SOLOPOS.COM - Eks napiter asal Sragen, Paimin, memilah ikan lele di kolam bioflok milik kelompok tani yang dikelolanya, Sabtu (24/10/2020). (Solopos/Mariyana Ricky PD)

Solopos.com, SRAGEN -- Seolah baru terjadi kemarin, Paimin masih ingat kali pertama kakinya mengayun bebas keluar dari Lapas Kelas II A Magelang, Jawa Tengah, 2014 silam.

Saat itu ia baru saja mendapatkan pembebasan bersyarat setelah menjalani 3/4 masa hukuman. Pria 40-an tahun itu dihukum empat tahun penjara lantaran terlibat dalam rencana penyerangan kantor kepolisian. Rencana yang gagal itu membuat diganjar hukuman kurungan. Paimin mengaku tak mendapatkan indoktrinasi dari kelompok tertentu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Namun, ia belajar banyak hal dari buku dan pengajian. Dari situ, ia bertemu banyak sosok yang berpikiran seragam. Salah satunya aksi amaliyah dengan membunuh petugas kepolisian yang dianggap sebagai musuh Islam. Setelahnya, muncul rencana penyerangan itu. Aksi itu tak diketahui keluarga, hingga akhirnya ditangkap.

Aturan Baru Hajatan Pernikahan Solo: Standing Party Justru Dianggap Lebih Berbahaya, Ini Alasannya

Paimin berencana meracuni polisi di Mapolda Metro Jaya bersama delapan orang anggota kelompoknya pada Oktober 2011 lalu. Aksi tersebut gagal sebelum dilakukan dan Paimin dijatuhi hukuman penjara di Polda Metro Jaya, Mako Brimob, dan Lapas Kelas II A Magelang.

Paimin harus mendekam di balik jeruji besi selama 30 bulan sebelum akhirnya bebas pada April 2014. Paimin mengaku sejak kembali ke masyarakat, ia tak mengalami kesulitan berarti. Lingkungannya menerima bahkan memberi tawaran untuk memilih tempat tinggal hingga dibuatkan hunian.

Teringat Anak

Ketika menjalani hukuman di Lapas Kelas II A Magelang, ia merasakan jalan kekerasan yang sempat dilakoninya itu tidak benar. “Saya teringat kepada anak, ingin segera pulang,” ucapnya kepada Solopos.com yang menjumpatinya, Sabtu (24/10/2020).

1.231 Pengawas TPS Pilkada Solo 2020 Dilantik, Apa Saja Sih Tugas Mereka?

Paimin kemudian kembali ke Desa Karanganyar, Kecamatan Sambungmacan, Sragen, desa tempat ia lahir dan tinggal bersama keluarganya. Saat itulah, ia merasa masyarakat tempatnya tinggal membuka tangan lebar-lebar. Mereka bahkan mencarikan bantuan agar Paimin bisa memiliki rumah yang terpisah dari orang tuanya.

“Sebagian bangunan rumah ini yang membantu masyarakat. Bahkan saya tak mengeluarkan uang sepeser pun untuk membayar pekerja yang membangun rumah. Lingkungan menerima saya dengan ikhlas. Dari situ saya terpikir untuk gantian membantu mereka sebagai balasan,” jelasnya.

Paimin menginisiasi gerakan PLS atau Peduli Lingkungan Sekitar. Gerakan itu muncul setelah dia berwirausaha ternak lele yang menjadi pekerjaan sampingan setelah bebas. Usaha yang disponsori oleh Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu berhasil meningkatkan perekonomiannya.

Aturan Baru Hajatan Pernikahan Kota Solo: Standing Party dan Makanan Dibawa Pulang

Ia lantas mengajak tetangga sekitar untuk ikut. Tak hanya bergabung, usaha itu pun menarik perhatian warga lain yang kemudian meniru gerakan serupa. “Dari yang semula saya dan tetangga membuat kelompok tani ternak lele, kini ada dua kelompok tani di sini. Senang sekali ternyata gerakan saya juga bisa ditiru,” ungkapnya.

Berjualan Bibit Lele

Paimin mengatakan gerakan yang ditujukan bagi masyarakat umum kurang mampu tersebut sudah berjalan enam bulan. Inti gerakan adalah mengumpulkan keuntungan berjualan bibit lele untuk dibagi rata kepada setiap anggota. Kelompok tani bentukannya beranggotakan 10 orang.

Sebagian besar keuntungan dibagikan kepada anggota yang mayoritasnya kurang mampu, baru setelahnya untuk bakti sosial. Derma yang dimaksud adalah sedekah untuk janda maupun anak yatim-piatu di sekitar tempat dia tinggal. Daerah tempatnya tinggal termasuk zona merah kemiskinan.

Cawali Solo Gibran Rakabuming Raka Dihujat Netizen, Ada Rencana Lapor Polisi?

Masih banyak warga kurang mampu yang tak bisa mencukupi kebutuhan harian. Bantuan yang diserahkan berupa beras, meski terkadang lele yang diternaknya ikut dibagikan.

“Ukuran lele yang agak besar itu kami pelihara sebagian, jadi kalau sudah besar bisa dibagikan kepada warga untuk lauk mereka. Setiap bulan paling tidak ada 5-10 orang yang kami bantu bergantian. Jadi tidak satu sasaran itu saja, tapi bergiliran,” kata Paimin.

Program tersebut tak mengalami kendala berarti. Pembagian tugas anggota membikin penyaluran bantuan lebih mudah. Mereka melakukan pendataan berdasarkan laporan RT/RW setempat. Baru setelah itu bantuan disalurkan.

Tambah 201 Kasus Pada Sabtu, Satgas Covid-19 Klaten Sempat Tak Percaya

Selain berdasarkan data perangkat setempat, mereka juga pernah didatangi warga yang meminta bantuan. Gerakan yang dilakoni kelompok taninya sudah tersebar dari mulut ke mulut.

Membuat Bata Merah

“Pendapatan kotor Rp4 juta-Rp5 juta, enggak besar memang, tapi kami kompak agar usaha ini terus bergulir. Ternak lele menjadi sampingan karena pekerjaan utama kami membuat bata merah. Kalau sudah benar-benar berjalan, kami bisa meninggalkan usaha pembuatan bata merah dan fokus ke lele,” imbuhnya.

Ia mengakui usaha pembibitan lele itu bukan tanpa kendala. Sebelum terjun ke pembibitan, ia sempat menjajal usaha pembesaran untuk konsumsi. Namun, pilihan itu tak berhasil karena kerap terserang penyakit. Ia lalu belajar pembibitan ke luar daerah dan pulang menerapkan ilmunya.

Kasus Covid-19 Klaten Melonjak Tajam, Hajatan dan Pembelajaran Tatap Muka Masih Boleh?



Paimin mengakui proses reintegrasinya ke masyarakat berjalan lancar. Pikiran soal amaliyah dengan menyerang polisi yang sempat ia pahami sudah luntur sejak ia menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan.

Kedua putranya menjadi alasan utama kembali ke NKRI. Selain itu, ia menyesal sempat memiliki ide penyerangan itu. “Saya kemudian bergabung dengan Yayasan Gema Salam, yayasan yang berisi para eks napiter. Kegiatan yayasan selain bakti sosial, kami juga mendekati kawan-kawan yang masih berpikiran radikal. Sebagian ada yang mau bergabung, meski ada pula yang menolak. Saya ingin mereka bergabung dengan program BNPT [Badan Nasional Penanggulangan Terorisme],” ucapnya.

Paimin kini juga menjadi lebih toleran menyikapi kegiatan keagamaan di masyarakat padahal sebelumnya ia menolak. “Kalau sekarang saya biarkan saja menjadi urusan pribadi mereka. Kalau dulu muncul keinginan untuk Amar Ma’ruf, begitu,” kata dia.

 

Artikel ini hasil dari Peace Journalism Fellowship Grant yang diselenggarakan Search for Common Ground Indonesia dan Sejuk.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya