SOLOPOS.COM - Kenangan tentang banjir bandang yang melanda Solo pada Maret 1966 lalu. (Instagram @solozamandulu)

Solopos.com, SOLO -- Bencana banjir besar yang melanda Kota Solo pada 16 Maret 1966 lalu menyisakan cerita heroik seorang petugas pertahanan rakyat atau hanra asal Tegalharjo, Jebres, bernama Saranto.

Laki-laki itu meninggal dunia karena tidak kuat menahan terjangan arus air sungai yang masuk ke perkampungan saat membantu evakuasi warga. Saat itu, banjir sudah masuk ke Kampung Dukuh dan Karangasem, Gandekan, dan warga harus mengungsi ke Kampung Kadirejo yang berada di sebelah utara kampung.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ketika itu wilayah kampung tersebut kebanjiran parah dikarenakan jebolnya tanggul pelindung Kota Solo dari ancaman banjir Sungai Bengawan Solo. Di Gandekan tanggul yang dibuat pemerintah Hindia Belanda tersebut jebol lebih kurang sepanjang 15 meter.

Baca Juga: Ngeri! Banjir Bandang 16 Maret 1966 Nyaris Tenggelamkan Seluruh Wilayah Solo

Karena jebolnya tanggul tersebut arus sungai masuk dengan sangat deras ke perkampungan warga mengakibatkan banjir Solo pada Maret 1966 itu. Untuk membantu mengevakuasi warga, petugas hanra datang dari sejumlah kelurahan, salah satunya Saranto dari Kelurahan Tegalharjo, Jebres.

Namun diduga karena kecapaian setelah berhasil menyelamatkan sejumlah warga, Saranto malah tenggelam dihantam pusaran arus sungai. Jasadnya ditemukan di tumpukan rumah warga yang ambruk selang delapan hari sejak banjir hari pertama.

Nama Jalan

“Seorang petugas hanra dari Tegalharjo bernama Saranto ketendang banyu terus hilang saat mau membantu menyeberangkan warga dari selatan ke utara. Mungkin kecapaian,” ujar YF Sukasno, saksi mata banjir Solo, 16 Maret 1966, saat berbincang dengan Solopos.com, Rabu (17/3/2021).

Baca Juga: Saksi Mata Kisahkan Tragedi Banjir Besar 1966 Kota Solo: Harus Berpindah-Pindah Tempat Mengungsi

Sejumlah warga sempat melihat ketika Saranto terbawa arus dan menghilang. Namun warga tidak ada yang berani menolong karena arus sungai sangat deras. “Jasad Saranto ditemukan di rumah yang ambruk saat dibersihkan delapan hari setelah banjir,” urainya.

Sukasno yang kala itu berumur tujuh tahun melihat langsung penemuan jasad Saranto dan proses evakuasinya. Setelah dievakuasi jasad Saranto berhasil dikenali. Sebagai bentuk penghargaan terhadap aksi heroik Saranto, nama laki-laki itu dijadikan sebagai nama jalan kampung di Gandekan.

"Karena berjasa nolong orang-orang yang kebanjiran sampai menjadi korban tenggelam derasnya tanggul jebol, nama Saranto diabadikan menjadi nama jalan di situ, Jalan Saranto di Wilayah RW 1 Gandekan. Yang saya ceritakan nyata, mboten ngarang. Yang mengalami banjir besar sampai sekarang masih banyak yang hidup," urai Sukasno.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya