SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Saya mengenal kerupuk dari tangan nenek. Tangan yang penuh kepalan nasi dengan cubitan tempe goreng, menu favoritku, yang disuapkannya ke mulut kecilku.

Setiap suapan nenek adalah suapan besar karena sesungguhnya pekerjaan menyuapi anak balita seperti saya hanyalah sebagian kecil dari setumpuk pekerjaan rumah nenek yang tak ada habisnya. Melihat foto-foto keluarga: saya naik kursi, merayap di terali jendela, hingga berbaring di lantai, sementara di sebelah saya ada nenek yang di tangannya masih tertinggal beberapa butir nasi menceritakan semua itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saya adalah adalah anak kecil yang tak suka sayur, tak suka buah, tak suka kuah santan, tak suka kuah bening, tak suka olahan ayam dengan bumbu apa pun, dan masih banyak lagi yang lain. Namun, kerupuk membantu saya menelan semuanya itu dengan tabah.

Setelah puluhan tahun berlalu, ketika nenek tak lagi menyuapi, masih ada kerupuk di rumah. Yang juga tak berubah adalah deretan makanan yang saya benci kini telah menjadi menu favorit. Pendidikan selera yang dilakukan nenek berhasil sekali.

Lewat kerupuk, entah sadar atau tidak, nenek juga mengenalkan saya pada kemungkinan-kemungkinan dalam hidup. Selalu ada celah untuk berlari, menghindar, namun tak benar-benar pergi. Seperti itulah fungsinya kerupuk.

Kriuk dalam mulut saya menjadi petunjuk tentang beginilah hidup, ada yang enak, namun ada juga yang tidak enak meski saya tak perlu khawatir karena selalu ada penawarnya.

“Hei lupakan makanan aneh itu. Kerupuk ini enak sekali.” Atau “Ah untung ada kerupuk, makanan ini jadi terasa lebih enak.” Rasanya saya mendengar suara nenek mengatakan itu sambil tertawa. Belasan tahun nenek pergi, tapi saya masih sangat ingat wajah, beragam ekspresi, begitu pula suaranya.

Nenek dan warisan cara makannya juga membuat saya sadar bahwa yang tak saya sukai justru bagus untuk tubuh dan yang tak menyehatkan seperti kerupuk juga saya butuhkan untuk kesehatan mental. Nenek memang penggemar berat kerupuk, jauh lebih loyal dibandingkan kakek. Hampir tak ada satu pun makanan yang ia santap tanpa kerupuk dan nyaris tak ada acara TV yang ia tonton tanpa camilan itu.

Nenek paling suka kerupuk putih tipis yang biasa digunakan orang Jawa Timur untuk pelengkap rujak cingur lalu kerupuk panjang yang dia sebut kecipir. Nenek juga sangat suka kerupuk bepewarna merah yang biasanya langsung meleleh saat menempel di lidah.

Semua kerupuk kesukaannya itu selalu ada di rumah. Nenek tempatkan di kaleng-kaleng yang ia tumpuk rapi di kamar belakang bersama kaleng camilan lain. Tiap pulang sekolah, kamar belakang memang selalu menjadi tujuan pertama saya.

Saya akan membuka satu per satu kaleng sambil menebak apa isinya. Ada keripik, makanan kemasan asin, camilan manis, dan tentu saja kerupuk berbagai jenis. Jadi, kerupuk memang bukan untuk teman makan saja, melainkan untuk camilan juga.

Saya paling suka kerupuk merah yang lengket di lidah. Sayangnya, kerupuk di kampung halaman itu tak ada di kota saya tinggal. Jadilah saya menghibur diri dengan kerupuk lain, yang rasanya mirip, lengkap dengan sensasi kriuknya.

Saya jadi ingat pendapat seorang penulis (yang saya lupa namanya) bahwa makanan mengakarkan kita pada sebuah tempat. Saat kita menemukan makanan itu di tempat yang jauh dari kampung halaman, makanan itu sejatinya membawa segala akar itu di tempatnya berada. Itu benar sekali.

Bentuk kerupuk (mulai dari yang bundar, lonjong, kotak, dan lainnya), suara yang ia hadirkan, rasa asin yang lengket di lidah, serta minyak yang selalu tertinggal di sudut-sudut mulut, secara konsisten memberitahu bahwa saya bukanlah layang-layang putus. Saya akan selalu terikat dengan akar. Perasaan emosional yang sangat saya butuhkan.

Masa Lalu

Saya sangat setuju pendapat penulis itu dan bahkan bisa dengan mudah menambahkannya: makanan tertentu juga membantu kita mengingat betapa kompleksnya pelajaran hidup dan rasa cinta yang diberikan keluarga kita. Membantu saya mengingat momen nenek yang selalu menyiapkan makanan terbaiknya serta tugas saya untuk melakukan hal yang sama untuk anak-anak.

Jadi, kita memang membutuhkan masa lalu, seperti halnya kita butuh masa kini dan masa depan. Saya pikir kita membutuhkan ketiganya dengan porsi yang sama banyak, tak kurang dan tak lebih. Khusus masa lalu, saya menyukainya karena kebijaksanaan yang ia perkenalkan.

Masa lalu selalu membantu saya mendapatkan teks dengan konteks yang sangat kompleks, yang tak bisa diberikan masa kini serta masa depan. Dan saya pikir itulah esensi menjadi manusia yang menua, memahami hidup dengan hati lapang, merevisi adegan-adegan masa lalu dalam bentuk adegan-adegan masa kini, serta menerima diri maupun orang lain dengan sama baiknya.

Mengingat-ingat akar dan kesejarahan dalam hidup akan membuat kemanusiaan kita terpelihara dalam menyikapi kepungan hidup yang serbamekanis dan ahistoris. Bagaimana menerjemahkan itu? Begini.

Setiap saya membutuhkan kerupuk maka saya akan mencarinya di tempat-tempat yang dulu nenek kunjungi. Saya akan pergi ke toko kelontong di dekat rumah, ke pasar tradisional, ke warung makan di pinggir jalan, atau menghampiri tukang belanja keliling. Semua sama persis, tak ada yang berubah.

Pernah beberapa kali saya membeli kerupuk di supermarket dan mal yang tentu kemasannya lebih bagus dan higienis. Namun saat mengunyahnya, saya justru seperti layang-layang putus.

Saya kehilangan konteks dan karenanya saya kehilangan rasanya secara keseluruhan. Kerupuk yang dijual di mal memang terstandar, namun itu justru membuat saya merasa tak mendapatkan apa-apa karena begitu kompromis rasa hingga kerenyahannya. Sebaliknya, kerupuk di warung, di pasar, ataupun di toko kelontong, jauh lebih bisa saya terima meski memang tak sehat.

Kerupuk-kerupuk ini membuat mata saya terbuka pada perjuangan para perajin kerupuk dan para pemilik toko kelontong yang bertahan hidup di antara serbuan toko modern. Bagaimana mereka mempertahankan toko di antara pengapnya tumpukan barang akibat sirkulasi produk yang tak lancar sembari sigap mengusir tikus yang hilir-mudik.

Kalau sedang sial mendapatkan kerupuk yang melempem di warung, itu tak menjadi masalah karena saya bisa membeli kerupuk lain seperti yang biasa dilakukan nenek. Yang terpenting adalah toko kelontong masih hidup dan mampu menyediakan kerupuk lebih baik pada waktu yang lain. Toko kelontong adalah penjaga akar yang setia. Tanpa dia, keragaman kerupuk akan musnah.

Baca Juga: Tiap Pemilu Tiba, Saya Kena Amnesia



Kerupuk di pasar juga membuat mata saya akrab dengan wajah ibu-ibu berkerudung instan atau bapak-bapak bersandal jepit yang selalu duduk sabar menunggu pembeli. Mereka termasuk orang-orang yang bertahan di pasar tradisional yang makin hari makin singkat usia keramaiannya.

Kerupuk membantu saya mengenali masalah riil di sekitar yang seringkali saya lupakan saat masuk restoran besar dan menemukan kerupuk bermerek yang  saya tak tahu dari mana asalnya.

Restoran itu jelas membuat saya amnesia. Ini barangkali sama saat hidup saya gantungkan pada AC untuk membuang panas di luar, selalu naik lift untuk melumpuhkan kaki sendiri, melihat infotainment selebritas atau pejabat yang berubah menjadi selebritas dan membuang berita tentang KUHP yang sangat bermasalah, ancaman krisis iklim di depan mata, kisah Sambo yang memalukan, tenaga migran yang selalu dicurangi, atau lincahnya akrobat kata yang dilontarkan politikus.

Kerupuk barangkali juga bisa saya terjemahkan sebagai sebuah pemberontakan, perlawanan atas budaya populer yang serba standar yang diciptakan era industrialisasi-urbanisasi. Saya jadi ingat kata-kata Dwight Macdonald, seorang kritikus sosial dan filsuf dari Amerika, bahwa saat film yang terstandar bersinar, dia menjadi hiburan terbaik sekaligus kesenian terburuk karena telah menghancurkan drama dan teater rakyat.

Jadi, saya pikir kerupuk adalah budaya rakyat yang tangguh. Kerupuk mampu bertahan dengan ratusan keberagamannya yang menjadi musuh budaya massa yang serbahomogen dengan prinsip komersial dan keuntungan sebesar-besarnya.

Sungguh sukar membayangkan kelak kerupuk menjadi macam Adidas, Puma, Tory Burch, Seven Friday, Apple, Chanel, atau entah apa lagi. Sepanjang toko kelontong, pasar, tukang sayur keliling masih hidup – masih mampu menjadi konteks – saya yakin kerupuk pastilah akan bertahan. Ada kelegaan tersendiri karena itu berarti saya masih bisa membaca beragam tulisan di kaleng kerupuk setiap kali menyantap makanan di warung, seperti Harapan, Subur, Sabar, Putra Jaya, Karunia, Semangat, RDN, Sala, Indonesia, Ciamis, Jogja, Bintang, Sinar 2, Ikhtiar, Suka mulya, dan yang lainnya.

Saya tak mau kerupuk mati seperti halnya engklek, dakon, betengan, atau nasihat bijak macam “jangan sisakan makanan, nanti ayammu mati” yang kini terkubur begitu konteksnya menghilang.

 

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 Desember 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya