SOLOPOS.COM - Patok Pakualaman Ground (PAG) di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates, Kulonprogo. Foto diambil Maret 2021. (Istimewa)

Solopos.com, KULONPROGO — Perjuangan petani lahan pasir pantai pesisir Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), melawan penambangan pasir besi oleh PT JMI kian berat. Tantangan itu datang dalam bentuk klaim Paku Alam Ground (PAG).

Pada bagian keempat dari lima tulisan hasil peliputan Solopos bersama Tim Kolaborasi Liputan Agraria, Maret-Juli 2021, akan dibahas mengenai klaim PAG dan regulasi yang menjadi dasar penguasa wilayah untuk ambil alih lahan pertanian pesisir Kulonprogo.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Patok-patok batu tertumpuk di pelataran Balai Desa Karangwuni, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), saat tim kolaborasi liputan agraria menyambangi kawasan itu, akhir Mei 2021 lalu.

Tapal batu itu layaknya paku raksasa sepanjang satu meter. Setiap tapal batu itu bakal ditanam ke dalam tanah hingga menyisakan bagian atasnya yang tertera ukiran abjad: PAG.

PAG adalah kependekan dari Paku Alam Ground. Istilah itu mengacu pada bidang tanah yang diklaim sebagai milik Kadipaten Pakualaman, satu dari dua swapraja di DIY.

Baca Juga: Polemik dan Kontroversi RTRW Bikin Perjuangan Petani Pesisir Kulonprogo Kian Berat

Kadipaten Pakualaman secara turun-temurun dan dipimpin Adipati bergelar KGPAA Paku Alam—yang berdasarkan UU No 13/2012 tentang Keistimewaan DIY merupakan Wakil Gubernur DIY, secara turun temurun pula.

Kadipaten Pakualaman adalah salah satu dari dua swapraja di wilayah DIY, dan setiap patok hijau yang ditancapkan ke tanah adalah simbol klaim Paku Alam atas sebidang tanah. Klaim itu didasarkan sejarah penguasaan tanah Kadipaten Pakualaman pada masa penjajahan.

Dasar Kepemilikan

Namun, kini lahan itu didalilkan lagi sebagai dasar kepemilikan tanah di Kulonprogo, kabupaten di DIY yang berjuluk “Permata dari Tanah Jawa”. Di sejumlah desa di Kulonprogo, tapal bercap PAG itu bisa ditemukan di berbagai lokasi seperti balai desa, areal pertanian, sekolah, bahkan kuburan.

pertanian lahan pasir kulonprogo
Petani menggarap lahan pesisir pantai Kulonprogo yang diklaim sebagai Pakualaman Ground (PAG), Kamis (25/3/2021). Petani menolak klaim tersebut. (Istimewa)

Paniradya Keistimewaan DIY, lembaga urusan keistimewaan DIY di Pemda DIY, mengonfirmasi PAG tersebar di empat kecamatan di Kulonprogo, yakni Wates, Temon, Galur, dan Panjatan.

Penelusuruan Tim Kolaborasi Liputan Agraria ke sejumlah desa menemukan pemerintah desa—UU Keistimewaan DIY menyebutnya sebagai kalurahan—telah mendata PAG. Patok-patok pun ditemukan di lahan fasilitas umum desa-desa itu.

Baca Juga: Dulu Diolok-Olok, Petani Pesisir Kulonprogo Kini Sukses Jadi Pemasok Cabai Nasional

Di Desa Bugel contohnya, tercatat ada 15-18 bidang PAG. Di Pleret ada 17 bidang PAG, termasuk 10 bidang yang telah didaftarkan sejak 2018. Ada warga seperti Sumarni, yang mengakui klaim Pakualaman atas sejumlah bidang tanah di desanya.

Warga Dukuh Karangwuni itu menuturkan ia dan warga setempat secara turun temurun tahu dan mengakui sejumlah lahan di Karangwuni adalah PAG, atau tanah yang sejak zaman penjajahan dimiliki Kadipaten Pakualaman.

Selaku perangkat kalurahan, Sumarni membantu pendataan bidang tanah PAG di desanya. Ia menjelaskan patok bakal ditancapkan di bidang-bidang tanah yang diklaim sebagai PAG, seperti di lahan makam, SD, balai desa, dan areal pertanian di pesisir.

Diprotes Warga

Selain di fasilitas umum, klaim PAG mencakup area dari tepi laut hingga ke utara sejauh 800 meter. “Pas pendataan PAG, kami buat kesepakatan mau pakai peta desa atau kesepakatan. Warga minta dari peta desa,” ujarnya.

Tim Kolaborasi Peliputan Agraria juga menemukan lebih banyak patok PAG di utara Jl Daendels. Kalaupun patok PAG ditemukan di sisi selatan jalan, itu berada di sekitar Jl Daendels, seperti di SDN Pleret Timur.

Baca Juga: Perjalanan Panjang Petani Pesisir Kulonprogo Melawan Penambangan Pasir Besi

Di lapangan, tak semua warga mengakui klaim PAG. Di Pleret, tanah yang tengah dalam proses pendaftaran PAG ternyata telah mengantongi status kepemilikan oleh warga.

Penolakan antara lain terjadi saat Pemerintah Kalurahan Pleret mendata bidang tanah seluas 1.000 meter persegi sebagai PAG, lantas memasang patok PAG di sana. Ternyata, tanah 1.000 meter persegi tersebut bagian dari bidang tanah bersertifikat Hak Milik (SHM) seluas 2.000 meter.

SHM itu dimiliki keluarga mantan Gubernur Jawa Tengah almarhum Muhammad Ismail (periode 1983-1993), diterbitkan Badan Pertanahan Nasional pada 2002. Di tanah itu bahkan telah didirikan bangunan joglo untuk aktivitas warga.

“Ahli waris putranya Pak Ismail, melihat patok [PAG]. Akhirnya disampaikan [tanah yang dipatok] sudah SHM. Karena diprotes akhir 2020 lalu, kami mengajukan pembatalan pendaftaran PAG, tapi belum ada respons,” kata Jagabaya—sebutan untuk jabatan Kepala Seksi Pemerintahan Desa di DIY—Desa Pleret, Eko Prasetyo, saat dijumpai di balai desa tersebut, April lalu.

Eko berbicara sambil menunjukkan peta desa dengan bidang-bidang PAG. Pemerintah Kalurahan Pleret mengajukan pembatalan pendaftaran penyertifikatan tanah untuk PAG. Namun permohonan pembatalan itu belum juga dijawab Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kulonprogo.

Baca Juga: Kebutuhan Oksigen Medis di Kulonprogo Turun Drastis

Pendaftaran PAG

Eko dan perangkat Pemerintah Kalurahan Pleret juga menghindari pendataan kawasan pesisir karena kebanyakan bidang tanah di sana sudah menjadi lahan pertanian para petani Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP).

Lahan berpasir hitam yang dulunya dianggap ‘gurun’ pasir tandus dan gersang itu sudah terlanjur menjelma jadi kebun hortikultura dan tambak yang dikelola warga. Kalurahan Pleret belum memproses pendaftaran PAG di sana demi menghindari konflik dengan petani lahan pasir, khususnya para aktivis PPLP KP.

petani pesisir kulonprogo
Puluhan warga dan petani lahan pasir pesisir pantai Kulonprogo, DIY memasang spanduk penolakan tambang pasir besi di wilayahnya, Kamis (1/4/2021). (Solopos/Mariyana Ricky PD)

“Untuk [tanah PA bagian] selatan, lahan pasir. Kebetulan warga kami ada paguyuban [PPLP]. Ketika membicarakan tanah PA, responsnya sangat kurang,” tutur Eko.

Hal serupa juga terjadi di Kalurahan Bugel, Panjatan, Kulonprogo. Jabagaya Kalurahan Bugel, Tri Sujoko, memilih berhati-hati melakukan pendaftaran dan penyertifikatan PAG di desanya.

Ia berkaca dari pengalaman Pemerintah Kalurahan Pleret yang ditentang warganya. “Masih dipertimbangkan. Desa Pleret saja mendaftarkan kuburan [tanah PA] jadi ramai,” tuturnya.

Baca Juga: Lestarikan Lingkungan, Tim ITNY Tanam Mangrove di Pantai Trisik

Sujoko menyebut status tanah sebagai PAG sebenarnya tercatat dengan jelas di dokumen lama seperti peta desa. “Itu sudah ada datanya. Kelihatan kok tanah PA itu,” kata Sujoko sembari membentangkan peta desa di meja kerjanya.

Saktinya UU Keistimewaan

Konflik lahan antara petani PPLP KP dengan PT JMI selaku pemegang kontrak penambangan pasir besi di Kulonprogo memang memasuki babak baru sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU Keistimewaan DIY).

Undang-undang baru itu menjadi dasar lahirnya Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) Yogyakarta tentang tanah Kasultanan dan Kadipaten, yang kini dijadikan dasar pendataan dan pemasangan patok PAG maupun SG di DIY.



Klaim Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman atas tanah-tanah berstatus SG dan PAG didasarkan hukum yang berlaku pada masa Hindia Belanda kala itu melalui Rijksblaad Kasultanan Nomor 16 tahun 1918.

Rijksblad Pakualaman Nomor 18 tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda mengakui keberadaan SG dan PAG sebagai “tanah milik” dua swapraja di tengah Pulau Jawa, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.

Baca Juga: Kulonprogo Siap Gelar PTM Tingkat SMP, SD Sabar Ya

Pasal 1 Rijksblaad Kasultanan No 16/1918 menyatakan “Sakabehing bumi kang ora ana tandha yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagunganne Kraton ingsun Ngayogyakarta”.

Rijksblad Pakualaman No 18/1918 pun punya isi serupa. Kedua rijksblad itu menyatakan semua bidang tanah yang belum/tidak bersertifikat hak Eigendom atau hak milik menjadi milik Kasultanan Ngayogyakarta atau Kadipaten Pakualaman. Aturan itu diperkuat dengan Rijksblad Kasultanan No 23/1925 dan Rijksblad Pakualaman No 25/1925.

Hapusnya Seluruh Klaim Kasulatanan dan Pakualaman

Peneliti agraria Kus Antoro menyatakan penggunaan Rijksblad sebagai dasar untuk mengatur pertanahan di DIY bertentangan dengan UU No 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Diktum IV UU itu menyebutkan hak dan wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya UU tersebut dihapus dan beralih kepada negara.

petani lahan pasir kulonprogo
Kantor PT JMI di Dukuh Karangwuni, Kecamatan Wates, Kulonprogo, YK yang tampak tak terawat, Kamis (25/9/2021). ((Solopos/Mariyana Ricky PD)

Alhasil, SG dan PAG semestinya dihapus dan menjadi tanah milik negara. Pada 9 Mei 1984, Presiden RI saat itu, Soeharto, menetapkan Keputusan Presiden RI (Keppres) No 33/1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UU No 5/1960 di Propinsi DIY, diisusul Keputusan Menteri Dalam Negeri No 66/1984 soal pemberlakuan sepenuhnya UU Pokok Agraria di DIY.

Baca Juga: Susah Terapkan PeduliLindungi di Objek Wisata Kulonprogo, Ini Masalahnya

Paku Alam VIII selaku Wakil Gubernur DIY pada 22 September 1984 telah menandatangani Peraturan Daerah No 3/1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU No 5/1960 di DIY. Perda yang diundangkan pada 24 September 1984 itu menegaskan hapusnya seluruh klaim Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman atas tanah berstatus SG dan PAG di DIY.



Penjelasan Pasal 3 Perda No 3/1984 bahkan memerinci perundang-undangan daerah yang dinyatakan tidak berlaku. Antara lain Rijksblad Kasultanan No 16/1918, Rijkasblad Paku Alaman No 18/1918, Rijksblad Kasultanan No 11/1928 jo No 2/1931. Kemudian Rijkasblad Paku Alaman No 13/1928 jo No 1/1931, Rijksblad Kasultanan No 23/1925, dan Rijkasblad Pakualaman No 25/1925.

“Jadi, sudah terang semua klaim yang didasarkan kepada Rijksblaad Kasultanan atau Rijksblad Pakualaman sudah tidak berlaku. Aturan itu sudah dinyatakan tidak berlaku sejak 1984,” ujar Kus.

Mesin Pembalik Waktu

Akan tetapi, UU Keistimewaan seperti mesin pembalik waktu. UU Keistimewaan menyatakan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum Warisan Budaya yang berwenang mengatur lima hal di DIY. Kelima hal itu yakni kelembagaan, pertanahan, tata ruang, kebudayaan, dan pengisian jabatan.

Baca Juga: Jadi Satu-Satunya Zona Merah di Jawa, Ini Upaya Gugus Tugas Kulonprogo

“UU Keistimewaan menjadi alasan utama perubahan struktur penguasaan tanah di DIY. Aturan Rijksblad yang telah dihapus diwariskan semangatnya dan kembali dipakai sebagai landasan untuk mengklaim tanah-tanah swapraja yang dulunya sudah menjadi tanah negara,” tutur Kus Antoro.

UU Keistimewaan DIY memiliki turunan lebih detail soal pengelolaan tanah-tanah swapraja di wilayah DIY. Aturan turunan itu adalah Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) No 1/2017 Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten.

Perdais tersebut membagi tanah Keraton (Sultan Ground/SG) dan Kadipaten (Pakualaman Ground/PAG) sebagai tanah keprabon dan bukan keprabon. Tanah keprabon berupa tanah-tanah milik keraton yang digunakan untuk kegiatan umum seperti pasar, lapangan, atau pemakaman.

Adapun tanah bukan keprabon adalah tanah yang digunakan untuk kepentingan tertentu seperti tanah kas desa dan bantaran sungai. Perdais mengatur status tanah nonkeprabon yang bisa digolongkan sebagai SG dan PAG adalah tanah dengan kekancingan atau izin pemakaian dari keraton, tanah tanpa kekancingan, dan tanah yang belum digunakan.

Baca Juga: KA Bandara YIA Sudah Beroperasi, Warga Bisa Menumpang Gratis



Tanah-tanah tersebut didaftarkan ke BPN, dimana sertifikatnya akan diserahkan ke Keraton Yogyakarta maupun Paku Alaman melalui Pemerintah DIY. Masyarakat yang memanfaatkan tanah berstatus SG dan PAG bisa memintakan kekancingan ke keraton untuk pemanfaatannya.

Pengakuan Kultural

Kus menyebut politik kekancingan adalah klaim dan akusisi tanah oleh Keraton dan Kadipaten melalui pengakuan kultural masyarakat. Lembaga Paniradya Keistimewaan DIY menyatakan telah terdata 14.044 bidang tanah, yang terdiri atas 13.688 SG dan 356 PAG di DIY.

petani pesisir kulonprogo
Genangan bekas lubang tambang pasir besi di pesisir pantai Kulonprogo, DIY, Kamis (25/3/2021). (Solopos/Mariyana Ricky PD)

SG tersebar di lima wilayah DIY, namun mayoritas PAG berada di Kabupaten Kulonprogo. Klaim PAG itu antara lain di Karangwuni ada enam bidang dengan luas 167.820 meter persegi dan Karangsewu memiliki 40 bidang seluas 34.355 meter persegi.

Di Pleret ada 12 bidang dan Bugel satu bidang, meski belum terdata luasannya. Dari daftar ini, sedikitnya 59 bidang dan lebih dari 200.000 meter persegi atau 20 hektare PAG telah terdaftar.

Baca Juga: Terlibat Kecelakaan Maut, Pelajar Kulonprogo Meninggal

Staf Kawedanan Keprajan Puro Pakualaman, Koentjoro Tri Hatmono, yang mengurusi PAG, meyakini lahan-lahan untuk sarana umum di desa-desa Kulonprogo adalah PAG. “Tidak mungkin kami tidak memiliki tanah. Apa tanah kuburan dan jalan itu wakaf dari masyarakat?” ucapnya.

Koentjoro menjelaskan pendataan PAG melibatkan Kawedanan Keprajan Puro Pakualaman, Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) DIY, dan Badan Pertanahan Nasional. Urutannya, pemerintah desa diminta mengisi formulir pendataan PAG dari Dispertaru sesuai peta desa.

Formulir itu lalu diajukan ke Dispertaru, Pakualaman, hingga BPN yang akan diverifikasi petugas ukur hingga dipasang patok atau tanda batas. Pernyataan pemasangan patok di sejumlah desa diteken lurah dan Koentjoro. “Kami diikutsertakan [saat pengukuran] selaku pemilik tanah, soalnya kami juga belum tahu tanah tersebut,” katanya saat ditemui, akhir April lalu.

Surat Kekancingan

Setelah pendataan dan pematokan tanah dilakukan, BPN akan menerbitkan Sertifikat Hak Milik atau SHM PAG. Jika sertifikat itu terbit, warga yang menempati bidang tanah itu harus mengurus Surat Kekancingan, semacam surat izin Kadipaten Pakualaman kepada warga untuk menggunakan bidang tanah itu, dengan membayar biaya sewa tanah kepada Pakualaman.



Baca Juga: Cerita Warga Soloraya Berburu Vaksin Covid-19 Sampai ke Kulon Progo

Koentjoro menyatakan penerbitan SHM PAG tidak serta merta membuat warga pengguna tanah itu angkat kaki. “[Tanah yang terbit sertifikatnya] tetap boleh dikerjakan [warga], tapi administrasinya harus diajukan. Selama ini liar semua,” ujarnya.

Klaim PAG atas tanah itu mengalirkan banyak uang ke Kadipaten Pakualaman, misalnya dalam ganti rugi tanah proyek Yogyakarta International Airport (YIA). Dari total 587 hektare tanah yang dibebaskan untuk proyek itu, 163 hektare di antaranya diklaim sebagai PAG, kendati selama ini sebagian besar digarap petani.

Alhasil, Kadipaten Pakualaman menerima Rp701 miliar dari total Rp4,1 triliun ganti rugi dari pemerintah. Perwakilan Pura Pakualaman, KRT Projo Anggono, mengungkapkan kasus ganti rugi bandara, tanaman dan tanah. “Kalau [ganti rugi] tanah tetap ke PA, dan kita tetap kasih tali asih ke petani. Ya semua [tanahnya] di ladang petani,” kata Projo, Rabu (21/4/2021).

Pengageng Urusan Pambudayan Pura Pakualaman, KPH Kusumoparastho, menuturkan ganti rugi yang diterima Kadipaten Pakualaman dari bandara semakin memperbaiki perekonomian Pura Pakualaman. “Sudah membaik, sudah rondo klimis karena [ganti rugi dari] bandarane payu. Kan paksa dijual,” ujar Kusumoparastho.

Baca Juga: Diluncurkan Menko Luhut, KA Bandara YIA Resmi Dioperasikan Secara Terbatas

Kepentingan PT JMI?

Pakualaman terus melanjutkan pendataan dan pemasangan patok PAG. Koentjoro menyatakan pendataan PAG mengikuti program pemerintah dan Pemerintah Provinsi DIY.

“Ikuti prosedur yang ada. Kalau mentok, tinggal [Sultan atau Adipati] selaku Gubernur atau Wakil Gubernur minta, bisa tidak dinas menyelesaikan. Kami juga tidak iming-imingi atau beri janji agar mau didata. Selama ini kan mereka sudah mengerjakan dan dapat hasil dari PAG,” imbuh Koentjoro.

Koordinator Lapangan PPLP KP, Widodo menjelaskan para petani lahan pasir menolak keras pendataan dan pemasangan patok PAG di Kulonprogo. Bagi Widodo dan para petani lainnya, sejak awal klaim PAG itu merupakan kepentingan JMI untuk mengosongkan area yang ditera dalam Kontrak Karya PT JMI.

Logika para aktivis PPLP KP sederhana saja, dari 2.977 hektare area yang ditera Kontrak Karya JMI sebagai wilayah tambang pasir besi, luasan 1.263 hektare diklaim sebagai PAG. Para petani itu juga tahu, di balik PT JMI itu, ada PT JMM yang sahamnya dikuasai bangsawan Kadipaten Pakualaman dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Baca Juga: Pemkab Kulonprogo Targetkan 4.000 Vaksinasi Covid-19 Per Hari

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang diakses Maret 2021 menunjukkan 210 dari total 300 lembar saham PT JMI dikuasai Indo Mine Ltd, perusahaan tambang asal Australia yang mayoritas sahamnya dimiliki Rajawali Group.

Sebanyak 90 lembar saham lain PT JMI, setara 30 persen, dimiliki PT Jogja Magasa Mining (JMM), perusahaan tambang lokal di DIY. Data tersebut memerinci siapa saja pemegang saham PT JMM yang jumlahnya mencapai 300 lembar. Sebanyak 90 dari total 300 lembar saham PT JMM dikuasai PT Mitra Westindo Utama.

Sikap Warga Terpecah

Putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Mangkubumi, menguasai 75 lembar saham PT JMM. Adik Pakualam X, BRMH Hario Seno juga menguasai 75 lembar saham PT JMM.

Lalu 50 lembar saham PT JMM lainnya dimiliki kemenakan Sri Sultan Hamengku Buwono X, RM Sumyandharto. Sisanya, 10 lembar saham PT JMM, dimilik Imam Syafii, seorang pengusaha asal Yogyakarta.

Baca Juga: Omah Cantrik, Berikan Nostalgia Masa Kecil yang Penuh Makna

Desa-desa yang warganya menolak rencana tambang JMI cenderung resisten menolak upaya pendataan dan pemasangan patok PAG. Sebaliknya, desa yang warganya relatif setuju dengan rencana tambang JMI, pendataan dan pemasangan patok PAG berjalan mulus.

Proses sertifikasi PAG di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates, misalnya. Warga Dukuh Karangwuni, Sumarni, menuturkan pendaftaran PAG di Desa Karangwuni sudah dimulai sejak 2016, lewat program sertifikasi tanah dari Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kulon Progo.

“Seperti makam, sudah disertifikatkan dari tahun 2016. Makam-makam di sini sudah diajukan sertifikat, itu tanah PAG,” kata Sumarni yang ditemui di rumahnya, Selasa (25/5/2021).

petani lahan pasir kulonprogo
Gundukan pasir besi yang bakal ditambang oleh PT JMI, di Dukuh Karangwuni, Kecamatan Wates, Kulonprogo, Kamis (25/3/2021). (Solopos/Mariyana Ricky PD)

Sebaliknya, di berbagai desa yang menjadi basis PPLP, warga keras melawan pendataan dan pemasangan patok PAG. Suparno, warga Karangwuni, menjadi satu dari segelintir orang di desa itu yang menolak berdirinya tambang.

Dipanggil Pengadilan

Keluarganya pun sempat mendapat perlakuan tak menyenangkan karena penolakan tersebut. Ia sempat dipanggil Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 2016 saat Pakualaman menggugat Badan Pertanahan Nasional (BPN). Panggilan dilayangkan lantaran ia keberatan lahan garapannya dipagari oleh PT JMI.

Baca Juga: Lebih Dari 14.000 Pelajar di Kulonprogo Telah Vaksinasi Covid-19

Apalagi, lahan yang digarapnya turun temurun selama 20-an tahun diklaim milik Pakualaman. Ketika klaim Paku Alam Ground disusul dengan pemancangan patok-patok PAG, warga melawan dengan mencopot patok PAG seperti yang terjadi di makam Somolah, Dusun Siliran, Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, pada pertengahan 2019.

“Dulu di makam ada empat patok. Sekarang sudah hilang dicopot warga,” kata Eko Prihandono, petani setempat, sambil menunjukkan titik bekas patok di sudut makam itu.

Aksi serupa juga muncul di Desa Pleret, Kecamatan Panjatan. Marwoto, warga setempat, menunjuk sisa dua patok PAG di makam desa dari empat patok yang semula ditanam. “Ditolak masyarakat, dicopot, lalu diganti cor-coran dan pipa paralon,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya