SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo (Istimewa)

Kolom kali ini, ditulis wartawan Solopos, Mulyanto Utomo.

Solopos.com, SOLO — Harga premium naik lagi. Denmas Suloyo langsung mencak-mencak. Dia merasa kecolongan. ”Yang namanya harga bensin naik itu, selama ini kan ada pengumuman resmi dari pemerintah. Yang mengumumkan bahkan langsung presiden. Hla, kok ini mak bedunduk naik, saya tidak tahu…” kata Denmas Suloyo sewot saat bertemu Mas Wartonegoro di warung hik News Cafe, Minggu kemarin.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hla ya salah sampean sendiri tidak tahu. Lagi pula kalau sampean tidak tahu ada pengumuman kenaikan harga bensin, pengaruhnya apa?” tanya Mas Wartonegoro.

”Kok salah saya? Ya salah pemerintah, wong bensin naik kok tidak diumumkan. Ini kan menyangkut hajat hidup orang banyak. Paling tidak kalau saya sampai tidak tahu itu jelas saya rugi karena tidak bisa ikut antre ke SPBU ikut beli bensin harga lama,” jawab Denmas Suloyo.

”Diumumkan Denmas, cuma sekarang bukan lagi presiden yang mengumumkan. Pak Jokowi [Presiden Joko Widodo] waktu ditanya wartawan soal kenaikan harga BBM [bahan bakar minyak] ini juga suruh tanya langsung ke Menteri ESDM [Energi dan Sumber Daya Mineral]. Kata Pak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil sekarang pengumuman soal kenaikan cukup diumumkan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM,” tutur Mas Wartonegoro.

Ya begitulah, menurut Menteri Sofyan Djalil kenaikan harga BBM jenis premium senilai Rp500 per liter menjadi komitmen pemerintah untuk tidak lagi memberikan subsidi pada premium. Solar tetap disubsidi Rp1.000 per liter.

Harga BBM di Indonesia, kata dia, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ditetapkan oleh pemerintah dengan berbasis pada nilai keekonomian.

“Nah itu dia Mas Warto yang saya tidak cocok. Bensin atau premium itu menurut saya adalah salah satu sumber daya alam kita yang menjadi hajat hidup orang banyak, hla kok dianggap nggak penting. BBM harus dikelola negara dengan memerhatikan nilai-nilai sosial kemanusiaan, bukan dilepas dengan harga keekonomian sesuai mekanisme pasar begitu,” kata Denmas Suloyo nerocos.

”Zaman sudah berubah Denmas, rezim telah berganti. Kebijakan pun berubah. Sebagai rakyat kita hanya bisa mengikuti perintah. Sepanjang pemerintah tidak bertindak zalim, tidak menyalahgunakan wewenang alias melakukan abuse of power, ya kita tenang-tenang saja,” kata Mas Wartonegoro.

”Wah, hla kembali soal BBM tadi, kalau nanti berubah-ubah terus harganya apa ya tidak kacau. Berubah sih wajar, tapi kalau dalam jangka waktu tiga bulan berubah empat kali apa namanya tidak sewenang-wenang,” kata Denmas Suloyo.

”Pemerintah yang lebih tahu Denmas. Sekali lagi, sebagai rakyat kita ini hanya bisa manut, menjalani hidup dan tentu saja protes kalau kebijakan pemerintah tidak benar. Menyalahgunakan wewenanga itu ’hukumannya’ berat, dilengserkan,” kata Mas Wartonegoro.

Penyalahgunaan wewenang (abuse of power) adalah dosa terbesar bagi mereka yang diberi amanah. Hukumannya pencabutan hak dan kewenangannya. Pada era Orde Baru pemerintahan Presiden Soeharto bisa jadi secara ekonomi berhasil, namun pemerintahan ini sedemikian nyata melakukan abuse of power.

Pada pertengahan 1980-an Indonesia berhasil menjadikan negara berswasembada pangan, namun seusai masa itu  korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi-jadi. Kesewenang-wenangan terus berlangsung, pers dibungkam, pengritik “dihilangkan”, musuh politik disingkirkan.

Menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Baru, elite politik semakin tidak peduli dengan aspirasi rakyat dan semakin banyak membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para kroni, pendukung, dan merugikan negara dan rakyat banyak.

Akibat kebijakan sewenang-wenang dan menyalahgunakan kekuasaan seperti itulah banyak kelompok yang kemudian menentang Presiden Soeharto dengan Orde Baru-nya. Gerakan mahasiswa yang didukung tokoh-tokoh politik akhirnya menjungkalkan kekuasaan Presiden Soeharto.

Itu adalah sejarah. Sejarah selain menjadi penanda, hendaknya juga menjadi pelajaran bagi kita semua. Setiap rezim hendaknya selalu mengingat bagaimana pendahulu-pendahulu mereka berkuasa.

Hakikat Pemerintahan

Kekuasaan bukanlah kesempatan untuk meraih segala sesuatu yang diinginkan. Kekuasaan diberikan rakyat sebagai amanah. Demikian juga halnya dengan pemerintahan Presiden Jokowi. Jangan sampai terjatuh pada tindakan abuse of power.

Hendaknya setiap rezim selalu mengingat hakikat pemerintahan dalam negara.  Ingat, pemerintah dalam menjalankan kekuasaan terikat dengan konstitusi tertinggi negeri ini, UUD 1945. Hendaknya selalu dibaca pembukaan UUD 1945.

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, …”

Semuanya jelas. Apa tujuan negara Indonesia ini dibangun? Apa fungsi pemerintahan itu dibentuk? Semuanya adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah agar rakyat sejahtera, cerdas, dan semuanya berjalan dengan tertib sesuai  hukum yang berlaku.

Dalam enam bulan kekuasaan pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi, sudah sedemikian banyak suara-suara sumbang yang dilontarkan tokoh-tokoh negara.

Dalam bidang ekonomi, kritik tentang pola pengelolaan energi dan sumber daya mineral, termasuk bahan bakar minyak (BBM), menggambarkan kebijakan yang berlangsung mulai mengabaikan makna melindungi segenap bangsa.

Demikian juga dalam persoalan politik. Perseteruan di internal Partai Golongkan Karya (Golkar) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah menyeret pemerintahan ini dalam tudingan telah melakukan abuse of power, yakni ketika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasona H. Laoly membuat standar ganda dalam keputusannya.



Langkah-langkah tidak strategis itu hendaknya menjadi perhatian Presiden Jokowi agar kepemimpinannya tidak dirongrong oleh para pembantunya sendiri apalagi sampai kemudian menjadi “komoditas” musuh politik untuk menumbangkannya dengan alasan yang sangat masuk akal, telah melakukan abuse of power.

Pemerintahan yang baik (good governance) adalah pemerintahan yang menjunjung tinggi keterbukaan, akuntabel, partisipasif, dan tanggap. Tanggap terhadap tuntutan rakyat, namun mampu melihat mana tuntutan rakyat yang sebenar-benarnya rakyat dan mana yang hanya merupakan tuntutan sekelompok orang dengan mengatasnamakan rakyat.

Sesepuh saya, Eyang Syura, berpesan, “Gawenen wong cilik iku girang gumuyu.  Menawa durung bisa, aja mbok gawe susah uripe, kuciwa atine… (buatlah rakyat kecil itu selalu berbahagia, senang. Kalaupun belum bisa, jangan kamu buat hidupnya susah, hatinya kecewa…).”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya