SOLOPOS.COM - Bagian depan Kompleks Makam Sunan Pandanaran atau Sunan Bayat. (Facebook)

Solopos.com, KLATEN — Sunan Bayat alias Sunan Pandanaran merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Nama Sunan Bayat bahkan disebut di beberapa babad dan cerita agama Islam di Jawa.

Sunan Bayat memang tidak termasuk sebagai Walisongo. Namun makamnya masih banyak disinggahi pengunjung.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Makam Sunan Bayat terletak di perbukitan Gunung Jalbakat di Kelurahan Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Konon, Sunan Bayat hidup pada masa Kesultanan Demak sekitar abad ke-16.

Terdapat sekitar empat versi mengenai kisah Sunan Bayat. Dari seluruh versi itu sepakat bahwa Sunan Bayat merupakan putra dari Ki Ageng Pandanaran, Bupati pertama Semarang. Setelah Ki Ageng Pandanaran meninggal, putranya Pangeran Mangkubumi menggantikan sebagai bupati Semarang kedua.

Dilansir dari buku Cerita-Cerita Legenda di Kabupaten Klaten yang ditulis oleh Danang Susena & Wisnu Nugroho Aji pada tahun 2020, Pangeran Mangkubumi menjalankan pemerintahan dengan baik dan patuh dengan ajaran Islam seperti mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan.

Baca Juga: Asal-Usul Hari Jadi Kabupaten Klaten Jatuh Tanggal 28 Juli

Pangeran Mangkubumi yang dulunya sangat baik kemudian memburuk. Selain itu pemerintahannya sering dilalaikan. Begitu pula tentang perawatan pondok pesantren dan tempat ibadah.

Sultan Demak Bintara mengetahui hal tersebut. Sultan Demak lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu untuk menyadarkannya.

Semula, Ki Ageng Pandanaran adalah orang yang selalu mendewakan harta keduniawian. Berkat bimbingan dan ajaran Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran bisa sadar dari sifat buruknya.

Akhirnya sang bupati menyadari kelalaiannya dan memutuskan mengundurkan diri dari jabatan dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.

Baca Juga: Makam Sunan Pandanaran Bayat Klaten Mendadak Banjir Peziarah, Ada Apa?

Kalijaga kemudian menyarankan Ki Ageng Pandanaran berpindah ke selatan tanpa membawa harta dan ditemani istrinya melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, dan Wedi.

Diam-diam, tanpa sepengetahuan sang istri, ia membawa tongkat bambu yang di dalamnya dipenuhi permata. Dalam perjalanan, mereka dihadang oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh seorang yang namanya dikenal dengan Syekh Domba.

Kemudian, terjadilah perkelahian. Untungnya pasangan suami istri tersebut berhasil mengatasinya.

Selanjutnya, Syekh Domba berubah menjadi makhluk berbadan manusia tapi berkepala domba. Akhirnya, ia menyadari dan menyesal dengan segala perbuatannya.

Baca Juga: Kisah Kesaktian Sunan Bayat, Mengutuk Penyamun Jadi Manusia Domba

Atas izin Alloh SWT, Sunan Pandanaran mengubah Syekh Domba kembali menjadi manusia. Setelah itu, Syekh Domba diberi tugas mengisi tempat wudu pada padatan atau gentong di masjid yang berada di puncak bukit Jabalkat Bayat.

Akhirnya, Ki Ageng Pandanaran berhasil sampai dan menetap di Bayat. Saat ini, Makam Sunan Pandanaran ramai dikunjungi orang untuk berziarah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya