SOLOPOS.COM - Suwarmin, Wartawan SOLOPOS (FOTO/Dok)

Suwarmin, Wartawan SOLOPOS (FOTO/Dok)

Mungkin banyak di antara kita yang pernah berkendara di belakang truk yang melaju pelan. Kita terburu-buru namun harus rela menunggu. Bagi yang terburu-buru, pasti mencari celah untuk melewati truk yang seolah terseok-seok kelebihan muatan. Meski tombol klakson kita tekan berkali-kali, si sopir truk tetap bergeming. Laju truk tetap merayap, tak peduli.
Kita makin dongkol sembari harus rela menarik bibir ke samping, tersenyum kecut, manakala di bak belakang truk tertulis kalimat: Ra sabar mabura (kalau tidak sabar terbanglah-red). Jadi meski klakson kita pencet keras-keras dan berlama-lama, hasilnya sama saja. Kita pun tidak berubah bisa terbang. Jadi, klakson tidak menyelesaikan masalah.
Klakson juga kita pencet dengan gembira saat berpapasan dengan kawan atau sahabat di jalan. Kalau perlu tangan kita ikut melambai. Artinya, itu klakson sapaan. Kalau tidak membunyikan klakson, mungkin kita akan dituduh sombong. Ada pula kawan yang punya kebiasaan aneh, suka memencet klakson tiga kali setiap melewati tempat tertentu yang dianggapnya keramat, atau ketika melintasi daerah permakaman.
”Ini uluk salam,” katanya.
”Kepada siapa?” tanya saya.
”Pokoknya begitu,” ujarnya.
Baiklah, itu namanya klakson mitos. Jadi, dimitoskan oleh orang-orang kurang kerjaan yang percaya takhayul bahwa memencet klakson diperlukan saat kita melintasi wilayah tertentu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ponsel
Di antara kawan-kawan pengendara motor juga punya kebiasaan memencet bel klakson ditambah salam jari tertentu. Artinya: Hati-hati Bro, di depan sana ada mokmen. Jadi bagi mereka yang tidak siap berhadapan dengan razia, segera berbelok di tikungan pertama. Ini namanya klakson solidaritas menghadapi petugas.
Beberapa kawan dari Medan atau Makassar, katanya, punya kebiasaan ramai-ramai membunyikan klakson saat terjadi kemacetan. Klakson berbunyi bersahut-sahutan, seperti parade. Katanya, itu seperti pelampiasan dari kepenatan kerja. Atau seperti upaya melarikan diri dari ketertekanan hidup karena hajaran kerja atau impitan jiwa atau semacam itu. Jadi klakson seperti terapi, meski tetap tidak berguna mengurai kemacetan.
Tetapi ada juga orang yang sengaja mematikan klakson kendaraannya. Kenapa? Agar kebiasaannya yang sedikit-sedikit mengklakson berhenti dengan sendirinya. Akhirnya jika terjadi kemacetan hanya bisa geleng-geleng kepala,  lama-lama menjadi maklum dan mungkin berubah menjadi lebih sabar.
Sebagian dari kita mungkin juga pernah menghadapi pengendara kurang ajar seperti ini, sibuk ngobrol melalui handphone atau ponsel saat sedang berkendara, sehingga tidak sadar laju kendaraannya melambat. Akibatnya kendaraan lain di belakangnya terganggu. Sungguh, ini contoh perilaku yang tidak sopan di jalan raya dan polisi lalu lintas perlu berburu orang-orang jenis ini untuk diberi pelajaran. Untuk menghadapi orang seperti ini, bunyi klakson mungkin bisa membuatnya menyadari kesalahan. Mungkin.

Tergesa-gesa

Sering pula kita menjumpai banyak pengendara langsung memencet tombol klakson saat lampu merah berganti hijau. Sebagian memberi tahu kepada pengendara di depannya bahwa lampu sudah menyala hijau, artinya semua kendaraan boleh lewat. Namun sebagian seperti ungkapan ketidaksabaran, ketergesa-gesaan. Maaf, yang terakhir ini sebenarnya tidak terlalu berguna dan tidak sopan.
Malah ada juga di antara kita yang memencet klakson saat ada orang menyeberang jalan, yang menunjukkan kita tidak sabar melihat pengguna jalan lain mengambil haknya.
Lebih mengherankan lagi, sering pula orang membunyikan klakson saat ada mobil atau motor mogok di tengah jalan. Sebagian mungkin memencet sekali dan pelan, namun tidak sedikit yang memencet keras-keras dan lama, bahkan dari mulutnya juga keluar ”klakson”. Itu seperti kita melihat kawan kita tiba-tiba kakinya sakit dan kita memintanya segera berdiri dan berlari, karena kita mau lewat. Orang seperti ini bukan lagi tidak sabaran, tetapi juga orang yang tidak punya belas kasihan.
Di banyak kota di negara lain, seperti Kuala Lumpur, Tokyo atau negara-negara Eropa dan negara maju lainnya, memencet klakson termasuk persoalan sensitif. Kebanyakan hanya dibunyikan jika kita tidak suka dengan cara nyetir orang di depan kita. Sangat jarang terjadi orang mengklakson pengguna jalan lain karena alasan tidak sabar atau tergesa-gesa. Sepertinya, membunyikan klakson itu bagian dari keteraturan masyarakat. Semakin teratur suatu masyarakat, semakin jarang kita dengar klakson dibunyikan.
Bagi mereka yang nekat mengemudi saat mabuk atau sakaw karena minuman keras atau narkoba, klakson sudah pasti akan terlupakan. Orang tentu belum lupa, bagaimana Apriani Susanti supir Xenia yang menerobos jalur pejalan kaki di Tugu Tani, Jakarta Pusat, Minggu (22/1) silam. Ulah Apriani membuat sembilan nyawa melayang. Jangankan mengklakson, gadis ini bahkan lupa mengerem. Kalau dia sempat menggeber klakson keras-keras, bisa jadi ceritanya akan lain. Apalagi kalau dia tidak sakaw, situasinya tentu berbeda.
Petugas Dinas Perhubungan Kota Solo, selalu menutup laporan lalu lintas di SOLOPOS FM dengan ungkapan yang lama-lama terbilang klise: Tertib berlalu lintas, cermin budaya wong Solo.
Tapi kawan, rasanya ada baiknya slogan itu kita camkan dan taati. Mulai dari hal kecil, seperti memencet klakson di kendaraan kita pada saat yang benar-benar diperlukan, atau menyalakan lampu sign saat hendak berbelok dan lain-lain. Biarlah kita sedikit bersabar, dan orang lain nyaman berkendara di sekitar kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya