SOLOPOS.COM - Jumiyem, 73, setia memakai kebaya dalam kesehariannya berjualan buah-buahan di Pasar Gede Solo, Jumat (30/9/2022). (Solopos/Wahyu Prakoso)

Solopos.com, SOLO — Berbagai pihak terus mendorong agar kebaya sebagai salah satu pakaian warisan budaya untuk kaum perempuan bisa menjadi warisan budaya tak benda yang diakui UNESCO. Di Kota Solo, masih ada perempuan-perempuan yang setia memakai kebaya.

Pemakaian kebaya itu tidak hanya untuk bekerja, pentas seni atau lainnya, namun untuk pakaian sehari-hari. Umumnya, pemakai kebaya adalah kalangan perempuan lansia.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Di Pasar Gede, misalnya, sejumlah perempuan yang sudah sepuh terlihat mengenakan kebaya. Mereka di antaranya pedagang buah, buruh gendong, dan pedagang kerengan atau sejenis keripik jahe khas Solo. Ketiganya sudah lansia.

Salah satu perempuang masih setia memakai kebaya saat beraktivitas di Pasar Gede Solo adalah Ny Darto Mulyono atau Lanjar, 74, yang mengenakan kebaya warna kuning serta jarit saat dijumpati Solopos.com di emperan Pasar Gede Solo, Jumat (30/9/2022).

Dia duduk di dingklik sembari mengemas kerengan dari plastik bening besar ke plastik kecil. Dia menimbang kerengan itu memakai timbangan lalu menutup plastik kemasan dengan staples.

Baca Juga: 2.500 Perempuan Berkebaya Bersama Ibu Negara di Solo Pecahkan Rekor Muri

Kerengan yang dia kemas ditawarkan seharga Rp15.000/bungkus. Ibu tiga anak itu menawarkan kepingan kerengan kepada para pengunjung pasar yang berhenti melihat lapaknya untuk mencicipi.

Lanjar merupakan warga Kecamatan Delanggu, Klaten, yang berjualan sejak 1965 di pasar tersebut. Perempuan yang setia memakai kebayar itu biasa berjualan di sejumlah pasar tradisional Kota Solo.

Kebaya Tak Halangi Aktivitas

Selain itu, dia berjualan pada Car Free Day setiap Minggu sebelum berlanjut ke Pasar Gede Solo. Beberapa tahun terakhir, dia lebih banyak berjualan di Pasar Gede Solo dibandingkan pasar tradisional lain. Namun kadang dia berjualan sampai Salatiga.

kebaya perempuan solo
Ny Darto Mulyono alias Lanjar, 74 (mengenakan pakaian kuning), mengemas kerengan/sejenis keripik jahe khas Solo di Pasar Gede Solo, Jumat (30/9/2022). (Solopos/Wahyu Prakoso)

Lanjar saban hari berangkat diantar suaminya naik sepeda motor sampai di jalur Bus Bumel jurusan Jogja-Solo terdekat pukul 06.00 WIB. Selanjutnya Lanjar naik bus dan turun di Terminal Tirtonadi Solo kemudian naik Batik Solo Trans (BST) sampai Pasar Gede Solo.

Baca Juga: Momen Ibu Negara Iriana dan 2.500 Perempuan Berkebaya Banjiri Jalan Utama Solo

Apabila berjualan ke Salatiga, dia berangkat pukul 05.00 WIB. Khusus Solo CFD, dia berangkat Subuh namun suaminya mengantar sampai Solo.

Lanjar menjelaskan membawa beban kerengan sekitar 15 kilogram setiap hari. Beban itu tidak menghalangi perempuan itu untuk tetap mengenakan kebaya meskipun harus beralih moda transportasi umum di Solo.

“Saya enggak mau dikasih kerudung, enggak senang, enggak suka. Orang Jawa itu putri Solo, kayak gini itu putri Solo,” katanya kepada Solopos.com sambil mengemas keripiknya.

Anak pertama dari lima bersaudara itu menjelaskan kedua orang tuanya memiliki dua putri. Kedua orang tuanya mengajari mengenakan jarit sejak usia remaja kepada anak-anak perempuannya. “Sejak remaja pakai jarik satu disuwek jadi tiga. Untuk ke sawah, angon kebo [mengenakan jarit],” paparnya.

Baca Juga: Agenda Berkebaya Bersama Ibu Negara Siang Ini, Cek Lokasi Parkirnya

Dia menjelaskan sudah terbiasa mengenakan kebaya dan jarit untuk berbagai aktivitas saban hari. Lanjar menunjukkan beberapa foto dirinya yang tersimpan di ponselnya mengenakan kebaya kuning dan merah jambu untuk kegiatan among tamu.

“Saya enggak bisa pakai kathok [celana]. Enggak bisa enggak pakai jarit,” jelasnya. Lanjar menyimpan beberapa koleksi kebaya dan jarit. Dia membedakan kebaya untuk bekerja maupun untuk pesta atau acara tertentu.

Kebaya Jadi Ciri Khas

Memilih kebaya dan jarit untuk aktivitas bekerja di pasar maupun di rumah juga dilakukan perempuan pedagang buah di Pasar Gede Solo, Jumiyem, 73. Dia tampak memakai kebaya motif bunga dengan tambahan celemek pagi itu.

Menurut dia, orang Jawa sejak dulu khususnya perempuan mengenakan pakaian kebaya. Jenis pakaian itu menjadi ciri khas sejak dulu dan sulit untuk mengenakan jenis pakaian lainnya.

Baca Juga: Pulang ke Solo, Iriana Jokowi akan Hadiri Acara Berkebaya Bersama Ibu Negara

“Kalau ndandake [membuat pakaian dengan jasa tukang jahit] ya jadinya seperti ini,” jelasnya. Seperti Lanjar, Jamiyem membedakan koleksi kebayanya untuk harian maupun untuk acara tertentu.

Dia menjelaskan waktu masih anak-anak memakai sayak selanjutnya mengenakan kebaya waktu remaja. Orang tua Jumiyem merupakan perajin batik tulis.

Keluarganya mendapatkan uang dengan mengambil kain pada pabrik lalu mengembalikan kain batik untuk mendapatkan upah. Warga Kecamatan Jumantono, Karanganyar, itu saban Subuh mencarter mobil bersama para pedagang lain yang berjualan di beberapa pasar tradisional Kota Solo.



Sementara buah-buahan sudah diurus oleh buruh gendong. Jumiyem mengaku senang ada komunitas  mengusulkan kebaya menjadi warisan budaya tak benda dunia ke UNESCO. Hal itu sebagai upaya menjaga tradisi masyarakat khususnya Jawa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya