SOLOPOS.COM - Salah satu gerobak Sempol 87 Asli Malang terletak di Jl. Menco Raya, Gonilan, Kartasura atau tak jauh dari Kampus UMS. Foto diambil Senin (16/1/2023). Pemilik Sempol 87 Asli Malang, Jojon Dwi Adi (foto kanan). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo).

Solopos.com, SOLO — Pemilik Sempol 87 Asli Malang, Jojon Dwi Adi, menyebutkan bahwa alasan ia menyematkan angka 87 pada brand kuliner miliknya terinspirasi dari klub sepak bola kesayangannya, Arema Football Club (FC), yang lahir pada 1987.

“Saya dulu termasuk penggemar [suporter] Arema, sedangkan kelahiran Arema 1987, jadi ikut-ikutan [menggunakan angka] kelahiran Arema,” ujar Jojon kepada Solopos.com, Senin (15/1/2023).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pria 40 tahun ini merintis usaha kulinernya sejak delapan tahun yang lalu. Ia merupakan warga asli Malang. Jojon memutuskan untuk berjualan sempol sejak 2016 lalu.

Jojon menguraikan awalnya ia merantau dari Malang ke Solo untuk bekerja di Carrefour yang sekarang menjadi Transmart Pabelan. Kemudian ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan mencari kontrakan di Tugu Lilin. Selanjutnya, ia memutuskan untuk berjualan gorengan.

Ekspedisi Mudik 2024

Namun selama enam bulan berjualan gorengan, menurutnya usaha itu tidak terlalu menghasilkan. “Akhirnya saya disarankan teman untuk buka sempol di Solo, teman saya sebelumnya sudah buka di Surabaya dulu. Akhirnya diajari resepnya dan memutuskan untuk berjualan keliling menggunakan sepeda motor,” terang Jojon.

Saat awal berjualan sempol secara keliling, ia mendapatkan Rp135.000/hari. Kemudian ada teman yang ingin berjualan, lalu ia mulai menyediakan tempat dan gerobak. Awalnya ia berjualan dengan gerobak di sekitar Kampus 4.

Semakin lama, semakin banyak orang yang tertarik untuk ikut berjualan sempol, setidaknya saat ini ia memiliki 13 karyawan yang berjualan sempol yang tersebar di Soloraya yaitu di daerah Gentang, Mangkuyudan, Colomadu, Kartasura hingga Pengging.

Saat awal pandemi datang melanda dengan berbagai pembatasan aktivitas warga, usahanya pun sempat mengalami penurunan pembeli. “Dulu sebelum Corona, satu gerobak di dekat Kampus 2 saja itu, bisa dapat Rp3 juta/hari. Selain belum banyak gerobak, sempol sendiri masih belum banyak di Solo, jadi orang penasaran pengin coba,” terang Jojon.

Sebelum pandemi, ia mempunyai 20 gerobak, kemudian turun menjadi sepuluh gerobak. Sekarang ia mengaku penjualan sempol miliknya sudah mulai normal kembali.

Harga sempol miliknya ternyata tidak pernah naik, dari dulu hanya Rp1.000/buah. Kenaikan harga bahan minyak (BBM) sebenarnya berimbas kepada usahanya, karena lebih banyak modal yang dikeluarkan namun ia tidak berani menaikkan harga. Jojon lebih memilih memperkecil keuntungannya.

Saat ini ia memproduksi sempolnya di rumahnya yang terletak di Tuwak, Gonilan, Kartasura, Sukoharjo. Ia membeli berbagai macam bahan baku produksinya di sekitar Solo dan untuk daging ia gilingkan di Pasar Jongke.

Sehari, ia rata-rata membuat 6.000 tusuk sempol, namun jumlah tersebut tidak tentu tergantung stok sempol yang masih ia miliki. Untuk membantu produksi sempolnya ia dibantu oleh empat orang karyawannya. “Bahan membuat sempol sendiri ada daging ayam sedikit, tepung tapioka, tepung gandum, dan bumbu bawang dan merica,” terang Jojon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya