu siap untuk bersusah payah.

Faktanya lebih banyak lagi pejabat publik yang justru memanfaatkan berbagai kemudahan yang dibayar menggunakan pajak dari rakyat itu.

Tidak mengherankan jika kita kini menghadapi begitu banyak pejabat publik yang bersikap apatis, tidak peduli terhadap kebutuhan komunitas yang dipimpinnya, atau bahkan menjaga jarak dengan rakyat yang dulu memilihnya sebagai kepala daerah—bupati/wali kota/gubernur, anggota DPR/DPRD, dan sebagainya.

Mudah untuk mendeteksi pemimpin model begitu. Jumlahnya tidak sedikit. Lihat saja kondisi suatu daerah atau kota yang semrawut, tapi bupati atau wali kotanya tampil mewah.

Saat bepergian, dikawal puluhan kendaraan. Voorijder di depan dan belakang konvoi untuk mengusir kendaraan warga yang menghalanginya. Nyaris tidak berbeda dengan raja. Seumpama para pejabat publik itu mau bersusah payah sedikit saja niscaya negara ini sudah jauh lebih maju dari yang sekarang.

Betapa tidak. Sebagai contoh, seperti banyak diberitakan media, ada beberapa daerah di Indonesia yang kendati tidak kaya-kaya amat, kepala daerahnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Ada pula kepala daerah yang mampu menjadikan kotanya lebih manusiawi untuk dihuni. Beberapa bupati terbukti mampu membebaskan warganya untuk berobat secara gratis untuk segala penyakit yang mereka derita.

Bukan seperti era Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sekarang yang cenderung membingungkan itu. Ditambah menggratiskan penduduk usia sekolah untuk menikmati bangku pendidikan hingga SMA atau bahkan perguruan tinggi.

Itu semua bisa terjadi karena sang kepala daerah tadi bersikap amanah. Dia memiliki kapabilitas sebagai seorang entrepreneur. Dalam pandangan sang kepala daerah tadi, kalau rakyat di daerahnya sehat dan pintar, infrastruktur lengkap, hal itu merupakan investasi jangka panjang.

Pemimpin daerah berjiwa entrepreneur bisa dipastikan adalah seorang visioner, bukan tipe pemimpin yang hanya memikirkan diri dan kelompoknya mendapat apa. Hampir menjadi fenomena umum bahwa para pemimpin sekarang terkesan enggan membuat program yang hasilnya bisa berdampak dalam jangka panjang.

Begitu programnya kelar, dia mungkin sudah tidak menjabat lagi, melainkan hanya sebagai penonton. Paling banter menjadi tamu undangan yang duduk di kursi very important person (VIP). [Baca selanjutnya: Misi Suci]Misi Suci

Yang dibutuhkan negara ini, pada masa sekarang ini, adalah pemimpin yang mampu menghasilkan terobosan. Dia harus berani menelurkan gagasan besar dan mungkin berjangka panjang. Dia rela untuk tidak menjadi pejabat paling penting yang meresmikan proyek gagasannya.

Seorang entrepreneur sejati terkadang hanya menjadi peletak dasar dan pembangun sistem atas entitas usaha yang dibangunnya. Belum tentu dia sendiri ikut menikmatinya.

Menciptakan entitas usaha yang bagus dan maju sehingga dapat ”menghidupi” beberapa atau banyak orang berarti turut menjaga keberlangsungan hidup sejumlah keluarga. Visi dan misi entrepreneur sesungguhnya adalah suci.

Demikian pula bagi pejabat publik yang mampu menerapkan semangat entrepreneurship dalam karier sosialnya. Pastilah dia mampu mengelola anggaran negara atau daerah secara optimal sebagai leverage yang menggerakkan perekonomian sehingga menimbulkan efek menetes yang lebih besar bagi rakyat.

Bukankah rakyat yang harus menjadi subjek untuk ditingkatkan taraf hidup mereka? Untuk dimuliakan. Buat apa menjadi pejabat publik kalo cuma memikirkan kepentingan dirinya sendiri? Untuk apa menjadi pejabat publik jika daun telinganya terlalu tipis? Dikritik sedikit marah. Ngambek.

Bagi kepala daerah yang hanya berorientasi mengejar prestise dan kekayaan semata, keinginan untuk memajukan rakyat tentu tidak ada dalam benak mereka. Dua tahun pertama dalam masa tugas pemimpin model begitu itu adalah bagaimana mengembalikan modal yang sudah dikeluarkannya semasa musim kampanye.



Jelas, model pemimpin seperti ini bukanlah entrepreneur, melainkan pedagang kelontong. Pada saat berbagai harga komoditas sedang klenger seperti sekarang, ini kesempatan bagi siapa pun yang mengemban amanah sebagai pejabat publik, terutama kepala daerah maupun kepala negara.

Beranilah mengambil keputusan yang bermanfaat bagi rakyat. Tidak perlu takut dicibir. Wong di era Internet 2.0 ini berbuat juga dihujat. Tidak berbuat juga lebih dihujat. Ambillah kesempatan untuk memanfaatkan anggaran yang menjadi tanggung jawab Anda guna membangun atau mendanai segala sesuatu.

Terlebih untuk hal yang berpotensi menggerakkan perekonomian bangsa. Selagi Anda tulus melakukannya, dan jujur, tentu rakyat di belakang Anda.

Peran APBN memang ”Cuma” 25% dari total kapasitas pembangunan nasional. Pada saat sulit seperti sekarang ini, dana pemerintah sangat bermanfaat. Terutama sebagai faktor penggerak.

Dengan bergeraknya roda perekonomian nasional, seluruh gerbong akan dengan sendirinya turut bergerak. Banyak ocehan atau kicauan di media sosial bahwa pemerintah terlalu percaya diri membangun berbagai proyek infrastruktur.

Ada yang bilang proyek tol ini dan kereta api itu tidak bagus, hanya menghamburhamburkan dana negara. Biarkan saja semua hujatan itu. Pembangunan berbagai proyek infrastruktur jelas akan memicu sejumlah industry: semen, baja, alat berat, dan sebagainya, untuk memacu kembali mesin produksi mereka.

Peluang bagi tenaga kerja pun lebih terbuka. Artinya, semakin banyak keluarga yang kembali beroleh penghasilan. Mereka lalu dapat kembali berbelanja kebutuhan pokok sehari-hari. Juga kebutuhan sekunder, tersier, kuarter, dan seterusnya.

Inilah proses berinvestasi oleh pejabat publik. Inilah menjalankan ekonomi. Inilah penerapan prinsip entrepreneurship dalam mengelola negara. Saya masih ingat pesan tegas Wakil Presiden Jusuf Kalla pada periode pemerintahan lalu, “Kita ini berbuat dianggap salah, tidak berbuat juga dinilai salah. Jadi, ya.. lebih baik berbuat.”

Akan tetapi, on top of that, paling penting dari semua itu, adalah menjaga kejujuran. Jangan sampai anggaran tersebut tidak diambil untuk memperkaya diri. Itu korupsi. Kalau hal itu yang terjadi maka tiada maaf bagimu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya