SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Kisah Tek Melulu Surga (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Mae kecil pernah mendengar cerita. Dia lupa dari siapa tepatnya. Konon bila bermimpi sesuatu yang berwarna hitam akan terjadi hal yang tak mengenakkan.

Ketika dia tanyakan kepada Inaq, perempuan yang melahirkannya itu mendampratnya. Katanya Mae berdosa dan tak percaya Allah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dia tak mau mengaku apakah masih bisa percaya. Sujudnya tak pernah putus agar Amaq – panggilan untuk bapaknya – dan juga Inaq kembali ke rumah. Meski dia membenci perempuan itu, tetap besar harapan agar Inaq bersamanya lagi.

Bayangan hitam itu muncul lagi. Ia tampak menuju ke arahnya. Mae mengerjap-ngerjapkan matanya. Berharap warnanya menjadi keabu-abuan misalnya. Tak berhasil.

Bayangan itu terus mendekat. Mae beringsut menjauh. Bayangan tersebut makin tak berjarak dengan gadis itu hingga dia tersudut di pojok tanpa bisa bersuara. Jantungnya yang sedari tadi berdegup begitu kencang, kini malah kebalikannya. Nyaris berhenti.

Sambil memegangi dadanya karena takut nyawanya ikut tercabut, mata Mae berkedip-kedip. Bayangan hitam itu lambat-lambat menampakkan rupa. Sesosok lelaki dengan terhuyung menuju tempat tidurnya. Mae dirundung takut. Kedua lengannya spontan memeluk tubuh. Tanda melindungi diri.

“Mae ….” Oh suara itu! Suara Amaq. Itu benar bapaknya. Suara itu meluruhkan ketakutannya.

Tubuhnya merangsek ke depan, ingin meraihnya. Apa saja, tangan, kaki, kepala. Namun, Mae tak bisa menjangkaunya. Dia malah menangkap angin. Ketika nyaris terjatuh dari ranjang kayu hadiah Amaq untuknya ketika ulang tahun kedua belas beberapa tahun lalu, kelopak matanya kini senyata-nyatanya membuka.

“Amaqqq!!!”

Teriakan Mae menggetarkan batang bambu penyangga rumah bedek mereka. Tak ada respons apa pun, hanya desau angin padang rumput kampung mereka yang menjawab.

Rumah itu benar kosong, hanya Mae seorang. Cuma dia yang tertinggal.

Air mata Mae turun tanpa bisa ditahannya. Sebanyak gugurnya daun-daun pohon bidara yang sejatinya merawat panjang usia kulit, tapi tak bisa memelihara kehadiran Amaq dan Inaq di rumah. Buat apa, bangunan rumah terlindungi dari panas matahari, tetapi isinya….

Sambil memeluk lutut, Mae kini benar menggerung. Memanggil kedua orang yang tak seharusnya pergi. Dulu, Inaq di tengah sumpah serapahnya, masih merengkuhnya. Menepuk-nepuk punggung mendamaikan hati yang lara sebab Amaq tak kunjung kembali. Dia tahu Inaq sering tersedu.

Ucap Inaq kepadanya: yang penting Amaq pulang, tak kurang suatu apa. Bahkan kalau dia pulang tanpa uang untuk mereka, besok mereka akan jual apa yang bisa dijual. Nyawa Amaq jauh lebih berharga daripada ringgit yang bakal dibawa.

Kini dia sendiri yang harus menghibur dirinya sendiri. Bukan … tak tepat dibilang menghibur. Dia tak butuh hiburan. Dia perlu sosok Amaq juga Inaq di kediaman.

Awalnya Amaq pergi meninggalkan rumah, sepetak sawah untuk merantau ke Malaysia. Hasil panen tak mampu menyaingi harga barang yang terus naik, termasuk biaya Mae melanjutkan sekolah. Usai ujian nanti, perjalanan Mae bersekolah juga akan terhenti.

Di suatu pelajaran, Mae bersuara. Katanya Indonesia negara agraris, tapi mengapa banyak yang kelaparan. Mengapa juga ada istilah jamal, singkatan dari Janda Malaysia untuk Inaq, Bu Saor, Bu Galo, Bu Kare, Bu Lowa, dan masih banyak lagi perempuan di Dusun Aing Paek yang suaminya merantau ke negeri seberang, jarang sekali pulang atau akhirnya pulang hanya untuk berkalang tanah.

Usai berkata seperti itu Mae dikeluarkan dari kelas karena dianggap melawan guru. Sejak itu dia benci bersuara, dia pun merutuki alam dan menyesali nasib buruknya tinggal di Bumi Nusa Tenggara.

**

Padang rumput Lombok Timur di siang hari tak lebih dari gumpalan debu beterbangan. Seperti debu, wajah Mae biasa terlihat abu-abu. Sebabnya terlalu murung setelah Inaq pun tak ada kabar pulang.

Perempuan yang melahirkannya itu terlalu malu dikata-katai jamal, yang sudah menjadi keniscayaan hingga akhirnya menyusul Bapak. Jumlah jamal di desanya sama banyak dengan jumlah para suami yang angkat kaki, mengadu nasib agar lebih baik di Negeri Datuk Siti Nurhaliza.

Kata Pak Kojak yang mengajak Inaq, ada lowongan pencuci piring di kedai, satu kota dengan perkebunan tempat Amaq memburuh. Inaq ingin menemuinya, hendak tahu apa kabarnya. Perempuan itu mendahulukan hasrat kepada suaminya dibandingkan memikirkan nasib anak beranjak gadisnya yang ditinggal sendiri.

Mae sempat bertanya kepada Inaq. “Mengapa Inaq mau mencuci piring sampai ke Malaysia, tapi tak mau mencuci piring di rumah sendiri?” Perempuan itu hanya mengerucutkan bibirnya tak menjawab.

Ya, Inaq selalu menyuruh Mae mencuci piring dan perabotan seusai masak. Katanya anak perempuan harus membuat piring mengilat, apa pun di rumah wajib bersih. Sikap begitu menjaga kebersihan akan membuat lelaki mendekat.

“Tapi Inaq terlalu malas mencuci hingga Amaq pun memilih pergi!” Perkataan Mae dijawab tamparan telak di wajahnya.

Inaq sungguh-sungguh berangkat pergi. Mae sakit hati. Sejak itu, Mae tak memberi reaksi apa pun, termasuk menangis ketika keberangkatan perempuan itu.
Hati Mae sakit, tubuhnya pun sakit, menerima nasib bertumbuh remaja ditinggal orang tua. Dalam benaknya, mengapa mereka berdua sungguh nekat meninggalkan anak perempuan sendiri.

“Kamu sudah besar! Kamu bisa melawan dan melarikan diri bila ada apa-apa!” jerit Inaq ketika mereka bertengkar terakhir kali. “Tapi tak ada yang bisa menghunus pisau seperti ketika kau menyelamatkanku dari ular, Inaq!” Perempuan itu menggerutu lalu diam, tak menjerit lagi, tapi juga tak memberi solusi.

Mengingat pertengkaran itu, air mata di pelupuk Mae berebut turun. Tak merasa perlu mengusapnya, benak Mae melayang lagi.

Mae rindu berlari bersama Inaq untuk mendekati arah bunyi sirene ambulans pembawa kabar tak bahagia. Dulu mereka berdua bisa bertukar tatap, saling mendahului menangis bila ternyata bukan jenazah Bapak yang kembali. Tangisan itu serupa harapan Bapak masih hidup.

Ya, dia tahu, para jamal seperti Inaq selalu dihadapkan pada dua kemungkinan. Mendapati suami mereka pulang dengan selamat atau menerima kenyataan suami mereka pulang dalam peti mati. Bahkan kematian mereka pun tak terkejar catatan negara karena bekerja tak melalui jalur resmi.

Kejadian itu terus berulang. Para jamal, anak-anak dan orang-orang tua di kampung, biasa memelihara kecemasan ibarat bom waktu. Suatu saat, ada yang menangis sesengukan tak henti-henti ketika jenazah ayah atau saudara lelaki mereka yang benar dipulangkan. Titel jamal pun berubah. Dari olok-olok menjadi resmi menjanda.

Walau berbalut kemuraman kenangan bersama Inaq akan peristiwa yang dipeliharanya dari waktu demi waktu, namun usai sendiri di rumah, Mae malas berlari-lari seperti dulu. Dia tak mau lagi mengatakan silih berganti ambulans itu melulu pembawa kabar sedih.

Bisa saja kedatangannya malah memutus lilitan kecemasan yang kusut masai menyelubungi hati untuk mengabarkan ada yang mati. Mae mulai menganalisis. Kematian walau final tak lebih menyesakkan daripada tak ada kabar.



Suara geluduk di kejauhan mulai terdengar. Mae menuju dapur, memasak apa yang masih ada. Terlalu malas dia untuk ke pasar untuk berhadap tanya orang-orang tentang Amaq dan Inaq.

Sambil memasak, air mata Mae terus mengalir. Sampai kapan nasibnya begini. Punya orang tua serasa tiada. Punya rumah tapi tak bernyawa. Ketika api di tungku baru saja dia padamkan, desau angin membawa suara sirene ambulans dari sayup-sayup sampai terus mendekat memekakkan telinga.

Baca Juga: Wisuda Penyesalan

Jantung Mae mulai berpacu. Siapakah kali ini yang menanggalkan status jamalnya? Tergopoh-gopoh dia keluar. Terkesiap melihat orang-orang dan ambulans menuju ke arahnya.

Tubuhnya mulai bergetar. Ini tak mungkin. Bukan, ini bukan seperti yang disampaikan mimpiku. Ini tak benar. Ini halusinasiku, ini bohong, ini….

“Maafkan…kami membawa kabar tak baik.” Suara berat sesepuh kampung membunuh suasana yang sudah mencekam. Lelaki tua berpakaian hitam serupa mimpinya kini berdiri di hadapannya.

Meluncurlah cerita tragis yang tak ingin dia percayai. Amaq terbunuh saat terlibat pertengkaran dengan orang-orang yang merudapaksa Inaq di belakang kedai. Bekas luka-luka kekerasan seksual yang dialaminya sedemikian parah hingga Inaq mengembuskan napas terakhir saat menuju rumah sakit. Amaq malah langsung di tempat, dihabisi lawan-lawan tak sepadan.

Mae membatu. Lidahnya kelu, dia hanya terpaku. Bahkan ketika kampung memutuskan pemakaman harus dilakukan sebelum matahari di atas kepala, dia bergeming. Terduduk memeluk paha dengan air mata yang bercucuran tanpa ada yang menyeka di hadapan orang-orang yang menurunkan kedua peti jenazah.

Seperti daun bidara yang kembali gugur, air matanya tak mau tertinggal. Mereka berebut menetes-netes, menyerap melalui pori-pori tanah untuk bergabung bersama kedua jenazah, orang-orang yang dicintainya. Dua orang yang seharusnya mendampinginya sampai ia cukup dewasa, tetapi mereka memilih pergi. Jiwa Mae pun mati bersamaan tanah diuruk menutupi peti.



**

Bunyi tanah menggelongsor yang kian bergemuruh senapas riuh rendah tepuk tangan dan teriakan bravo usai penayangan film yang disutradarai Sandrina. Pembawa acara pun sigap meminta perempuan berkebaya dan berambut pixie itu berdiri di depan, bersiap dalam sesi bertanya jawab.

“Idenya menarik, Mbak. Tapi kenapa atmosfer film suram sekali. Seperti tidak membawa optimisme. Padahal film ini mewakili Indonesia ke mancanegara.”
Sandrina melihat ke arah sang penanya yang tak menunda menyergapnya ketika moderator meletakkan titik di akhir kalimat.

Dimatikannya tembakau linting yang tinggal separuh. Pertanyaan itu selalu sama, serupa, sejenis yang entah sudah disalin tempel beberapa jurnalis. Sungguh…tak kreatif. Namun, Sandrina telah terlatih mengarang indah jawaban membingungkan agar mereka menganalisis dan menyimpulkannya sendiri untuk menyiarkannya kepada publik.

“Begini, orang bilang filmku suram dan tak mempromosikan harapan. Mereka benar, aku pun tak salah. Ada tiga prinsip marketing di sini meski film ini tak bertujuan komersial. Kutangkap apa yang akan diperhatikan penonton. Kudidik mereka dan kusiasati agar mereka mengubah pandangan yang dimiliki. Yah … minimal aku memberi pandangan baru kepada penonton.”

Umumnya seruan wah, atau aplaus akan menyambut jawabannya diikuti label otomatis, sutradara perempuan yang cerdas. Sekali ini rasa mual yang seketika mengikuti setiap bualan memesona yang dibuatnya, muntah bersama kata-kata.

“Yang indah-indah sudah terlalu banyak tampil, bukan? Faktanya Indonesia bukan taman surgawi. Tidak juga istana para malaikat. Neraka juga ada. Iblis jangan ditanya banyaknya. Saya hanya ingin jujur menampilkan senyatanya. Enggak salah kan?”

Ruangan itu tetiba hening. Gumaman pun tiada.

Sandrina beranjak pergi. Makin lega karena rasa asam dan hadirin tak satu pun berniat mengikuti.



 

Ivy Sudjana

Berdomisili di Denpasar mendampingi anak bungsunya bersekolah jarak jauh di Yogyakarta. Suka membaca, menulis, dan travelling. Cerita-ceritanya bisa dilihat di blog pribadi ivyberbagi.wordpress.com.

 



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya