SOLOPOS.COM - Febri Dwi Rayana, warga Brengsan, Solo penderita Ichthyosis Lamellar bersama ibundanya, Sri Supantiyah. (Aeranie Nur Hafnie/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Tatapan mata keheranan dari orang-orang kerap diterima Febri Dwi Rayana, 18, ketika berada di tempat umum. Namun gadis yang akrab disapa Yana tersebut mengaku tak pernah merasa terganggu dengan tatapan orang-orang yang tertuju kepada dirinya itu.

Orang-orang kerap keheranan dengan penampilan Yana karena ia itu terlahir dengan kelainan kulit. Perempuan muda asal Brengosan, Purwosari, Solo itu mengalami kelainan kulit sangat langka yang disebut Ichthyosis Lamellar.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kulit di sekujur tubuh Yana terlihat kering, bersisik dan mengalami pengelupasan secara cepat. Kedua mata Yana mengalami ectropion atau kelopak mata bagian bawah yang tertarik keluar karena ketatnya kulit di sekitar mata.

Kelopak mata bagian bawah yang tertarik keluar itu berwarna merah. Akibat kondisi itu, mata Yana menjadi mudah kering sehingga menggangu penglihatannya.

Seperti dilansir ichthyosis.org.uk, Ichthyosis Lamellar ditandai dengan kulit bersisik dan terkelupas secara tidak normal. Penyakit itu diperkirakan menimpa 1 dari 600.000 kelahiran. Ichthyosis Lamellar atau kadang disebut penyakit sisik ikan merupakan kelainan genetika heterogen atau warisan yang menyebabkan sel-sel kulit mati menumpuk tebal, kering dan mengelupas.

Tetap Sekolah
Meski penampilannya menjadi tak lazim, kelainan kulit langka itu tak menghalangi semangat Yana untuk berbaur dan bersosialisasi di masyarakat dan mengenyam pendidikan di sekolah umum. Setelah lulus dari SMP YPAC Solo, Yana memilih melanjutkan sekolah di SMKN 9 Solo. Ia mengambil jurusan animasi dan kini sudah duduk di bangku kelas XII.

“Saya suka menggambar meski gambarannya tidak bagus. Saya menggambar untuk menghilangkan rasa bosan dan di SMKN 9 ternyata ada jurusan animasi makanya memilih sekolah disitu,” ujar Yana ketika dijumpai Koran O (Grup Solopos) di rumahnya, akhir Oktober 2014.

Perempuan kelahiran 15 Februari 1996 tersebut mampu beradaptasi dengan teman-teman sekolahnya meski dia menjadi satu-satunya siswa inklusi di kelas animasi yang berjumlah 22 orang. Yana mengaku tidak pernah merasa rendah diri dengan kelainan kulit yang dialaminya. “Saya tidak pernah minder, seperti biasa saja,” ujar Yana riang.

Meskipun ada yang mengolok-olok kondisinya kulitnya, Yana tetap percaya diri dengan tidak pernah mempedulikan ejekan itu. “Kalau ada mengolok-olok saya diamini saja, nanti juga berlalu. Saya juga tidak pernah merasa sakit hati dengan olok-olokan mereka,” kata Yana.

Bikin Risih Ibunda
Ibunda Yana, Sri Supantiyah, 53, yang justru mengaku kerap merasa risih dan marah kalau melihat dan mendengar ada orang yang mengejek anaknya atau memandang aneh anaknya. Yana yang kemudian mendinginkan hati Supantiyah ketika akan marah karena ada orang yang memandang aneh ke arahnya.

“Dia [Yana] bilang ‘Tidak apa-apa, Bu, mungkin mereka mau tanda tangan saya.’ Kepercayaan diri Yana tinggi, dia tidak pernah minder,” tutur Supantiyah.

Meski kelainan kulit yang dialami Yana kerap mengundang tatapan aneh dari orang umum, Supantiyah dan suaminya Kiman, 56, tidak pernah merasa malu mengajak Yana berjalan-jalan ke tempat publik.

“Dia adalah anugerah dari Tuhan. Kami tidak malu. Kalau saya dan bapaknya pergi, dia selalu kami ajak,” ujarnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya