SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (14/12/2015), ditulis jurnalis Solopos Ichwan Prasetyo.

Solopos.com, SOLO — Frasa “banalitas kejahatan” yang jadi judul tulisan ini saya ambil dari judul buku karya Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem, Reportase  tentang Banalitas Kejahatan, terbitan Pustaka Pelajar, Jogja, cetakan I, 2012.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Buku ini menceritakan Otto Adolf Eichmann yang menjalani sidang atas kejahaan kemanusiaan yang dia lakukan ketika menjadi pejabat tinggi militer Jerman saat Partai Nazi berkuasa. Dia divonis hukuman mati dan tak mau mengakui bersalah.

Arendt menggambarkan Eichmann yang berjalan menuju tiang gantungan dengan penuh martabat. Sekitar 50 meter dari ruang selnya ke ruang eksekusi, Eichmann berjalan tenang dengan tubuh tegak. Tangannya terikat ke belakang.

Menurut Arendt dalam seluruh proses peradilan hingga menuju tiang gantungan, Eichmann berada dalam komando sepenuhnya atas dirinya sendiri. Dia menjadi dirinya sendiri. Eichmann menyartakan dirinya adalah Gottglaubiger, pengungkapan ala Nazi bahwa dia tidak percaya pada kehidupan setelah mati.

Eichmann ditangkap di pinggiran Kota Buenos Aires, Argentina, pada 11 Mei 1960 malam, diterbangkan ke Israel sembilan hari kemudian, diadili di Pengadilan Distrik di Jerusalem pada 11 April 1961. Eichmann didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, membunuh orang-orang Yahudi, dan kejaharan perang selama rezim Nasi pada periode Perang Dunia II.

Persidangan Eichmann menarik perhatian karena dia tak mau mengakui kesalahannya. Eichmann menyatakan tidak merasa bersalah atas semua dakwaan itu. Ia hanya merasa bersalah di hadapan Tuhan, bukan di hadapan hukum.

Eichmann tak mau mengakui kesalahan karena dia yakin berada di bawah sistem hukum era Nazi. Dia merasa tak melakukan sesuatu yang keliru. Eichmann meyakini apa yang dituduhkan terhadap dirinya bukan kejahatan, tetapi “tindakan negara” ketika tidak ada negara lain yang memiliki yurisdiksi atasnya.

Enam psikiater memastikan Eichmaan “normal”. Dalam pengantar buku, Arendt menjelaskan keseluruhan pandangan psikologis, sikap Eichmann terhadap istrinya, anak-anaknya, ayahnya, ibunya, saudara-saudaranya, teman-temannya “tidak hanya normal tapi juga figur paling diinginkan.

Reportase Arendt tentang pengadilan Eichmaan adalah karya jurnalisme luar biasa, sangat menarik, sekaligus terkategori “berat”. Karya jurnalisme tapi penuh analisis dan renungan filosofis. Arendt menulis reportasenya untuk The New Yorker pada 1963.

Buku karya Arendt ini, dalam pembacaan dan pemaknaan saya, sangat berhasil menampilkan dalam sosok Eichmann tercermin sejarah kelam kejahatan, politik, Nazisme, dan kekejaman tiada tara. Itu semua tergambarkan dari sosok yang “biasa” saja.

Sebagai sebuah hasil reportase, karya jurnalisme, buku ini memang tak jamak. Buku ini sukar dibaca dan dimaknai sebagaimana karya-karya jurnalisme lainnya yang jamaknya mudah dimengerti, berkalimat sederhana dengan kata-kata yang sederhana. Buku Arendt ini lebih layak disebut buku filsafat berbasis reportase atau (mungkin) malah hasil reportase yang ditulis dengan metode penulisan filsafat.

Kata “banalitas” mewujud dalam bahasa Indonesia menjadi bentuk baku “ “banal”. “Banal” bermakna kasar (tidak elok); biasa sama sekali. Ketika membaca tuntas buku Arendt itu saya memang mendapatkan makna bagi Eichmann kejahatan kemanusiaan tiada tara yang dia lakukan—saat menjadi bagian dari militer Nazi—adalah tindakan yang dia yakini sebagai biasa saja.

Tak ada rasa menyesal sedikit pun, tak ada rasa bersalah sedikit pun. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang dia lakukan dia yakini sebagai tindakan negara, bukan tindakan diri pribadinya sendiri. Dia yakin hanya menjalankan tugas negara yang dilindungi oleh undang-undang dan tak ada negara lain yang bisa memasuki yurisdiksi undang-undang itu.

Banalitas kejahatan adalah frasa singkat untuk menyebut laku-laku penyimpangan, laku-laku pelanggaran, laku-laku mengkhianati kesepakatan moral dan etika bersama yang menjadi jamak, dianggap biasa-biasa saja, minimal oleh pelakunya sendiri. Banalitas kejahatan menjadi benar-benar banal ketika “biasa-biasa saja” itu juga menjadi pemaknaan publik, bukan hanya pelakunya.

Kata “jahat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 2008 berarti sangat jelek, buruk; sangat tidak baik (tetang kelakuan, tabiat, perbuatan). “Kejahatan” bermakna perbuatan yang jahat; sifat yang jahat; dosa; perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis.

Setelah memahami makna “banal”, “jahat”, “kejahatan”, saya berkesimpulan apa yang diceriakan Arendt dalam reportasenya atas pengadilan Eichmann itu dalam skala dan konteks berbeda juga terjadi di sekitar kita. Banalitas kejahatan—dalam pemaknaan perbuatan jahat yang beraneka rupa—menggejala secara massif di sekitar kitra.

Setiap manusia punya kewajiban menjaga moral, etik, dan hukum demi kemaslahatan bersama. Orang Jawa punya pedoman karyenak tyasing sasami, hidup harus membuat sesama manusia merasa nyaman. Caranya ya dengan bersama-sama menjaga moral, etik, dan hukum.

Dalam konteks kehidupan sosial yang berangkat dari imagined communities atau komunitas terbayang ala Ben Anderson (duka saya untuk Ben yang meninggal pada Minggu (13/12) dini hari di Batu, Jawa Timur) dan kemudian diperkuat dengan sistem sosial yang disepakati bersama dan sistem hukum yang berlaku untuk semua, penjagaan moral, etik, dan hukum mutlak untuk menjaga keharmonisan dan mewujudkan karyenak tyasing sasami.

Realitas sekarang menunjukkan perilaku jahat yang banal itu merebak di sekitar kita. Untunglah kemudian di antara banalitas kejahatan itu muncul reaksi untuk “menyanggah” kejahatan yang jadi banal itu. Okupasi trotoar oleh pengendara sepeda motor atau pedagang kaki lima adalah banalitas kejahatan. [Baca selanjutnya: Reaksi]

Reaksi

Di Jakarta kemudian muncul komunitas warga yang mengampanyekan pentingnya membersihkan trotoar dari selain pejalan kaki. Komunitas ini acap kali melakukan aksi-aksi yang “nekat”, seperti berbaring di trotoar demi mencegah pengendara sepeda motor melintas di trotoar. Saat berbaring anggota komunita sini sembari membentangkan poster berisi kampanye tentang penyelamatan kawasan pedestrian.

Skandal ”papa minta saham” adalah wujud banalitas kejahatan lainnya. Seorang elite DPR di beberapa portal berita online malah menyebut mencatut nama presiden itu hal bisa. Ini adalah penegasan bahwa catut-mencatut nama orang berkuasa demi meraih keuntungan pribadi—yang jelas melanggar norma moral, etik, dan hukum—adalah hal biasa, kejahatan yang biasa.

Lakon ”papa minta saham” jelas satu praktik pengkhianatan terhadap nilai-nilai moral, etik, sekaligus hukum. Tampaknya, sampai hari ini, aktor lakon ini memosisikan diri selayaknya Eichmann. Merasa sama sekali tak bersalah. Yakin apa yang dilakukan adalah demi kepentingan bangsa dan negara (pasti aktor ini menilai seluruh rakyat negeri ini bodoh).



Kolega-kolega aktor itu dengan berbagai macam cara berusaha menanamkan argumentasi dan membangun “kepercayaan” publik bahwa lakon ”papa minta saham” itu manipulatif, menyerang kehormatan petinggi negara, dan tak perlu dipermasalahkan.

Tampak sekali banalitas kejahatan dalam lakon ini dan kembangan-kembangan-nya. Untunglah ada reaksi untuk membantah kampanye balaitas kejahatan itu. Berbagai elemen masyarakat, termasuk para cendekiawan dan rohaniwan berbagai agama, sampai hari ini terus berkampanye menuntut pengusutan hingga tuntas skandal “papa minta saham” itu dan menuntut aktornya segera mundur dari kursi jabatan politik yang dia duduki.

Dalam ranah filsafat, buku ihwal banalitas kejahatan karya Arendt merupakan pengungkapan sebuah kejahatan yang dilakukan secara suka cita, terencana, rapi, dan seterusnya. Mungkin muncul pertanyaan atas fenomena ini, mengapa disebut banalitas? Kejahatan semestinya ya kejahatan.

Setelah membaca buku Arendt tersebut–dan memaknai banalitas kejahatan dalam berbagai wujud dan konteks di sekitar kita—banalitas kejahatan sebagaimana ditunjukkan Eichmann merupakan buah ketumpulan akal budi.

Akal budi Eichmann tumpul di hadapan kediktatoran rezim Nazi kala itu. Argumen pembelaan Eichmann di persidangan–Eichmann mengutip pernyataan imperatif kategoris-nya Kant– memiliki kekeliruan penafsiran yang berakibat fatal.

Immanuel Kant  adalah seorang filsuf Jerman. Salah satu pemikirannya yang terkenal adalah imperatif kategoris. Menurut Kant, moralitas dibangun di atas dasar kebebasan. Kebebasan ini tidak berada dalam ruang kosong.

Kebebasan justru berada dalam subjek. Dalam diri manusia, akal budi berkemampuan memilih sendiri hukum-hukumnya dan menaatinya. Bertindak menurut hukum-hukum itulah yang disebut sebagai kehendak. Budi praktis yang berkaitan dengan moralitas adalah kemampuan untuk menghendaki. Apa yang baik tanpa persyaratan apa pun adalah kehendak baik.

Persoalannya, pemaknaan imperatif kategoris ini, dalam lakon Eichmann, dilandasi ketidakmampuan (atau tepatnya ketidakmauan) berpikir secara rasional atau memahami tindakannya dan konsekuensi yang muncul dari tindakan tersebut (thoughtlessness).

Arendt bertanya bagaimana Eichmann yang mempunyai kehidupan sehari-hari yang normal, punya keluarga hangat, dapat melakukan kejahatan sedemikian besar? Dalam pemaknaan saya, Arendt menjelaskan”banalitas” bukan berkaitan dengan tindakan dan prinsip yang mendasari tindakan tersebut, melainkan dengan kualitas tertentu dari pikiran dan karakter seseorang.

Banalitas kejahatan terjadi karena manusia dengan akal budinya tidak berkuasa di hadapan sistem yang mengatur. Manusia di hadapan sistem demikian menjadi robot tanpa nalar kritis sama sekali. Manusia seperti bidak catur yang dikendalikan kuasa yang memainkannya.

Aktor “papa minta saham” dan banalitas kejahatan lainnya bisa jadi berada dalam sistem ala Arendt itu. Melawan sistem itu, menurut saya,  mudah, yaitu memberdayakan akal budi untuk menggunakan imperatif kategoris demi menjaga keharmonisan hidup berdasar moral, etik, dan hukum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya