SOLOPOS.COM - Muhammad Ragil Endratama (FOTO: Istimewa)

Muhammad Ragil Endratama (FOTO: Istimewa)

Siapa yang tak kenal dengan kopi. Di Solo, kopi diminum di warung makan, hiks, warung tenda, kedai sampai restoran mahal. “Sayang, orang di sini belum tahu tentang kopi,” ujar Muhammad Ragil Endratma, Sabtu (11/8) malam.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Lulusan Teknik Mesin UMS ini memang belum lama membuka usaha kedai kopinya di Jl Solo-Karanganyar km 7, Jaten, Karanganyar. Sebenarnya pemuda asli Solo ini sudah berbisnis kopi sejak masih kuliah dengan menjual kopi lampung dalam kemasan. Kini dia punya cita-cita besar menjadi produsen kopi. Kedai bernama Everesta adalah langkah awal untuk memperkenalkan kopi racikannya dan melayani orang dengan tangannya sendiri.

Selama ini kedai kopi tersebut tak begitu mencolok seperti kafe-kafe mahal. Di kios seluas 8 m x 5 m itu, bagian dalam dijadikan warnet. Kedai kopi memanfaatkan halaman depan dan emper kios lain yang tidak terpakai di malam hari. Di sana Ragil menyediakan berbagai macam menu kopi khas Eropa, seperti espresso, cappuchino, macchiato dan lain-lain. “Sementara saya racik sendiri, saya layani sendiri. Baru habis Lebaran ini saya cari orang untuk membantu,” tuturnya.

Bukan tanpa alasan dia melakukannya sendiri. Di Solo, tidak banyak orang yang terampil meracik kopi dari kopi mentah menjadi berbagai macam minuman jadi. Ragil memang meracik dan memasak kopi dari A sampai Z. Keterampilan diperolehnya secara autodidak dari berbagai buku, diskusi online dan percobaan sendiri di dapur.

Upayanya dimulai dengan bermodal sebuah mesin pencampur espresso kecil. Untuk menggiling kopi, dulu dia melakukannya secara manual menggunakan blender biasa. “Waktu itu sempat tidak pede karena kopinya lama sekali dibuat, enggak enak dengan pelanggan,” katanya.

Setelah membeli mesin penggiling (coffee grinder), semuanya jadi lebih cepat. Bahan dasar kopi yang dipakai pun tidak sembarangan. Dia mendatangkan beberapa jenis kopi dari berbagai daerah seperti Peaberry Aceh, Aceh Gayo Organic, Toraja, Mandailing, Flores, Wamena, Kintamani, kopi luwak Aceh dan Java Estate. Dia mendapatkannya dari sejumlah pedagang di berbagai kota meskipun bukan dari pengepul atau distributor besar. “Itu memang pedagang yang melayani pengelola kafe. Saya mengambil yang kelas spesial T, itu kelas kopi terbaik.”

Dengan kopi kelas tinggi, semula Ragil menawarkannya dengan harga rendah. “Tapi dengan harga rendah itu saya tidak untung, setelah dinaikkan ternyata konsumen awal malah pergi.”

Maklum banyak orang yang lebih memilih minum kopi kemasan karena harganya yang jauh lebih murah.

Padahal harga kopi Ragil Rp5.000-Rp10.000, lebih rendah daripada harga espresso atau cappuchino di kafe-kafe besar. Itulah yang disebutnya sebagai edukasi konsumen kopi. Upayanya tidak sia-sia karena kopinya kini mulai ramai dipesan oleh para penikmat kopi. Banyak pelanggannya adalah para ekspatriat dan mahasiswa asing yang kuliah di UNS.

“Ini sudah mulai ramai. Kopi pun kini mulai dipesan oleh pengunjung warnet di ruang sebelah.”

Warnet sebenarnya hanya menjadi langkah awal Ragil untuk menghidupkan kedai kopinya. “Suatu saat kedai kopi ini yang akan saya hidupkan, warnet kan untuk menambah pemasukan saja.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya