SOLOPOS.COM - Prajurit Mangkunegaran di bawah kepemimpinan KGPAA Mangkunagara I atau Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa. Raden Mas Said dipilih sebagai nama UIN Surakarta yang merupakan bentuk baru IAIN Surakarta. (Istimewa/puromangkunegaran.com)

Solopos.com, SOLO — Satu sosok penting dalam perjalanan sejarah Kota Solo adalah Raden Mas (RM) Said atau Pangeran Sambernyawa yang kemudian menjadi penguasa pertama Kadipaten Mangkunegaran.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

RM Said dikenal sebagai sosok pemberontak yang ditakuti di era kepemimpinan Paku Buwono (PB) II di Kerajaan Mataram Islam. Bersama pasukannya, Pangeran Sambernyawa bertahun-tahun memerangi Belanda dan Mataram.

Pemberontakan itu berakhir pada 17 Maret 1757 dengan Perjanjian Salatiga antara RM Said dengan PB III yang membagi wilayah Kerajaan Mataram untuk kali kedua setelah Perjanjian Giyanti dua tahun sebelumnya. RM Said mendapat wilayah kemudian diberi nama Kadipaten Mangkunegaran dan menjadi Mangkunagoro I.

Baca Juga: Lingkungan Rumah Pangeran Sambernyawa di Kestalan Dulu Kawasan Ulama

Ketua Solo Societeit, komunitas pecinta sejarah di Kota Bengawan, Dani Saptoni, saat berbincang dengan Solopos.com, belum lama ini di warung hik depan Kori Kamandungan Keraton Solo menceritan kisah hidup Pangeran Sambernyawa berdasarkan berbagai sumber literatur yang ia pelajari.

Menurut Dani, jiwa pemberontak RM Said atau Pangeran Sambernyawa muncul dipicu penderitaan sejak kecil. Ketika masih anak-anak Pangeran Sambernyawa harus berpisah dengan ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara, yang dibuang ke Afrika Selatan.

Ayah dari RM Said dibuang lantaran terang-terangan bersikap menentang terhadap Pemerintah Hindia Belanda. “Pangeran Mangkunegara Kartasura dianggap melawan raja PB II. Maka diasingkan ke Afsel. Diasingkannya dia berakibat keluarga yang ditinggalkan, yaitu RM Said dan adik-adiknya, hidup terlunta-lunta. Mereka dirawat abdi dalem,” urainya.

Baca Juga: Masih Asli, Begini Kondisi Rumah Pangeran Sambernyawa di Kestalan Solo

Diperlakukan Seperti Pengemis

Menurut Dani, merujuk referensi yang ia baca, saat kisah nahas itu terjadi, ibunda dari Pangeran Sambernyawa, Raden Ayu Wulan, sudah meninggal dunia. RM Said hidup bersama dua adiknya yang masih kecil-kecil.

Dua adik dari RM Said yaitu RM Sabar dan RM Ambiyo. Penderitaan RM Said dan adik-adiknya berlanjut ketika beranjak remaja. Diceritakan saat itu RM Said meminta pekerjaan atau kesempatan guna mengabdi ke kerajaan ke Patih Pringgoloyo.

Patih Pringgoloyo merupakan salah satu orang kepercayaan PB II yang memegang jabatan sebagai Perdana Menteri. Namun permintaan RM Said tidak digubris oleh Patih Pringgoloyo. Bahkan RM Said diperlakukan seperti pengemis dengan diberi uang.

Baca Juga: Sejarah Solo: Sikap Plin-Plan PB II dan Pemberontakan di Keraton Baru 

Padahal saat itu RM Said hanya ingin mengabdikan diri ke Mataram, apapun pekerjaannya. “Raketang dadi apa. Tapi malah oleh Patih Pringgoloyo tidak dijawab, dan malah dikasih uang, seolah-olah RM Said seorang pengemis,” urai Dani menceritakan kisah masa kecil Pangeran Sambernyawa.

Merasa direndahkan martabatnya, RM Said pun menolak uang pemberian dari Patih Pringgoloyo. Uang itu lantas diselipkan di sebatang pohon. “Sejak itu muncul dendam RM Said untuk melawan sistem kerajaan yang semena-mena itu,” katanya.

Tiji Tibeh

Merujuk kisah itu, Dani menegaskan pemberontakan atau perlawanan RM Said di kemudian hari bukan untuk merebut kekuasaan. Gerakan pemberontakan itu adalah pembalasan dendam terhadap sistem yang dianggap arogan.

Baca Juga: Sejarah Solo: Saat Keraton Pindah 1745, Amerika Masih Koloni Inggris

Sementara itu, website resmi Mangkunegaran Solo, puromangkunegaran.com, mengisahkan RM Said yang lahir di Kartasura pada 7 April 1725 dikenal sebagai ahli strategi perang. Ia memimpin pasukan melawan tiga kekuatan sekaligus; VOC, Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I.

RM Said mendapat julukan Pangeran Sambernyawa karena dalam setiap peperangan selalu membawa kematian bagi musuh- musuhnya. Semboyannya yang paling dikenal adalah tiji tibèh, kependekan dari mati siji, mati kabèh yang artinya gugur satu, gugur semua dan mukti siji, mukti kabèh yang artinya sejahtera satu, sejahtera semua.

Mangkunegara I bertakhta selama kurang lebih 40 tahun sampai wafat pada 23 Desember 1795. Pada 1983, Mangkunegara I ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan mendapat penghargaan Bintang Mahaputra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya